Cari Blog Ini

Kamis, 15 Desember 2011

BELAJAR TEORI “BAINA” PADA MBAH KIAI IRFAN (6)

Ada sebuah riwayat yang menjelaskan salah satu manfaat ayat kursi sebagai pengusir setan dari abu hurairah ketika ditugasi oleh rasul untuk menjaga gudang gandum milik umat. Pertemuan pertama, ia didatangi orang tua menyamar tidak mampu dan minta sumbangan gandum ke Abu Hurairah, akhirnya dikasih sama beliau. Pagi harinya Abu Hurairah lapor ke Rasul, dan Rasul menjawab, ntar malam dia akan datang kembali.
Benar apa yang dikatakan oleh rasul, malam harinya dia datang lagi. Dan mengeluh seperti halnya hari pertama, akhirnya dikasih lagi oleh Abu Hurairah. Besok paginya beliau lapor kembali ke Rasul, dan dijawab seperti hari pertama. Alhasil, Abu Hurairah bertanya, sebenarnya yang datang itu siapa? Rasul menjawab, dia adalah setan. Baru, Abu Hurairah berkomitmen untuk menangkapnya.

Hari ketiga datang lagi dan ditangkap oleh Abu Hurairah seperti komitmen awal. Abu Hurairah bilang, saya akan menyerahkanmu kepada Rasul. Si setan merintih supaya tidak dilaporkan atau diserahkan ke Rasul dengan bujukannya, yakni mengajarkan sebuah ayat yang ditakuti oleh kalangan mereka, ayat kursih. Deal-dealan tersebut disepakati oleh beliau.

Contoh kedua, takmir masjid mengunci atau menggembok masjid juga belajar dari pencuri, karena sebuah pengalaman yang terus menerus akan seringnya kehilangan barang masjid. Maka si takmir belajar dari situ untuk akhirnya berperilaku untuk mengunci dan menggombok masjid.

Dari sini, pada hakikatnya, bukan masalah pelaku yang harus kita benci, karena mereka pada eksistensinya memberikan sebuah pengetahuan atau ilmu pada kita. Memberikan tafsir tersendiri pada al-qur’an (baca: wacana/realita) yang sangat bermanfaat untuk bertindak dalam menjalani kehidupan.

Makhluk Allah semua perlu kita rangkul, sayangi, dan kasihi. Karena mereka lah yang memberikan sebuah realita tentang kebaikan dan keburukan sehingga bagaimana kita bisa berbuat lebih bijak di dunia ini.

Sebuah kesalahan ketika kita menyekat-nyekat antara orang baik dan buruk untuk menjadikan tamu kita. Dan semua masih mempunyai kemungkinan untuk berubah-ubah sebelum ajal menjemput. Oleh karenanya, orang bijak akan menggauli semua makhluk tuhan dengan sikap toleransi, kasih sayang, dst. Masalah benar dan salah, itu masalah dirinya dengan Tuhannya, sedangkan masalah manusia adalah sebagai makhluk yang membumikan sikap rahmatan lil alamin.

Kesimpulannya, kita masih dalam ranah “baina”, diantara akan menjadi baik dan buruk. Tidak layaknya menyekat-nyekat makhluk ciptaan Allah dengan klaim baik dan buruk karena yang tahu hanya sang ilahi. Semua berpretensi pada dua kenyataan tersebut dan dalam perjalanannya semua menjadi pelajaran dan ilmu bagi pedoman untuk melangkah di dunia dengan bijak. Masih dan terus dalam ranah “baina”, dan

semua perlu dikasihi tanpa perlu ada sekat. Insya Allah!

BELAJAR DZIKIR PADA MBAH KIAI IRFAN (5)

Seorang salik dalam melakukan dzikir di sebuah thariqah tertentu khususnya, atau mereka yang berusaha melakukan dzikir dengan caranya sendiri yang “sok” khusu’ pada umumnya. Itu meletakkan atau lebih tepatnya memfokuskan konsentrasi dzikirnya melalui lathifah-lathifah sirrinya. Ada lathifah qolbi, lathifah sirri, lathifah khofi, akhfa, dst. Jadi berusaha menghidupkan lathifah-lathifah yang ada untuk berdzikir bersama mengingat Allah.

Hal itu tidak sepenuhnya benar, dan tidak pula salah. Dalam maqam drajat tertentu ketika sudah mendekati puncak, maka tidak diperlukan sebuah proposisi tersebut. Ibaratnya orang belajar berjalan, awal kali ketika belajar, maka masih ada proposisian kapan, bagaimana, atau kemana berjalan masih ada penempatan dalam hati ketika mulai berjalan, minimal ada semacam “niatan” berjalan.

Berbeda halnya ketika sudah lanyah berjalan, tanpa ada hal semacam itu. Langsung berjalan dan merasakan bahwa ia berjalan tanpa harus memosisikan kaki dan lain sebagainya terlebih dahulu baru kemudian berjalan. Langsung jalan,.

Atau diibaratkan orang belajar naik sepeda motor, awal kali mengendarai maka masih ada dalam angan-angan untuk akan memasukkan gigi berapa, masih ada angang-angan pengaturan gas sepeda, atau mengurangi gas, dst. Berbeda ketika sudah lanyah naik sepeda, maka hal semacam itu sudah tidak diperlukan lagi, tinggal naik dan mengendarai sepeda motor dan pasti merasakan rasa naik sepeda motor.

Analogi proposisi dalam thoriqah juga sama dengan demikian, kalau sudah lanyah dalam berdzikir, maka tidak diperlukan hal semacam itu, tinggal dzikir dan merasakan dzikir tersebut. Karena proposisi tempat dzikir tersebut hanya menambah beban atau mengganggu kenikmatan rasa dalam kemesraan berdzikir itu sendiri.

BELAJAR “THARIQAH” PADA MBAH KIAI IRFAN (4)

Dalam banyak kitab tasawuf sering diterangkan tentang trinitas syariah, thariqah dan haqiqah termasuk dalam kitab al-atqiya’ yang pernah penulis baca. Diibaratkan antara syariah adalah perahu, thariqah adalah perjalanan laut, dan haqiqah adalah intan dalam laut. Jadi untuk menempuh haqiqah butuh perjalanan via thariqah dengan kendaraan perahu syariah.

Ada sedikit pemahaman yang sebenarnya mempunyai inti penjalasan yang sama, tapi dalam rangkaian penjelasan lebih mengena adalah dari Mbah Kiai Irfan selaku pelaku yang bisa dikatakan telah menempuh seluruh dan menggapai kebenaran setelah mencari “al-haq” dalam perjalanan pribadinya.

Disini beliau mengibaratkan “thariqah” adalah jalan. Memaknai dengan asal lafadznya, dan mempertanyakan kalau thariqah adalah sebuah jalan, maka siapa yang berjalan (salik)? Beliau memberi penjelasan bahwa yang berjalan adalah syariah dan haqiqah secara bebarengan.

Syariah diibaratkan jism atau badan dhahir, apabila yang berjalan dalam thariqah hanya syari’at belaka, maka akan menimbulkan perjalanan hampa dan cenderung distruktif, karena tidak adanya ruh halus “latifah” yang mengisi dan menggerakkan.
Dan apabila yang berjalan adalah haqiqah, maka juga akan dipandang gila, bagaimana isi berjalan tanpa sebuah badan atau bungkus? Orang berjalan keluar dengan telanjang tanpa mengenakan busana bungkus, akan dipandang gila. Pakaian berjalan tanpa ada yang mengenakan isi juga akan pada lari yang melihat.

Jadi, antara syariah dan haqiqah harus bebarengan dalam melakukan perjalan panjang di jalur thariqah. Dan pos-pos sebagai singgah yang ada dalam perjalanan juga banyak, diantaranya adalah pos “ma’rifat” dalam pos ma’rifat juga banyak kamar yang akan dijelaskan beliau dalam pertemuan mendatang.

BELAJAR SIFAT ALLAH PADA MBAH KIAI IRFAN (3)

Dari apa yang sudah kita pelajari selama ini dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah ala asy’ariyah, ada dari sub babnya yang menerangkan 20 sifat wajib dan 20 sifat kebalikannya serta satu sifat mungkin.

