Cari Blog Ini

Minggu, 29 Mei 2011

KAJIAN TAFSIR SURAT AL-BAQARAH: 62

1. Prolog
Berawal dari novel sejarah karya Agus Sunyoto, Suluk Syeikh Abdul Jalil (Syeikh Siti Jenar: dalam tujuh jild) jild satu-dua ada sedikit keterangan yang menggugat penulis ingin mengkaji lebih dalam surat al-Baqarah:62

Dikisahkan dalam perjalanan Syeikh Siti Jenar setelah menempuh perjalanan spiritualnya mengajari Syeikh Syarif Hidayatullah kecil 15 th ketika menjumpai seorang brahman (orang yang menyucikan hatinya dalam istilah hindu) yang duduk dpinggiran jalan. Ketika melihat realita itu Syeikh Siti Jenar menjelaskan bahwa brahman itu adalah saudaranya karena perjalanan penyucian dirinya dalam menempuh jalan hakiki dan meninggalkan kehidupan asalnya (karena brahman itu adalah putra seorang raja).

Setelah menempuh beberapa perjalanan Syeikh Siti Jenar dan Syeikh Syarif Hidayatullah menjumpai seorang saudagar muslim yang menunggang kuda. Syeikh Siti Jenar menjelaskan bahwa dia adalah bukan saudaranya, karena dibalik keislamannya itu sebenarnya dia adalah penjual budak-budak muslim, pemabok, dan merampas harta yatim piatu dengan cara piutang.

Dari dua realitas yang berbeda itu, Syeikh Siti Jenar menyitir ayat 62 dari surat al-baqarah sambil menjelaskan, buat apa berkedok agama islam kalau sebenarnya dia tidak menyucikan hatinya. Brahman itu lebih baik darinya dan dialah saudaraku.

2. Pembahasan

إنَّ الذِّيْنَ آمَنُوْا وَالّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَاخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَاهُمْ يَحْزَنُوْنَ.

Ada 4 kelompok di dalam ayat ini, yang pertama adalah orang-orang yang beriman, orang yahudi, orang nashrani, dan shabi’in.

a. Alladzîna Âmanû= Para Ahli Tafsir berbeda pendapat tentang arti kata dalam ayat ini karena dalam pertengahan ayat menggunakan kalimat man āmana billahi wal yaumil ākhir yang bisa jadi dalam katagori arti kata iman yang pertama, Inna Alladzîna Âmanû, bukanlah yang dimaksud dari iman dalam man āmana billahi wal yaumil ākhir.

1. Pendapat Ibn Abbas: orang yang sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw, beriman pada Nabi Isa as secara bebas tanpa masuk dalam kebatilan yahudi dan nashrani seperti Qusy bin Sa’idah, Bukhairah, Khabib al-Najjar, Zaid bin Umar bin Nufail, Waraqah bin Naufal, dst. Jadi maksud ayatnya adalah orang yang beriman, sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw, baik yang memeluk nashrani, yahudi, atau tidak keduanya (secara bebas dari kebatilan) dan semuanya beriman pada Allah dan Nabi Muhammad setelah diutusnya beliau maka bagi mereka mendapatkan imbalan disisi Allah.

2. Pendapat Sufyan al-Tsaury: Pembukaan ayat Allah menggambarkan jalan yang ditempuh orang munafik kemudian jalan yang ditempuh orang yahudi. Maksudnya, Inna Alladzîna Âmanû, mereka yang beriman dengan lisan bukan bersumber dari hati, munafik. Maka penyebutan kata munafik, yahudi, nashrani, dan shabi’in seakan Firman-Nya: mereka yang dalam kebatilan itu ketika masuk dengan iman hakiki maka menjadi “al-mu’minun” disisi Allah Swt.

3. Pendapat Mutakallimin: Inna Alladzîna Âmanû, iman disini dalam katagori lampau, yang sudah dilewati. Mereka sudah mempunyai iman yang hakiki, sedangkan man āmana billahi mengandung arti yang akan datang “mustakbal”. Jadi maksudnya, orang yang beriman dalam zaman yang telah dilalui, sekarang, dan setelahnya (teguh, kontinue).

b. Alladzîna hādû= Para Ahli Tafsirpun juga berbeda pendapat dalam pengertian kata ini:

1. Pendapat Ibn Abbas: mereka disebut yahudi setelah peristiwa pertaubatan mereka dari penyembahan patung sapi, “inna hudnā ilaika” (al-A’raf:156). Maksudnya, kita telah bertaubat dan kembali.

2. Sebagian Ahli Tafsir: Penisbatan pada Yahudza, anak tertua Nabi Ya’qub, orang arab mengganti “dzal” dengan “dal” karena dalam kata serapan ‘ajam ke ‘arab mereka seringkali mengubah salah satu hurufnya.

3. Pendapat Abu Umar bin al-‘Ala: disebut yahudi karena cekatan ketika dibacakan taurat.

c. Al-Nashārā: juga ada 3 pendapat

1. Ibn Abbas, Qatadah, dan Ibn Juraij: karena tempat sebagai tempat tinggal Nabi Isa as adalah Nashirah, maka dinisbatkan padanya.

