Cari Blog Ini

Kamis, 15 Desember 2011

BELAJAR TEORI “BAINA” PADA MBAH KIAI IRFAN (6)

Ada sebuah riwayat yang menjelaskan salah satu manfaat ayat kursi sebagai pengusir setan dari abu hurairah ketika ditugasi oleh rasul untuk menjaga gudang gandum milik umat. Pertemuan pertama, ia didatangi orang tua menyamar tidak mampu dan minta sumbangan gandum ke Abu Hurairah, akhirnya dikasih sama beliau. Pagi harinya Abu Hurairah lapor ke Rasul, dan Rasul menjawab, ntar malam dia akan datang kembali.
Benar apa yang dikatakan oleh rasul, malam harinya dia datang lagi. Dan mengeluh seperti halnya hari pertama, akhirnya dikasih lagi oleh Abu Hurairah. Besok paginya beliau lapor kembali ke Rasul, dan dijawab seperti hari pertama. Alhasil, Abu Hurairah bertanya, sebenarnya yang datang itu siapa? Rasul menjawab, dia adalah setan. Baru, Abu Hurairah berkomitmen untuk menangkapnya.

Hari ketiga datang lagi dan ditangkap oleh Abu Hurairah seperti komitmen awal. Abu Hurairah bilang, saya akan menyerahkanmu kepada Rasul. Si setan merintih supaya tidak dilaporkan atau diserahkan ke Rasul dengan bujukannya, yakni mengajarkan sebuah ayat yang ditakuti oleh kalangan mereka, ayat kursih. Deal-dealan tersebut disepakati oleh beliau.

Contoh kedua, takmir masjid mengunci atau menggembok masjid juga belajar dari pencuri, karena sebuah pengalaman yang terus menerus akan seringnya kehilangan barang masjid. Maka si takmir belajar dari situ untuk akhirnya berperilaku untuk mengunci dan menggombok masjid.

Dari sini, pada hakikatnya, bukan masalah pelaku yang harus kita benci, karena mereka pada eksistensinya memberikan sebuah pengetahuan atau ilmu pada kita. Memberikan tafsir tersendiri pada al-qur’an (baca: wacana/realita) yang sangat bermanfaat untuk bertindak dalam menjalani kehidupan.

Makhluk Allah semua perlu kita rangkul, sayangi, dan kasihi. Karena mereka lah yang memberikan sebuah realita tentang kebaikan dan keburukan sehingga bagaimana kita bisa berbuat lebih bijak di dunia ini.

Sebuah kesalahan ketika kita menyekat-nyekat antara orang baik dan buruk untuk menjadikan tamu kita. Dan semua masih mempunyai kemungkinan untuk berubah-ubah sebelum ajal menjemput. Oleh karenanya, orang bijak akan menggauli semua makhluk tuhan dengan sikap toleransi, kasih sayang, dst. Masalah benar dan salah, itu masalah dirinya dengan Tuhannya, sedangkan masalah manusia adalah sebagai makhluk yang membumikan sikap rahmatan lil alamin.

Kesimpulannya, kita masih dalam ranah “baina”, diantara akan menjadi baik dan buruk. Tidak layaknya menyekat-nyekat makhluk ciptaan Allah dengan klaim baik dan buruk karena yang tahu hanya sang ilahi. Semua berpretensi pada dua kenyataan tersebut dan dalam perjalanannya semua menjadi pelajaran dan ilmu bagi pedoman untuk melangkah di dunia dengan bijak. Masih dan terus dalam ranah “baina”, dan

semua perlu dikasihi tanpa perlu ada sekat. Insya Allah!

BELAJAR DZIKIR PADA MBAH KIAI IRFAN (5)

Seorang salik dalam melakukan dzikir di sebuah thariqah tertentu khususnya, atau mereka yang berusaha melakukan dzikir dengan caranya sendiri yang “sok” khusu’ pada umumnya. Itu meletakkan atau lebih tepatnya memfokuskan konsentrasi dzikirnya melalui lathifah-lathifah sirrinya. Ada lathifah qolbi, lathifah sirri, lathifah khofi, akhfa, dst. Jadi berusaha menghidupkan lathifah-lathifah yang ada untuk berdzikir bersama mengingat Allah.