Yang jadi ajaran Mbah Kiai Irfan cuman pertanyaan simple dari dua sifat wajib Allah, yakni sifat wujud dan sifat kalam Allah. Mana yang lebih dahulu antara “ada” atau “kalam/ucapan”? kalau misalnya kita menjawab sifat “ada” yang ada terlebih dahulu, maka bagaimana Dia menceritakan tentang ke-“ada”-annya tanpa “kalam” yang harus dulu ada, bagaimana mungkin bicara “ada” kalau “kalam” belum ada?
Kalau dijawab “kalam”, maka juga menjadi ricuh, bagaimana berkalam kalau belum “ada”? oleh karenanya runtutan dalam ajaran asy’ariyah itu bukanlah bersifat normatif yang harus runtut begitu susunannya (wujud, qidam, baqo’, dst).

Ketika mengalami kebungkaman dalam menjawab soal yang dilontarkan mbah kiai, beliu menjelaskan bahwa jawaban itu ada di sifat “al-awwalu wal akhiru”, Dia yang maha dahulu dan terakhir. Maksudnya, eksistensi entitas “Allah” itu adalah awal, tanpa ada yang lebih dahulu dan tanpa ada akhirnya.

BELAJAR FI’IL MUDLORI’ PADA MBAH KIAI IRFAN (1)

Secara garis besar fi’il yang kita ketahui dibagi menjadi tiga: pertama, fi’il madli; kedua fi’il mudlori’; dan ketiga fi’il amr. Yang pertama bermakna masa lampau “madli”, jelas. Disini singkronisasi dengan tasawuf cuman dua, yakni kebaikan dan keburukan. Dua itulah dari masa lampau itu, dan tidak lebih atau keluar dari itu.

Yang ketiga juga jelas, bermakna perintah “amr”. Ini juga tidak keluar dari dua area yakni perintah untuk melaksanakan dan perintah untuk meninggalkan suatu perkara. Baru yang ketiga, ini jarang diartikan oleh kalangan ketiga, melainkan langsung dibagi menjadi dua; “khal” sekarang dan “mustaqbal” yang akan datang.

Disini Mbah Irfan menyadarkan akan makna “mudlori’” pada penulis, yakni bermakna “samar-samar/remang-remang”. Jadi, mudlori’ itu status yang kita hadapi tidaklah jelas, remang-remang, yang terkadang salah dan terkadang benar dan belum tentu yang kita lakukan sekarang adalah benar menurut kita atau salah menurut kita, hanya allah yang tahu.

Sebuah kesalahan ketika merasa sudah menilai benar untuk diri pribadi dan orang lain di sisi yang salah ketika suatu hal. Dan begitu juga sebaliknya.

Dalam sebuah perjalanan “mudlori’” yang remang-remang perintah “tadlorru’” yang seakar dengan mudlori’ lah yang perlu kita pegang. Itu bermakna “ndepe-ndepe/andap asor”, jadi harus rendah diri pada keremang-remangan perjalanan pada allah semata. Tidak bisa memakai pegangan yang lain.

Tidak ada yang bisa kita katakan jelas pada mudlori’, karena semua hanya pada satu lafadz yang ada dalam al-qur’an, yakni “la’allakum” masih bermakna semoga. Jadi untuk semua hambah allah hanya ada satu lafadz, entah semoga dirahmati, semoga diberi petunjuk, semoga termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa, atau semoga-semoga yang lain.

Semoga, dalam ketidakjelasan perjalanan ini, kita termasuk dalam tuntunannya. Amin!

Selasa, 27 September 2011

LANDASAN BERPIKIR ‘ALA IBN ATHO’ILLAH ASSAKANDARI DAN ROKOK: REFLEKSI TULISAN MUJIB QODAR DI DINDING PENULIS

Sebuah konsep landasan berpikir yang indah ditawarkan oleh Ibn Atho’illah dalam karya magnumopusnya “Syarhul Hikam” juz 2. Disana beliau menggambarkan tentang nalar atau otak yang diibaratkan sebagai alat tumpangan hati dan nafsu sebagai pengemudi.

Nalar atau pikiran hanyalah sebuah alat untuk merasionalisasi atau berpikir tentang realita atau rumusan tentang keidealan. Pada dasarnya, pengemudinya adalah hati dan nafsu. Karena objek kajiannya adalah tasawuf, maka rumusan (konsepan) ini diaktualisasikan pada ranah sufistik (semitik).

Beliau mencontohkan tentang sholat dalam karyanya, bahwasanya sholat dalam kajian ilmu fiqh mempunyai temporer waktu sesuai yang telah ditentukan. Asal tidak keluar dari waktu itu maka masih dianggap sah sholat seseorang.

Nah, disinilah perang antara hati dan nafsu dalam mengendalikan akal/pikiran. Karena konsep fiqh bersifat dhonni, jadi berbagai alas an bisa dipaksakan untuk membenarkan perbuatan yang belum bisa dikatakan bagus. Contoh ketika asik ngobrol bersama teman dan adzan dikumandankan. Maka sepontan, kebiasaan yang sering terjadi adalah melanjutkan ngobrol, karena sholat masih ada tenggang waktu belum masuk akhir waktu “al-faut”.

Landasan berpikir disini karena nafsu memegang kendali pemikiran seseorang itu. Dengan dalih banyak yang diungkapkan dari konsep figh. Karena memang dalam ranah debatable.

Padahal, antara dikerjakan awal waktu dan ditunda, tempo kita mengerjakan sholat tidaklah lebih dari setengah jam baik berjamaah maupun sendiri. Jika, ditanyakan lebih jauh kedasar hati, maka pastilah akan mendukung yang awal waktu. Apalagi berjamaah.

Ketika yang menang adalah hati, maka nalar akan lebih bagus nilai dan manfaatnya pada sekitar dari pada ketika nafsu yang menang dalam landasan berpikir.

Intinya, nalar adalah alat berpikir yang pengendalinya adalah hati atau nafsu. Oleh karenanya, sebelum mengambil keputusan, lebih baik Tanya pada dasar hatimu “istafti qolbak”, ungkapan singkat nabi pada sahabat.

***

Dari konsep Ibn Atho’illah diatas penulis mencoba mengembangkan dalam konteks rokok sebagai refleksi tulisan dinding Mujib Qodar bahwasanya, para perokok, atau kebanyakan teman penulis yang merokok dalam keadaan tertentu, mereka berusaha untuk berhenti Karena memang dirasa kurang baik dalam merokok “dalam keadaan tertentu”.

Bahkan pernah beberapa teman penulis membuat kesepakatan untuk berhenti merekok dengan hukuman denda 50.000 jika terlihat melanggar atau paling ringan Dji Sam Su 1-3 bungkus. Akan tetapi tetap gagal.

Disini sebenarnya alas an para perokok bisa penulis katakan berlandasan dari nafsu dan nalar sebagai alat penguat dengan berbagai dalih yang ada. Karena bagaimanapun hati kalau didustai terus menerus maka akan timbul sebuah renungan dalam keadaan tertentu yang membuat si pelaku menyesal.

Bukan berarti semua perokok berlandasan dari nafsu yang dikuatkan pikiran, tapi dari beberapa realita yang dialami penulis atau beberapa teman penulis masih berlandasan pada nafsu.

Nah, penulis mengurangi rokok bukan berarti karena tidak ada rokok, Karena merokok tidak selalu butuh uang, tapi wadah pertemanan atau silaturrahim juga memungkinkan untuk merokok. Akan tetapi ada pertarungan antara hati dan nafsu dalam mengendarai akal nalar penulis. Setidaknya sampai hari ini, entah kemudian bagaimana! hehehehehe

Minggu, 18 September 2011

Waktunya Kembali ke Pondok!

Ada banyak hal sebenarnya dalam menyikapi keberadaan mahasiswa ma’had aly putra harus menetap di gedung UKP untuk dipertimbangkan. Yang pertama adalah orientasi dasar terbangunnya ma’had aly sebagai penggerak keagamaan baik dalam lingkup Pondok Tebuireng maupun kelak ketika hidup di masyarakat. Ketika mahasiswa bercecer tidak dalam satu pagar (kost, kontrak, atau pulang tidak menetap di pondok/asrama), maka untuk mengembangkan kajian menambah wacana keagamaan akan mengalami kendala yang berat, terutama dalam bidang koordinasi.

Yang kedua adalah tempat singgah dalam pondok. Harusnya jadi kewajaran, kontrak awal mahasiswa masuk ma’had aly adalah mendapat fasilitas tempat tidur (asrama). Sehingga ketika asrama di robohkan untuk diadakan pembangunan pondok yang lebih efisien dan progresif, mahasiswa ma’had aly putra mendapat ruang tinggal sementara sambil menunggu bangunan baru (bascamp: tempat pengungsian). Dan ini sudah ditentukan yakni masjid lantai 2 (atas).

Akan tetapi permasalahannya adalah berbenturan system dan fasilitas Mu’allimin yang dimana masjid lantai 2 itu adalah kelas tempat mereka belajar. Sehingga mu’allimin mengalami problema dalam belajar mengajar.

Di lain sisi, masjid tebuireng ini sudah berhukum masjid secara keseluruhan. Karena posisi tangga untuk menuju lantai 2 berada dibelakang, sehingga ketika tidak dihukum masjid, maka sholat musholli tidak sah. Oleh karenanya, baik lantai bawah maupun atas semua berlaku hokum masjid. Jadi tidak seyogyanya dibuat kamar tidur.

Yang ketiga, adalah gedung UKP. Ini alternative terakhir yang lebih memungkinkan. Akan tetapi juga mengalami kendala di tataran civitas ma’had aly yang notabenenya juga masih santri KH. Ishaq Latif tempat belajar. Doktrin salafi masih sangat melekat pada santri disini. Kalau dulu santri tidak berani menduduki tempat duduk guru/kiai, apalagi yang sekarang. Tempat mengajar sang kiai dijadikan kamar tidur santri. Jadi wajar kalau kebanyakan mahasiswa masih banyak berontak untuk ditempatkan digedung ini karena doktrin ini sudah melekat dalam diri santri sejak lama.

Perlu jadi perhatian sebenarnya, bahwa sebagai alternative, pengajian KH. Ishaq Latif tidak diberhentikan oleh pengasuh pondok atau pengurus-pengurus dengan banyak alas an “politik”. Akan tetapi sudah diberikan kelonggaran tempat yang boleh dipilih oleh KH. Ishaq Latif dimanapun dalam lingkup pondok yang beliu inginkan. Dan itupun hanya sementara waktu sambil menunggu pembangunan gedung baru selesai.

Yang keempat, tandatangan seluruh mahasiswa yang sekarang dipegang pengurus BEM. Kebanyakan (mayoritas mahasiswa) tidak mengharapkan bertempat di gedung UKP. Entah alas annya apa, yang jelas mereka pasti punya alas an dalam mengambil keputusan. Karena penulis yakin notabene mahasiswa Ma’had aly tidak hanya ikut arus angina.

Yang kelima, statemen yang diluncurkan oleh imam, anak buah KH. Ishaq Latif tentang pengambilan kebijakan mahasiswa ma’had aly tidak akan menempat di gedung UKP diacungi jempol dan diakui “cerdas” oleh KH. Ishaq Latif. Itu yang disampaikan imam pada teman-teman ma’had aly.

Yang keenam, keputusan mantab yang diluncurkan oleh Rektor Ma’had Aly Prof. Dr. Jamaluddin Mirri Lc. Santri itu harus ta’at pada kiai (pengasuh). Dan diberi waktu 2x24 jam bagi yang bertempat tinggal diluar pondok harus kembali kepondok tanpa pengecualian. Kalau tidak, maka akan dikeluarkan.

Dari banyak masukan yang penulis sebutkan diatas, banyak lagi dari kawan-kawan yang belum tertera. Akan tetapi, bagaimanapun kritis dan cerdasnya seorang anak, tidak seyognyanya buat melawan nalar dan kebijakan orang tua selagi tidak menyalahi aturan dan ketetapan ilahiyah.

Di kampus ini, rector dan pengasuh adalah orang tua kita yang bersedia menanggung minimal mendampingi resiko anak didiknya. Insya Allah!

Minggu, 14 Agustus 2011

KACA MATA TEMBUS PANDANG

Persaingan antara agama dengan sains memang berkelik sejak dulu. Katakan misalnya para ulama salafi dulu menggunakan dunia metafisika lewat wahana ajaran sufistik untuk berkomunikasi dengan sesama hamba Allah swt yang berada di daerah jauh yang tentunya dengan izin-Nya. Ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, hanya mereka yang mempunyai kedekatan khusus pada Rabbnya bisa menggunakan fasilitas ini.

Akan tetapi seiring perkembangan zaman, sains modern menciptakan telephon atau sekarang berubah menjadi lebih fleksibel (hand phone) yang dengan alat ini, semua orang bisa berkomunikasi dengan sesamanya walaupun jarak mereka relatif jauh. Ada juga yang menggunakan via internet dan semacamnya, semua produk sains yang menjawab kebutuhan manusia.

Kalau ulama (kiai) dulu bisa meramalkan bentuk tubuh manusia dibalik kain atau sesuatu yang masih terhalang dengan perhitungan falak seperti kata Makmuri Abdus Somad, Dosen Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) yang juga pernah membuktikannya. Maka sekarang (sudah sejak tahun 2005) sains modern menciptakan “kaca mata tembus pandang”.

Dvance Technologie Centre, sebuah laboratorium riset dari perusahaan BAE system di Inggris telah mengembangkan kacamata tembus pandang yang memanfaatkan teknologi spektrum kecil gelombang radio, yaitu gelombang Terahertz.

Ada juga yang menggunakan sensor infra merah atau transfer PCB sehingga didapatkan gambar yang jelas. Dengan adanya inframerah atau gelombang tetrahertz tersebut mata kita dapat melihat sesuatu yang disembunyikan dibaliknya. Selain itu, teknologi kacamata tembus pandang ini dapat melihat objek yang berada di kegelapan, kabut dan objek berada di balik jilatan api.

Meskipun menggunakan gelombang radio, tetap tidak mempunyai efek samping bagi mata penggunanya. Gelombang terahertz berada pada frekuensi antara gelombang mikro radar dan gelombang inframerah. Berada pada frekuensi 1 juta megahertz, tidak terlihat dan tidak mengganggu mata. Daya jangkau tembusnya lebih besar dari sinar X, membuat gelombang terahertz mampu mendeteksi benda pada jarak jauh yang disembunyikan di balik sesuatu.

Kacamata tembus pandang sebenarnya diciptakan untuk tentara militer sebagai alat deteksi senjata api, bahan peledak, senjata rahasia bahkan bahan kimia berbahaya, meski tersembunyi.

Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk bidang kedokteran seperti mendeteksi kanker kulit, kerusakan gigi, dan juga mengendus peradangan narkotika. Selanjutnya teknologi terahertz ini bisa juga diaplikasikan di bidang astronomi untuk meneliti kandungan kimia di Nebula dan Atmosfir planet.

Kaca mata tembus pandang ini (Spy Glasses Transparant) hanya bisa didapat dengan cara impor, salah satunya dari Melbourne Australia. Belum dijual bebas di Indonesia.

Sisi Negatif Kaca Mata Tembus Pandang (Spy Glasses Transparant)
Awalnya memang digunakan militer (peperangan) dalam mendeteksi keberadaan musuh yang bersembunyi dibalik dinding, gudang senjata, atau bom, dst, akan tetapi sudah menjadi karkater dasar manusia yang cenderung suka pada sisi sex. Tergantung manusia itu sendiri yang bisa mengendalikannya atau tidak dalam hal kebajikan atau keburukan.

Banyak yang menyalahgunakan untuk melihat tubuh manusia secara telanjang tanpa busana, khususnya lawan jenis. Dengan kaca mata tembus pandang, tubuh seseorang yang berbalut pakaian terlihat telanjang bulat.

Naasnya, tidak hanya kaca mata tembus pandang, bahkan sudah tercipta dalam kamera yang bisa merekam kondisi yang ia lihat dengan bantuan sinar infra merah atau gelombang terahetz itu.

Nah, disinilah tantangan para ulama, cendikiawan muslim, atau yang dipandang mempunyai kedalaman ilmu agama untuk menjadi benteng pertahanan akhlak penduduk Indonesia sebelum alat ini masuk ke dalam negeri tercinta ini. Sehingga jika memang produk ini masuk ke negara kita bisa dimanfaatkan dengan tepat.

PONDOK PESANTREN BERBASIS SOSIOAPLIKATIF

Pondok pesantren memiliki sekian banyak keunikan yang misterius. Hingga sulit rasanya untuk dirumuskan dalam sebuah teori. Semuanya masih menyimpan segudang pertanyaan. Mengapa dari gubuk sangat sederhana itu bisa berhasil melahirkan tokoh-tokoh hebat sepanjang sejarah?