Hal itu tidak sepenuhnya benar, dan tidak pula salah. Dalam maqam drajat tertentu ketika sudah mendekati puncak, maka tidak diperlukan sebuah proposisi tersebut. Ibaratnya orang belajar berjalan, awal kali ketika belajar, maka masih ada proposisian kapan, bagaimana, atau kemana berjalan masih ada penempatan dalam hati ketika mulai berjalan, minimal ada semacam “niatan” berjalan.

Berbeda halnya ketika sudah lanyah berjalan, tanpa ada hal semacam itu. Langsung berjalan dan merasakan bahwa ia berjalan tanpa harus memosisikan kaki dan lain sebagainya terlebih dahulu baru kemudian berjalan. Langsung jalan,.

Atau diibaratkan orang belajar naik sepeda motor, awal kali mengendarai maka masih ada dalam angan-angan untuk akan memasukkan gigi berapa, masih ada angang-angan pengaturan gas sepeda, atau mengurangi gas, dst. Berbeda ketika sudah lanyah naik sepeda, maka hal semacam itu sudah tidak diperlukan lagi, tinggal naik dan mengendarai sepeda motor dan pasti merasakan rasa naik sepeda motor.

Analogi proposisi dalam thoriqah juga sama dengan demikian, kalau sudah lanyah dalam berdzikir, maka tidak diperlukan hal semacam itu, tinggal dzikir dan merasakan dzikir tersebut. Karena proposisi tempat dzikir tersebut hanya menambah beban atau mengganggu kenikmatan rasa dalam kemesraan berdzikir itu sendiri.

BELAJAR “THARIQAH” PADA MBAH KIAI IRFAN (4)

Dalam banyak kitab tasawuf sering diterangkan tentang trinitas syariah, thariqah dan haqiqah termasuk dalam kitab al-atqiya’ yang pernah penulis baca. Diibaratkan antara syariah adalah perahu, thariqah adalah perjalanan laut, dan haqiqah adalah intan dalam laut. Jadi untuk menempuh haqiqah butuh perjalanan via thariqah dengan kendaraan perahu syariah.

Ada sedikit pemahaman yang sebenarnya mempunyai inti penjalasan yang sama, tapi dalam rangkaian penjelasan lebih mengena adalah dari Mbah Kiai Irfan selaku pelaku yang bisa dikatakan telah menempuh seluruh dan menggapai kebenaran setelah mencari “al-haq” dalam perjalanan pribadinya.

Disini beliau mengibaratkan “thariqah” adalah jalan. Memaknai dengan asal lafadznya, dan mempertanyakan kalau thariqah adalah sebuah jalan, maka siapa yang berjalan (salik)? Beliau memberi penjelasan bahwa yang berjalan adalah syariah dan haqiqah secara bebarengan.

Syariah diibaratkan jism atau badan dhahir, apabila yang berjalan dalam thariqah hanya syari’at belaka, maka akan menimbulkan perjalanan hampa dan cenderung distruktif, karena tidak adanya ruh halus “latifah” yang mengisi dan menggerakkan.
Dan apabila yang berjalan adalah haqiqah, maka juga akan dipandang gila, bagaimana isi berjalan tanpa sebuah badan atau bungkus? Orang berjalan keluar dengan telanjang tanpa mengenakan busana bungkus, akan dipandang gila. Pakaian berjalan tanpa ada yang mengenakan isi juga akan pada lari yang melihat.

Jadi, antara syariah dan haqiqah harus bebarengan dalam melakukan perjalan panjang di jalur thariqah. Dan pos-pos sebagai singgah yang ada dalam perjalanan juga banyak, diantaranya adalah pos “ma’rifat” dalam pos ma’rifat juga banyak kamar yang akan dijelaskan beliau dalam pertemuan mendatang.