Sejarah sudah mencatat bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan yang sejak lama dikenal sebagai wahana pengembangan masyarakat (community development). Dengan orientasi tersebut, pondok pesantren telah mampu menunjukkan partisipasi aktifnya bersama pemerintah dalam mewujudkan program-program pembangunan, lebih-lebih dalam hal kehidupan beragama dan pencerdasan kehidupan bangsa.

Pada mulanya pendidikan pesantren dikelola tanpa standar teknis dan manajemen yang baik, akan tetapi dalam perkembangan terakhir banyak pondok pesantren yang sudah memanaj lebih sistematis sesuai perkembangan zaman. Masing-masing berbeda dan punya ke-khasan tersendiri.

Walaupun berbeda tapi tujuan pondok pesantren tetap sama yang tercermin dalam tiga pondasi dasar yaitu ilmu, amal dan ikhlas. Tiga pokok lainnya; iman, islam dan ikhsan, atau dalam bahasa lain; akidah, syari’ah dan akhlak.

Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan untuk mencetak generasi bangsa dan umat. Tujuannya membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berbudi luhur, penerus ulama di masa mendatang.

Tidak sedikit orang pintar tetapi kurang perhatian dengan akhlakul karimah. Inilah yang sungguh disayangkan. Padahal misi utama Nabi Muhammad saw diutus kemuka bumi ini adalah untuk merubah akhlak manusia dari zaman ”dekadensi moral” menuju ke peradaban umat yang beretika luhur dan berperadaban tinggi. Karena akhlak yang mulia adalah suatu hiasan termulia dan terpuji di hadapan Allah swt. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.: “Aku diutus ke muka bumi ini hanya untuk menyempurnakan akhlak.”

Nah, dari sekian banyak pondok pesantren yang ada, Isyhar Ngejen kecamatan Prambon kabupaten Nganjuk adalah salah satu lembaga pendidikan yang turut berpartisipasi dalam mencetak kader bangsa lebih unggul dalam akhlak, kreativitas, serta pemikiran yang siap tanding.

***

a. Sejarah Pondok Pesantren Isyhar Ngejen

Berdirinya pondok “Isyhar” diawali dari bermukimnya seorang tokoh ulama yang berasal dari bumi Pasundan, Mbah KH. Arif. Beliau dilahirkan di desa Jasingan Banten Jawa Barat sekitar tahun 1814 yang bertepatan dengan gencarnya keinginan kolonial Belanda dan Jepang untuk menguasai dan memonopoli hasil tanah rakyat Banten.

Mbah KH. Arif adalah sosok kharismatik yang hidup di kalangan keluarga sederhana dengan dua adik perempuan yang bernama Nyai ‘Aliyah dan Nyai ‘Alimah.

Pada waktu Mbah KH. Arif beranjak remaja pada tahun 1825, di daerah beliau terjadi operasi pemerintah kolonial yang menguras habis hasil pertanian penduduk setempat. Dalam peristiwa itu seluruh rakyat mendapatkan deraan dan siksaan menyakitkan, sehingga dengan terpaksa Mbah KH. Arif dan kedua adik beliau meninggalkan kampung halaman dan bertekad untuk memperdalam khazanah ilmu agama di pondok pesantren.

Setelah berhari-hari melalui perjalanan yang melelahkan sampailah beliau di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Setelah bertahun-tahun beliau menuntut ilmu (thalabul ilmi) di pesantren itu, beliau meneruskan mondok ke pasantren daerah Boyolali. Kemudian timbul niat (himmah) untuk menuntut ilmu di daerah Jawa Timur. Disertai dengan niat yang ikhlas dan tekad yang kuat sampailah beliau dengan kedua adiknya, Nyai ‘Aliyah dan Nyai ‘Alimah di dusun Banjar Melati Kediri. Di tempat ini beliau meminta petunjuk “ngudi kaweruh” kepada Almagfurllah KH. Anwar Wardoyo yang kemudian beliau dijadikan mantu olehnya. (dinikahkan dengan Nyai Muthmainnah, putri KH. Anwar Wardoyo).

Setelah menikah, oleh Almaghfurlah KH. Anwar Wardoyo, beliau diamanati mendirikan masjid dan pondok pesantren untuk berjuang memperluas syari’at islam.
Sebelum menetap di dusun Grompol Barat, Mbah KH. Arif beserta keluarga pernah tinggal di desa Kedung Bajul tapi tidak begitu lama. Kemudian beliau pindah di dusun Grompol Barat dan mendirikan pondok pesantren pada tahun 1289 H/1868 M.
Pada usia sekitar 70 tahun Mbah KH. Arif berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima di Makkah al-Mukarrammah. Di tanah suci itu pula beliau mendapat panggilan untuk kembali ke rahmatullah dan dimakamkan di sana, ghafarallah wa rahimallah lahu. Amin!

Selanjutnya, perjuangan syiar Islam melalui pondok pesantren diteruskan oleh putra beliau yang bernama Mbah Kiai Imam Mubari dan sepeninggal Mbah Imam, tongkat estafet pondok selanjutnya dipegang oleh adiknya yaitu Mbah Ahmad Sakab.
Karena Mbah Sakab bertempat jauh (tidak dilingkungan pondok) maka kepengasuhan pesantren diamanatkan kepada adik beliau yang bernama Mbah Abdus Syakur dan Mbah Abdul Wahab dengan dibantu oleh pengganti pengasuh (Mbah Ahmad Sakab). Seterusnya adalah KH. Masruhin Syakur beserta saudara-saudaranya, di antaranya adalah Abah Afandi Husnan dan Abah Kiai Syamsuddin Syakur.

Pada generasi ini, berbagai perkembangan dan kemajuan tampak terlihat jelas. Maka dari kesemuanya itu timbul niat (himmah) para masyayikh untuk memberikan nama pesantren ini yang bertujuan untuk mengenang tokoh pendiri pesantren.
Akhirnya ditemukan nama yang di dalamnya terkandung nama tokoh dan juga madzhab yang dianut. Yakni pondok pesantren Islamiyah Syafi’iyah Haji Arif (PP. ISYHAR).
Pondok pesantren ini sampai saat ini diasuh oleh Abah KH. Masruhin Syakur beserta saudara-saudara beliau dengan jumlah santri putra-putri kurang-lebih 700 orang, dengan sarana dan fasilitas yang cukup memadai.

b. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Isyhar Ngejen

1. Sistem bandongan.

Aktivitas santri setelah shubuh adalah ngaji dengan sistem bandongan yang dipimpin oleh Mbah Kiai langsung sampai jam 8 wis (waktu istiwa’).
Dilanjut setelah sholat dhuhur mengaji kitab yang sudah ditentukan Mbah Kiai sedangkan setelah maghrib mengaji Tafsir Jalalain di Masjid pondok.
Jam setengah 2 - setengah 5 Wis para santri menempuh sekolah di Madrasa Diniyah.
Pendidikan di sekolah ini menggunakan sistem bandongan juga, walaupun terkadang para ustadz menjalankan sistem sorogan untuk mengetahui kemampuan santri dalam kajian mereka akan tetapi ini dilaksanakan secara temporal dan eksidental.
Dalam kajian kitab secara bandongan dengan Mbah Kiai selalu diikuti oleh seluruh santri (dari berbagai kelas yang menginginkan ngaji) tanpa ada tekanan dari pengurus pondok pesantren yang bersifat wajib.

2. Sistem sorogan.

Sistem ini dilaksanakan setelah sholat isya’ jam 20.30 – 23.00 Wis di kelas masing-masing tingkatan santri.

Di sini para santri bergantian membaca kitab, sedangkan santri yang lain melengkapi makna kitab yang tertinggal. Pengurus pondok merangkap menjadi pengurus sekolah diniyah dan menetap di pondok pesatren, menjadi dosen pembimbing. Pengurus inilah yang membenarkan, mengoreksi bacaan para santri ketika mereka menemukan kendala dalam membaca kitab. Bahkan menjelaskan pada poin-poin yang belum dipahami oleh santri setelah mereka menemukan titik buntu. Oleh karenanya, pengurus secara tidak langsung mempunyai kapasitas dan kapabelitas yang tidak diragukan dalam hal keilmuan agama.

3. Ekstrakurikuler.

Sebuah kebijakan yang tepat dan bagus dari pengasuh pondok pesantren Isyhar Ngejen dengan mengambil mata pelajaran gramatikal arab (nahwu-sharaf) sebagai prioritas yang utama.

Terlihat dari prosentase mata pelajaran yang sudah menjadi kebiasaan para santri. Tanpa meninggalkan bidang kajian yang lain seperti tafsir, tasawuf, akidah, dll.
Setiap malam selasa ba’da maghrib para santri mempunyai kegiatan komplek. Tiap komplek berbeda-beda kebijakan dalam mengambil aktivitas. Ini juga menjadi kegiatan hari kamis malam jum’at, bedanya, disini seluruh komplek memperdalam ilmu gramatikal arabnya.

Ada kegiatan lain seperti latihan pidato, perawatan jenazah, malam diba’iyah, pembacaan manaqib syaikh abdul qodir al-jilani, dst.

Selain kegiatan belajar mengajar di pondok, para santri mempunyai aktivitas lain. Ada yang mengambil sekolah jalur formal (santri hanya mengikuti kajian tidak sampai usai bersama Mbah Kiai di pagi hari), ada juga yang membantu Mbah Kiai dipeternakan, berjualan (buka warung), menjaga internet, bekerja di sawah dengan masyarakat dll.

Sosial masyarakat para santri terbentuk secara tidak langsung dari aktivitas yang terakhir disebut. Hubungan santri dan masyarakat terbentuk dengan harmonis dan bagus. Bukti riilnya, santri sering ada undangan dalam hal keagamaan dari masyarakat, diminta pendapat dalam kepengurusan desa serta kegiatannya, dan yang lebih disukai adalah lebihan makanan setelah ada warga desa mengadakan hajatan diberikan pada santri di pondok pesantren.

Walaupun tanpa ada teoritikal tentang ilmu sosial, tapi santri sudah mengaplikasikan ilmu itu dengan cara berinteraksi dengan masyarakat secara langsung.

Aktualisasi 5 nilai-nilai Pesantren

Pendidikan sebagai sebuah proses penanaman nilai-nilai merupakan entry point penting untuk dapat mencetak manusia yang seutuhnya. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan memiliki ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada saat ini pesantren Tebuireng sedang mengembangkan pendidikan berbasis nilai-nilai pesantren yang
terinspirasi dari nilai-nilai dari Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari. 5 nilai-nilai pesantren itu adalah;
• Ikhlas; Berbuat hanya mengharap ridha Allah Swt.
• Jujur; Perilaku (perkataan dan perbuatan) yang selalu dapat dipercaya.
• Tasamuh; Lapang hati, peduli dan menghargai perbedaan.
• Kerja Keras; Sungguh-sungguh, tekun dan tidak mudah putus asa.
• Tanggung jawab; Berani berbuat dan berani menerima akibatnya.
Dari lima nilai-nilai pesantren di atas diharapkan mampu menjadi pedoman terhadap segala aktivitas pendidikan yang ada di lingkungan pesantren Tebuireng, sehingga visi “Pesantren Terkemuka Penghasil Insan Pemimpin Berakhlak” dapat terwujud dengan baik dan lebih cepat. Ijtihad mulia ini harus kita apresiasi dengan aksi yang nyata, tentu
dapat dimulai dari diri sendiri dan juga dimulai dari pimpinan dari unit-unit yang ada dalam pesantren Tebuireng.

Selasa, 14 Juni 2011

MBAH KIAI HANAN

Pondok Kwagean Pare Kediri ini masih bersistem salaf layaknya pondok Lirboyo, Pacul Gowang, Isyhar Ngejen, al-Irsyad Gedongsari, Manbaul Hikam Udanawu Blitar, dll.

Pondok salaf seperti ini yang selalu mempunyai kedamaian tersendiri dengan karakternya masing-masing. Termasuk karakteristik para santri yang masih cenderung urakan. Kalau di Gedongsari menyambut santri baru dengan teriakan serentak “Jajane Kang.., tidak ada jajan sandal gratisan…” maka pondok kwagean ketika melihat lawan jenis sedang berlalu lalang di sekitar pondok bersorak secara serentak “swit swit.. hu…”. Terdengar menggema sampai yang disambut jadi salah tingkah.

Santri pondok Mojosari Nganjuk yang diasuh Mbah Kiai Zainal Musthofa berbeda lagi dalam penyambutan santri baru. Ketika tamu datang, tas dan segala perabotan langsung disambut oleh santri, dibawakan dan dimasukkan ke kamar beserta calon santri tersebut. Setelah duduk, maka langsung disodori pertanyaan “rokoknya kang? Atau jajane kang?”, kalau tidak siap dengan itu maka lantas tas dan segala perabotan langsung diangkut lagi dibawa ke WC sambil berucap “tempat njenengan disini kang”.

Masing-masing santri pondok salaf ini punya karakter yang unik dan mengesankan. Berbeda jauh dengan para kiai pengasuhnya yang lebih cenderung lemah lembut. Sifat itu menurun ke santri ketika mereka dalam keadaan sendiri-sendiri bukan dalam keadaan berkumpul. Sopan santun, tindak tanduk mereka baru kelihatan titik samanya.
Senakal-nakalnya santri, tetap merunduk ketika Mbah Kiai sedang berjalan di depan mereka, tetap sopan dan diam ketika sowan di kediaman beliau karena memang Mbah Kiai mempunyai teladan akhlak yang mereka kagumi.

Pernah suatu ketika penulis dibuat salah tingkah oleh Mbah Kiai Hanan pengasuh pondok Kwagean. Tidak selayaknya Kiai pada umumnya yang cenderung bertingkah leluasa ketika menghadapi tamu atau santri yang sowan, Mbah Kiai Hanan ini lebih menjaga sikap, sangat tawadlu’, bertutur kata halus, sopan, lembut, menundudukkan pandangan, mempersilahkan hidangan dengan ibu jari layaknya santri sedang memberikan petunjuk pada yang lebih tua.

Sangat bertolak belakang dengan karakter penulis yang cenderung urakan, grusah-grusuh, tutur kata seadanya dan kebanyakan kasar. Akhirnya tidak bisa berbicara panjang lebar dan cenderung diam, hanya sedikit yang diutarakan, cukup pada kepentingan yang ada.

Setidaknya, semoga dengan sowannya penulis pada beliau bisa tertular sedikit semakin banyak semakin mendekati harapan) sifat-sifat luhur beliau selain kepentingan yang sudah beliau selesaikan. Amin!

***

KEUNIKAN UJIAN PESANTREN

Keunikan pesantren memang tidak kunjung habis walau dikupas satu demi satu karena setiap pesantren mempunyai keunikan sendiri-sendiri yang menjadi tipologi pesantren tersebut. Tapi ada beberapa hal yang antara pesantren satu dengan lainnya hampir mempunyai kesamaan.

Katakanlah dalam hal ujian, dulu waktu penulis menempuh pendidikan di Pondok Pesantren al-Amin Mojokerto sekitar tahun 2001-2007 banyak ustadz yang mempunyai pemikiran sama dalam mengawasi ujian santri.

Pernah suatu ketika ada teman yang kepergok menyontek dalam ujian, yang dikeluarkan dari kelas justru yang memberikan contekan, bukan penyontek. Kalau ketahuan bawa buku atau kertas contekan alamat tidak akan ada nilai. Kebenaran tindakan ustadz baru terpikir beberapa hari setelah kejadian.

Kalau yang memberikan contekan, secara tidak langsung adalah mereka yang sudah dianggap mampu dalam hal yang diujikan oleh mereka yang mencontek. Ada pandangan nilai plus dalam diri penyumbang contekan dari penyontek sehingga ada sebuah kepercayaan. Jadi, tidak usah mengikuti ujian mata pelajaran tersebut termasuk sebuah kewajaran, yang ujian adalah mereka yang merasa kurang mampu dan lebih mempercayai orang lain dari pada dirinya sendiri.

Atau kemungkinan kedua, si penyumbang contekan tergolong dalam katagori tolong menolong dalam hal keburukan, mereka adalah orang yang tegah, kejam, sadis. Karena membiarkan teman yang tidak bisa mengerjekan soal masih dalam ketidaktahuan. Dalam artian, ketika seseorang menyonteki teman maka yang diconteki tidak akan ada usaha belajar lebih serius dan tetap pada kemalasan dan ketertinggalan. Wal hasil, yang diconteki tetap dalam kebodohan. Maka ustadz tidak menginginkan hal itu.

Kemungkinan selanjutnya, si penyontek merasa kurang percaya diri dengan jawaban mereka. Oleh karenanya pendidikan mental bisa dimulai dari kepercayaan diri dalam ujian tersebut. Bayangkan ketika orang yang memberikan contekan tidak ada, maka apa yang harus mereka perbuat? Hanya diam? Tidak akan menemukan kemajuan kalau hanya menunggu harapan semu, menunggu datangnya bantuan orang lain.