BELAJAR SIFAT ALLAH PADA MBAH KIAI IRFAN (3)

Dari apa yang sudah kita pelajari selama ini dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah ala asy’ariyah, ada dari sub babnya yang menerangkan 20 sifat wajib dan 20 sifat kebalikannya serta satu sifat mungkin.

Yang jadi ajaran Mbah Kiai Irfan cuman pertanyaan simple dari dua sifat wajib Allah, yakni sifat wujud dan sifat kalam Allah. Mana yang lebih dahulu antara “ada” atau “kalam/ucapan”? kalau misalnya kita menjawab sifat “ada” yang ada terlebih dahulu, maka bagaimana Dia menceritakan tentang ke-“ada”-annya tanpa “kalam” yang harus dulu ada, bagaimana mungkin bicara “ada” kalau “kalam” belum ada?
Kalau dijawab “kalam”, maka juga menjadi ricuh, bagaimana berkalam kalau belum “ada”? oleh karenanya runtutan dalam ajaran asy’ariyah itu bukanlah bersifat normatif yang harus runtut begitu susunannya (wujud, qidam, baqo’, dst).

Ketika mengalami kebungkaman dalam menjawab soal yang dilontarkan mbah kiai, beliu menjelaskan bahwa jawaban itu ada di sifat “al-awwalu wal akhiru”, Dia yang maha dahulu dan terakhir. Maksudnya, eksistensi entitas “Allah” itu adalah awal, tanpa ada yang lebih dahulu dan tanpa ada akhirnya.

BELAJAR FI’IL MUDLORI’ PADA MBAH KIAI IRFAN (1)

Secara garis besar fi’il yang kita ketahui dibagi menjadi tiga: pertama, fi’il madli; kedua fi’il mudlori’; dan ketiga fi’il amr. Yang pertama bermakna masa lampau “madli”, jelas. Disini singkronisasi dengan tasawuf cuman dua, yakni kebaikan dan keburukan. Dua itulah dari masa lampau itu, dan tidak lebih atau keluar dari itu.

Yang ketiga juga jelas, bermakna perintah “amr”. Ini juga tidak keluar dari dua area yakni perintah untuk melaksanakan dan perintah untuk meninggalkan suatu perkara. Baru yang ketiga, ini jarang diartikan oleh kalangan ketiga, melainkan langsung dibagi menjadi dua; “khal” sekarang dan “mustaqbal” yang akan datang.

Disini Mbah Irfan menyadarkan akan makna “mudlori’” pada penulis, yakni bermakna “samar-samar/remang-remang”. Jadi, mudlori’ itu status yang kita hadapi tidaklah jelas, remang-remang, yang terkadang salah dan terkadang benar dan belum tentu yang kita lakukan sekarang adalah benar menurut kita atau salah menurut kita, hanya allah yang tahu.

Sebuah kesalahan ketika merasa sudah menilai benar untuk diri pribadi dan orang lain di sisi yang salah ketika suatu hal. Dan begitu juga sebaliknya.

Dalam sebuah perjalanan “mudlori’” yang remang-remang perintah “tadlorru’” yang seakar dengan mudlori’ lah yang perlu kita pegang. Itu bermakna “ndepe-ndepe/andap asor”, jadi harus rendah diri pada keremang-remangan perjalanan pada allah semata. Tidak bisa memakai pegangan yang lain.

Tidak ada yang bisa kita katakan jelas pada mudlori’, karena semua hanya pada satu lafadz yang ada dalam al-qur’an, yakni “la’allakum” masih bermakna semoga. Jadi untuk semua hambah allah hanya ada satu lafadz, entah semoga dirahmati, semoga diberi petunjuk, semoga termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa, atau semoga-semoga yang lain.

Semoga, dalam ketidakjelasan perjalanan ini, kita termasuk dalam tuntunannya. Amin!