Dan masih banyak yang lain kemungkinan, tapi yang jelas yang dikeluarkan dari kelas adalah mereka yang memberikan contekan.

***

Di pondok Pacul Gowang dan Manbaul Hikam Udanawu Blitar hampir sama. Metode ujian yang digunakan adalah siasat waktu. Jangka waktu yang digunakan paling banyak 20 menit dalam 10-15 soal. Kebanyakn para ustadz penunggu ujian hanya memberikan waktu 10 menit dalam mengerjakan ujian.

Ada lagi, sebagian berbentuk soal dekte langsung dijawab oleh peserta ujian, jadi dekte selesai, jawaban juga harus selesai dan lembar jawaban harus dikumpulkan.

Pertimbangan kebijakan (rasionalisasinya) yang digunakan sangat sepele, mengapa harus berlama-lama dalam kelas? katakan 1 soal butuh waktu satu menit maka 10 soal hanya sepuluh menit, lebih dari itu hanya membuat sia-sia. Bahkan bisa dijadikan kesempatan yang tidak diinginkan seperti menyontek, ngobrol, melamun, atau yang lain.

Kalau memang belajar di waktu sebelum ujian, pasti bisa mengerjakan soal. Dan yang terpenting, ujian bukan jaminan orang itu akan menjadi sukses, dan bukan harus ditinggalkan. Karena ujian hanya salah satu wadah me-review apa yang sudah dipelajari dalam tempo tertentu agar bisa diingat kembali, segar kembali, serta bisa diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari. Singkatnya, ujian bukan menjamin kesuksesan seseorang, tapi ujian adalah salah satu batu loncatan untuk menuju sukses.

***

KEBIJAKAN ADA DITANGAN SENDIRI!!!

Jumat, 10 Juni 2011

ALMAGHFURLAH MBAH KIAI SYIHAB DAN AHMAD FAUZI

Almaghfurlah Mbah Kiai Syihab adalah Romo Kiai sepuh di Lontar Kebondalem Mojosari Mojokerto, masih adik dari Almaghfurlah Mbah Saib, buyut penulis 4 generasi dan masih ada sambung nasab dengan keluarga Romo Kiai Yahdi Mathlab pendiri Pondok Bidayatul Hidayah Mojogeneng Mojokerto. Jadi, Penulis bin Abdul Mukhith bin Jayamam bin Saib bin Bini.

Almaghfurlah Mbah Kiai Syihab berbeda dengan kakaknya, beliau lebih berilmu. Terlihat dari perjuangannya dengan mendirikan Mushollah awal di Lontar dengan pengajian TPQ dan Diniyah serta keistiqomahan beliau dalam menggeluti pengabdiannya.
Selain itu, beliau jadi rujukan keluhan masyarakat pada masanya. Bisa dibayangkan, perampok atau preman kalau melihat beliu langsung lari tunggang langgang.

Pernah suatu ketika seorang maling tertangkap basah oleh masyarakat dan dihajar massa tapi tidak terluka segorespun karena memang mempunyai amalan kekebalan. Akhirnya dilaporkan ke Almaghfurlah Mbah Kiai Syihab, maling itu langsung bertekuk lutut mengaku tobat sebelum beliau berbuat apapun.

Dikisahkan juga oleh masyarakat sekitar, kalau Almaghfurlah Mbah Kiai Syihab mengingankan buah di pohon, beliau hanya menunjuk buah itu dan buahnya langsung jatuh.

***

Setelah beliu wafat, pengajian diteruskan oleh putranya, Mbah Yasik tapi diniyah sudah mulai berkurang dan surut. Hanya TPQ yang masih eksis dan stabil serta pembangunan Mushollah yang dipermegah sedikit ukuran kampung.

Mbah Yasik orangnya gemar mengaji tafsir serta kitab-kitab klasik. Tiap pagi kalau penulis disuruh orang tua belanja ke toko beliau, beliau sedang menyimak kitab melalui radio. Ntah siapa yang mengaji belum terlintas waktu itu dalam benak penulis.

Dalam mendidik anak-anak, beliau cenderung demokrasi. Pilihan diserahkan anak yang penting siap mempertanggungjawabkan pilihannya. Oleh karenanya banyak anak-anak beliau yang sukses, ada yang jadi dosen, pengajar, swasta tapi bisa dikatakan mayoritas sudah menunaikan ibadah Haji.

Kalau di Jombang ada tulisan papan nama SANEX itu adalah salah satu usaha anak Mbah Yasik.

***

Generasi selanjutnya penerus Mushollah adalah Gus Ton, walaupun ada yang lebih dekat (lebih tua) yakni H. Maslikan tapi karena beliau tidak menempuh pendidikan Pondok Pesantren akhirnya dipegang oleh adiknya.

Setelah menikah, Gus Ton mendirikan TPQ sendiri di kediamannya yang masih se-desa. Jadi, TPQ Mushollah sudah tidak ada yang memperjuangkan dan mati sampai detik ini.
Bukan berarti keluarga beliau diam dan tidak mengambil keputusan, anak H. Maslikan di anjurkan menempuh Pendidikan Pondok Pesantren, seperti anaknya Lukman Hakim menempuh pendidikan di Mojogeneng, sekarang sudah menyelesaikan hafal al-qur’annya dan menjadi pengurus pondok Bidayatul Hidayah Mojogeneng.

Zumrah, adiknya yang juga mengaji di Pondok Qur’an yang diasuh oleh Mbah Kiai Mahfudzi sudah menikah tidak meneruskan perjuangan TPQ Mushollah dengan berbagai pertimbangan.

Nah, yang satu ini, Ahmad Fauzi sudah lulus dari Pondok Pesantren Al-Amin, katanya menjadi pengurus harian (keamanan) dan tidak pulang ke kampung halaman juga dengan berbagai pertimbangan.

AHMAD FAUZI, KAMPUNG HALAMAN SUDAH MENUNGGUMU.......!!! hehehe... peace!!!

***

Yayan Musthofa, dari berbagai sumber

Kamis, 09 Juni 2011

Mbah Kiai Mukhlas Mantenan

Mbah Kiai Mukhlas ini santri pertama Pondok Pesantren Mambaul Hikam Mantenan Udanawu Blitar yang didirikan hampir semasa dengan Pondok Pesantren Lirboyo 1910 M jadi umur beliau sekitar +- 101 tahun, sudah sangat tua tapi jalannya masih tegap dan gagah. belum dikarunia anak sehingga mengambil anak angkat.

Sesuatu yang bisa dijadikan teladan dari beliau adalah ketegasan beliau dan perhatian terhadap pondok dan santri. walaupun usia sudah senja, tapi setiap shubuh beliu mengelilingi pondok dengan membawa tongkat berdiameter sekitar 3.5-4cm dan panjang 1.5m. panjang dan besar. lebih besar dari tangan penulis. tongkat itu diseret sambil berjalan mengelilingi tiap kamar di komplek untuk membangunkan para santri yang masih tidur nyenyak ketika adzan shubuh sudah dikumandankan. semua yang masih tidur pasti terkena pukul tongkat itu dengan keras. "rasanya sampai seminggu belum pasti hilang sakitnya" tukas salah seorang santri. bahkan Gus Wahid yang masih keturunan keluarga pendiri, Mbah Kiai Ma'shum, juga pernah terpukul oleh tongkat beliu. semua, ntah itu santri, Gus, atau tamu, apalagi para pengurus pondok, pukulannya lebih keras dari yang lain karena memang mereka lah yang seharusnya berkewajiban mengemban amanat itu.

Oleh karenanya banyak sebagian santri yang tidak tidur malam, jadi ketika adzan dikumandankan mereka yang belum tidur langsung berteriak "shubuh... shubuh.." saling sahut sahutan, rasa kebersamaan mereka timbul, ntah, mungkin karena pernah merasakan semua pukulan itu atau ngeri mendengar pukulan itu.

Anehnya, tidak ada santri yang membenci beliu. bahkan sering liwetan bersama. dan menjadi bahan cerita dimanapun mereka berada sambil tertawa mengenang.

Ketegasan, perhatian, telaten, dan istiqomah ngurusi pondok menjadi inspirisi tersendiri serta kekaguman penulis pada sosok kiai Kharismatik satu ini.
***

Selasa, 07 Juni 2011

PONDOK PESANTREN BERBASIS SOSIO APLIKATIF

Santri itu rame ing gawe, among sepi ing pamrih cuplikan kata pengantar yang indah dan mengena dari penerbit Gatra dalam buku Islam Nusantara. Sebuah gambaran kepadatan aktivitas santri dalam lingkungan pondok pesantren.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa pondok pesantren menerapkan pendidikan 24 jam, sehari penuh. Dalam artian, seorang guru tidak hanya mengajar dalam kelas tetapi juga melingkupi ranah terapan, aplikatif (terpadu).

Termasuk keunikan pondok adalah mempunyai spesialisasi tersindiri yang berbeda antara satu pondok dengan pondok lainnya. Ada yang spesialisasi gramatikal, bahasa, fikih, ushul fikih, hadits, tafsir, dll tanpa meninggalkan keragaman ilmu yang lain, hanya prosentase dibagian spesialisasinya yang diperbesar.

Oleh karenanya RUU pondok pesantren terakhir yang digagas para pemegang pemerintahan banyak menuai kontroversi dari pihak pesantren, masyarakat, maupun aktivis pergerakan alumni pondok.

Nah, termasuk spesialisasi pondok pesantren isyhar, ngejen adalah pondok berbasis sosio aplikatif dan gramatikal arab. Gambarannya, pesantren dalam hal kemasyarakatan membaur dengan masyarakat dan saling tolong menolong, bahu membahu. Bahkan santri sering mendapat orderan membangun bangunan, panen sawah, tasyakuran, dll baik dalam ranah keagamaan maupun pembangunan masyarakat.

Alat-alat interaksi bermasyarakat dilakukan secara praktis aplikatif oleh santri seperti tahlil, pidato, merawat jenazah, kerja sawah, ternak, bangun bangunan (arsitek), dan masih banyak lagi sehingga bisa dikatakan siap terjun dalam bermasyarakat.

Secara teori santri tidak belajar ilmu social, tapi secara praktis mereka menerjuni ranah aplikatif sosiologi, bahkan Kepala Desa Tanjung Tani adalah alumni Pondok Isyhar, Ngejen yang tidak menempuh jalur kuliah (formal) bisa menerjuni ranah politik praktis tingkat desa. Hanya karena pergaulan dan wacana yang ditempuh dari pembauran masyarakat bisa membentuk kerangka berpikir yang bagus, sehingga dapat memetakan sebuah permasalahan dan mencarikan solusi yang tepat bagi masyarakat. Maka, masyarakat yang menilai.

Dari segi bangunan, pondok Isyhar, Ngejen berbeda dengan kebanyakan Pondok modern. Kalau Pondok Modern atau semi Modern membangun pagar agar santri tidak keluar masuk Pondok tanpa prosedur maka di Pondok Ngejen tidak dibangun Pagar pembatas. Sama dengan Pondok Pacul Gowang yang sekarang diasuh oleh KH. Aziz Manshur. Kilahnya, pagarnya adalah do’a Kiai dan Kharisma sang Kiai.

Pastinya ada kelebihan dan kelemahan masing-masing secara bangunan fisik, akan tetapi dalam gambaran kehidupan tiap hari, Pondok berbasis social ini sangat tentram untuk ditempati. Bahkan antar santri pun terlihat akrab layaknya saudara kandung. Bagaimana tidak, kalau ada masalah antar santri akan lebur dengan fasilitas social yang berbangunkan “liwetan” masak dan makan bersama, guyonan mereka, gojlokan mereka.

Masalah keilmuan kitab kuning, tidak perlu diragukan, karena secara teoritik plajaran utama, adalah gramatikal arab, prosentasi kajian lebih diperbesar dalam gramatikal arab sehingga kedepannya, santri diharapkan bisa membaca dan memahami berbagai macam literature arab.

Keluangan waktu pagi hari mencetuskan kekreatifan tersendiri bagi tiap individu santri, ada kalanya mengambil pendidikan formal di sekolah luar pondok, kerja membantu masyarakat, jualan independent, mendirikan warung, dll karena memang tidak ada pagar yang menyekat antara pondok dengan masyarakat sehingga interaksi mereka secara langsung walaupun pondok termasuk subkultur tersendiri akan tetapi tidak membuat sekat yang membuat jarak pemisah dalam berinteraksi.

Siang hari, jam sekolah diniyah, kajian kitab kuning dan malam hari habis isya’ disibukkan dengan jam belajar (takrar) sampai tengah malam jam 23.00
Kepadatan aktivitas pondok salaf dalam mendidik para santri jarang terekspos media karena berbagai kendala. Adakalanya kalah dalam hal legalitas kepemerintahan sehingga keunggulannya terhijab oleh formalitas, adakalanya santri sendiri tidak mempublikasikan dalam media tulis menulis, adakalanya improvement pada masyarakat sudah dikuasai ekonom yang sudah sukses dalam mencetak karakter pekerja (cuci mintset).

Semoga, dengan perjuangan mereka dalam mempertahankan mutu, system, aplikasi mereka bisa membantu perkembangan Agama dan Negara Indonesia ke depan tanpa tersingkirkan oleh perkembangan zaman yang belum jelas format bangunan system dan ranah perjuangannya. Amin!

Minggu, 29 Mei 2011

KAJIAN TAFSIR SURAT AL-BAQARAH: 62

1. Prolog
Berawal dari novel sejarah karya Agus Sunyoto, Suluk Syeikh Abdul Jalil (Syeikh Siti Jenar: dalam tujuh jild) jild satu-dua ada sedikit keterangan yang menggugat penulis ingin mengkaji lebih dalam surat al-Baqarah:62

Dikisahkan dalam perjalanan Syeikh Siti Jenar setelah menempuh perjalanan spiritualnya mengajari Syeikh Syarif Hidayatullah kecil 15 th ketika menjumpai seorang brahman (orang yang menyucikan hatinya dalam istilah hindu) yang duduk dpinggiran jalan. Ketika melihat realita itu Syeikh Siti Jenar menjelaskan bahwa brahman itu adalah saudaranya karena perjalanan penyucian dirinya dalam menempuh jalan hakiki dan meninggalkan kehidupan asalnya (karena brahman itu adalah putra seorang raja).

Setelah menempuh beberapa perjalanan Syeikh Siti Jenar dan Syeikh Syarif Hidayatullah menjumpai seorang saudagar muslim yang menunggang kuda. Syeikh Siti Jenar menjelaskan bahwa dia adalah bukan saudaranya, karena dibalik keislamannya itu sebenarnya dia adalah penjual budak-budak muslim, pemabok, dan merampas harta yatim piatu dengan cara piutang.

Dari dua realitas yang berbeda itu, Syeikh Siti Jenar menyitir ayat 62 dari surat al-baqarah sambil menjelaskan, buat apa berkedok agama islam kalau sebenarnya dia tidak menyucikan hatinya. Brahman itu lebih baik darinya dan dialah saudaraku.

2. Pembahasan

إنَّ الذِّيْنَ آمَنُوْا وَالّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَاخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَاهُمْ يَحْزَنُوْنَ.

Ada 4 kelompok di dalam ayat ini, yang pertama adalah orang-orang yang beriman, orang yahudi, orang nashrani, dan shabi’in.

a. Alladzîna Âmanû= Para Ahli Tafsir berbeda pendapat tentang arti kata dalam ayat ini karena dalam pertengahan ayat menggunakan kalimat man āmana billahi wal yaumil ākhir yang bisa jadi dalam katagori arti kata iman yang pertama, Inna Alladzîna Âmanû, bukanlah yang dimaksud dari iman dalam man āmana billahi wal yaumil ākhir.

1. Pendapat Ibn Abbas: orang yang sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw, beriman pada Nabi Isa as secara bebas tanpa masuk dalam kebatilan yahudi dan nashrani seperti Qusy bin Sa’idah, Bukhairah, Khabib al-Najjar, Zaid bin Umar bin Nufail, Waraqah bin Naufal, dst. Jadi maksud ayatnya adalah orang yang beriman, sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw, baik yang memeluk nashrani, yahudi, atau tidak keduanya (secara bebas dari kebatilan) dan semuanya beriman pada Allah dan Nabi Muhammad setelah diutusnya beliau maka bagi mereka mendapatkan imbalan disisi Allah.

2. Pendapat Sufyan al-Tsaury: Pembukaan ayat Allah menggambarkan jalan yang ditempuh orang munafik kemudian jalan yang ditempuh orang yahudi. Maksudnya, Inna Alladzîna Âmanû, mereka yang beriman dengan lisan bukan bersumber dari hati, munafik. Maka penyebutan kata munafik, yahudi, nashrani, dan shabi’in seakan Firman-Nya: mereka yang dalam kebatilan itu ketika masuk dengan iman hakiki maka menjadi “al-mu’minun” disisi Allah Swt.

3. Pendapat Mutakallimin: Inna Alladzîna Âmanû, iman disini dalam katagori lampau, yang sudah dilewati. Mereka sudah mempunyai iman yang hakiki, sedangkan man āmana billahi mengandung arti yang akan datang “mustakbal”. Jadi maksudnya, orang yang beriman dalam zaman yang telah dilalui, sekarang, dan setelahnya (teguh, kontinue).

b. Alladzîna hādû= Para Ahli Tafsirpun juga berbeda pendapat dalam pengertian kata ini:

1. Pendapat Ibn Abbas: mereka disebut yahudi setelah peristiwa pertaubatan mereka dari penyembahan patung sapi, “inna hudnā ilaika” (al-A’raf:156). Maksudnya, kita telah bertaubat dan kembali.

2. Sebagian Ahli Tafsir: Penisbatan pada Yahudza, anak tertua Nabi Ya’qub, orang arab mengganti “dzal” dengan “dal” karena dalam kata serapan ‘ajam ke ‘arab mereka seringkali mengubah salah satu hurufnya.

3. Pendapat Abu Umar bin al-‘Ala: disebut yahudi karena cekatan ketika dibacakan taurat.

c. Al-Nashārā: juga ada 3 pendapat

1. Ibn Abbas, Qatadah, dan Ibn Juraij: karena tempat sebagai tempat tinggal Nabi Isa as adalah Nashirah, maka dinisbatkan padanya.

2. Pendapat Kedua: karena mereka saling tolong menolong antara satu dengan yang lain.

3. Pendapat Ketiga: karena Nabi Isa as berkata pada kaum hawariyyin, “man anshārî ilā Allah” Imam al-Zamakhsyari berkata: Al-Nashārā bentuk plural dari “al-Nashrān”, hurf “ya” dalam Al-Nashārā bermakna mubalagha. Karena mereka menolong al-Masikh.

d. Al-Shābiin: yaitu orang-orang yang keluar dari agamanya pindah ke agama lain. Orang arab menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai al-Shābi’ karena secara terang-terangan menentang agama mereka.

Ada pendapat lain yang lebih mendekati kebenaran dalam pemahaman ahli tafsir, yaitu orang yang menyembah lintang. Disini ada 2 penekanan, pertama adalah bahwasanya pencipta alam adalah Allah swt hanya saja Dia memerintahkan penyembahan lintang sebagai kiblat shalat dan do’a. Kedua, Allah menciptakan lintang sebagai titik penyeimbang, pengatur tatanan alam semesta, oleh karenanya dijadikan sesembahan, dan lintang itu yang menyembah Allah swt.

Dan masih banyak pendapat lain.

Setelah penyebutan 4 golongan diatas, Allah menerangkan bagi mereka yang beriman kepada Allah swt, maka baginya pahala di akhirat. Sebagai informasi bagi berbagai macam kesesatan ketika keluar dari jalur itu dan beriman pada agama yang hakiki maka Allah akan menerima keimanan, ketaatan, dan tidak akan menolak kehadiran orang tersebut.

Penting, termasuk dalam katagori iman kepada Allah swt adalah iman pada apa yang diwajibkan oleh-Nya, yakni iman pada Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya. Dan dalam katagori iman kepada hari akhir adalah hukum, konsep akhirat (pahala dan siksa). Kedua iman inilah yang menghubungkan berbagai agama dalam hal pembebanan (hukum taklif) dan hari akhir (hari pembalasan).

Refrensi:
1. Tafsir Mafatikh al-Ghaib, Imam Fakhru al-Razi.
2. Tafsir Marakh al-labiid, Imam Nawawi al-Bantani.
3. Tafsir al-Maraghi, al-ustadz al-kabiir Ahmad Mushtofa al-Maraghi.
4. Tafsir shafwah al-tafasir, Muhammad Aly al-Shabuny.
5. Novel Suluk Abdul Jalil, Agus Sunyoto.

KADO DARI NGANJUK

Sebuah jawaban dari ritual yang diajarkan bapak sejak kecil adalah ziarah kubur, sowan ke makam mbah kirim do’a, baru didapatkan ketika sudah umur lanjut (23), oleh-oleh dari mbah Kiai Masyrikhin Syakur, Prambon Nganjuk.

Kemarin waktu sowan Mbah Kiai Masyrukhin Syakur dalam rangka wawancara karena kelompok penulis yang sedang menjalankan KKNBP (berbasis pondok pesantren) membuat planning lounching buku profil pondok Ngejen Prambon Nganjuk serta Pendirinya sebagai kenang-kenangan kelompok pada Pondok ketika perpisahan kelak.

Tidak akan dimuat semua dalam tulisan ini semua hasil wawancara, karena akan dimuat dalam buku tersendiri. Disini hanya menorehkan sepercik syukur atas jawaban beliu (Mbah Kiai Masyrukhin Syakur) terhadap apa yang sudah menjadi ranah aplikatif keluarga penulis yang sebelumnya hanya bertendensi pada “itu adalah apa yang dilakukan nenek moyang kami, dan kami mempertahankannya” menjadi sesuatu yang berdasar pada ulama’ salaf, yakni kirim do’a pada mbah yang sudah mendahului kita dalam rangka ucapan rasa syukur dan mengharapkan berkah yang lebih.

Dalam wawancara, beliau memulai dengan menceritakan sesepuh beliu, kakek buyut beliu, dengan ingatan yang masih segar walaupun usianya sudah lanjut. Diruntut dari beliu, abahnya, kakeknya, sampai pada ujung, yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini beliu menegaskan bahwa tidak ada untungnya jika hanya mengklaim tanpa sebuah dasaran, malah menambah dosa. Maksud yang beliau tekankan hanya mengharap berkah dari kakek buyut yang sudah membesarkannya sampai menjadi sekarang ini.

“Justru dengan mengaku menjadi keturunan Nabi SAW, hidup menjadi tidak mudah karena ada larangan menerima zakat, shadaqah, dll yang sudah diNash oleh kanjeng Nabi SAW” tandasnya.

Sambil menunjukkan buku silsilah nasab keturunan yang menjadi pilar para kiai di Kediri, Nganjuk, Jombang yakni silsilah dari Romo Kiai Mursyad. Dalam sanad itu, tertera juga nasab yang menjalur ke Khadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Tebuireng, Mbah Kiai Abdul Karim, pendiri Pondok Lirboyo, sampai Mbah Kiai Arif, pendiri Pondok Ngejen, dan Mbah Mustajab, pendiri Pondok Gedong Sari, dst.
Nah, yang mengesankan bagi penulis adalah ritual kirim do’a pada kakek buyut tidak pernah putus, apalagi setelah sholat selalu dikhusus oleh beliau.

Yang kedua adalah Nadzam Alfiyah yang dicuplik beliu sebagai dasaran, sebelumnya tak pernah terlintas sampai sana adalah: wahuwa bisabqin khaizun tafdlilah-mustaujibun tsanaiyal jamilah. Wallahu yaqdli bi hibatin wafirah-li wa lahum fi darajatil akhirah.

Wahuma lan utawi mbah Arif (pendiri Pondok Ngejen) bisabqin sebab dilek khaizun tafdlilah kang aweh anugrah, mustaujibun tsaniyal jamilah setidaknya wajib mendapat penghargaan yang bagus. Dengan cara kirim do’a, tabarrukan, karena beliau sudah berbeda alam. Wallahu yaqdli bi hibatin wafirah semoga dengan amalan kirim do’a kita pada beliau yang sudah wafat dan melahirkan kita, Allah SWT memberikan barakah yang melimpah. Li untuk saya, wa lahu lan kanggo mbah Arif, fi darajatil akhirah ingdalem sisok di Akhirat.

Simple, hanya mengharap berkah dari yang sudah melahirkan kita ke dunia. Kalau beliau masih hidup, sebisa mungkin kita bahagiakan walau tak setimpal, kalau sudah wafat ya dikirim do’a. Allahu A’lam Bisshawab!

Yayan M, Ngejen, 29 Mei 2011