2. Pendapat Kedua: karena mereka saling tolong menolong antara satu dengan yang lain.

3. Pendapat Ketiga: karena Nabi Isa as berkata pada kaum hawariyyin, “man anshārî ilā Allah” Imam al-Zamakhsyari berkata: Al-Nashārā bentuk plural dari “al-Nashrān”, hurf “ya” dalam Al-Nashārā bermakna mubalagha. Karena mereka menolong al-Masikh.

d. Al-Shābiin: yaitu orang-orang yang keluar dari agamanya pindah ke agama lain. Orang arab menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai al-Shābi’ karena secara terang-terangan menentang agama mereka.

Ada pendapat lain yang lebih mendekati kebenaran dalam pemahaman ahli tafsir, yaitu orang yang menyembah lintang. Disini ada 2 penekanan, pertama adalah bahwasanya pencipta alam adalah Allah swt hanya saja Dia memerintahkan penyembahan lintang sebagai kiblat shalat dan do’a. Kedua, Allah menciptakan lintang sebagai titik penyeimbang, pengatur tatanan alam semesta, oleh karenanya dijadikan sesembahan, dan lintang itu yang menyembah Allah swt.

Dan masih banyak pendapat lain.

Setelah penyebutan 4 golongan diatas, Allah menerangkan bagi mereka yang beriman kepada Allah swt, maka baginya pahala di akhirat. Sebagai informasi bagi berbagai macam kesesatan ketika keluar dari jalur itu dan beriman pada agama yang hakiki maka Allah akan menerima keimanan, ketaatan, dan tidak akan menolak kehadiran orang tersebut.

Penting, termasuk dalam katagori iman kepada Allah swt adalah iman pada apa yang diwajibkan oleh-Nya, yakni iman pada Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya. Dan dalam katagori iman kepada hari akhir adalah hukum, konsep akhirat (pahala dan siksa). Kedua iman inilah yang menghubungkan berbagai agama dalam hal pembebanan (hukum taklif) dan hari akhir (hari pembalasan).

Refrensi:
1. Tafsir Mafatikh al-Ghaib, Imam Fakhru al-Razi.
2. Tafsir Marakh al-labiid, Imam Nawawi al-Bantani.
3. Tafsir al-Maraghi, al-ustadz al-kabiir Ahmad Mushtofa al-Maraghi.
4. Tafsir shafwah al-tafasir, Muhammad Aly al-Shabuny.
5. Novel Suluk Abdul Jalil, Agus Sunyoto.

KADO DARI NGANJUK

Sebuah jawaban dari ritual yang diajarkan bapak sejak kecil adalah ziarah kubur, sowan ke makam mbah kirim do’a, baru didapatkan ketika sudah umur lanjut (23), oleh-oleh dari mbah Kiai Masyrikhin Syakur, Prambon Nganjuk.

Kemarin waktu sowan Mbah Kiai Masyrukhin Syakur dalam rangka wawancara karena kelompok penulis yang sedang menjalankan KKNBP (berbasis pondok pesantren) membuat planning lounching buku profil pondok Ngejen Prambon Nganjuk serta Pendirinya sebagai kenang-kenangan kelompok pada Pondok ketika perpisahan kelak.

Tidak akan dimuat semua dalam tulisan ini semua hasil wawancara, karena akan dimuat dalam buku tersendiri. Disini hanya menorehkan sepercik syukur atas jawaban beliu (Mbah Kiai Masyrukhin Syakur) terhadap apa yang sudah menjadi ranah aplikatif keluarga penulis yang sebelumnya hanya bertendensi pada “itu adalah apa yang dilakukan nenek moyang kami, dan kami mempertahankannya” menjadi sesuatu yang berdasar pada ulama’ salaf, yakni kirim do’a pada mbah yang sudah mendahului kita dalam rangka ucapan rasa syukur dan mengharapkan berkah yang lebih.

Dalam wawancara, beliau memulai dengan menceritakan sesepuh beliu, kakek buyut beliu, dengan ingatan yang masih segar walaupun usianya sudah lanjut. Diruntut dari beliu, abahnya, kakeknya, sampai pada ujung, yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini beliu menegaskan bahwa tidak ada untungnya jika hanya mengklaim tanpa sebuah dasaran, malah menambah dosa. Maksud yang beliau tekankan hanya mengharap berkah dari kakek buyut yang sudah membesarkannya sampai menjadi sekarang ini.

“Justru dengan mengaku menjadi keturunan Nabi SAW, hidup menjadi tidak mudah karena ada larangan menerima zakat, shadaqah, dll yang sudah diNash oleh kanjeng Nabi SAW” tandasnya.

Sambil menunjukkan buku silsilah nasab keturunan yang menjadi pilar para kiai di Kediri, Nganjuk, Jombang yakni silsilah dari Romo Kiai Mursyad. Dalam sanad itu, tertera juga nasab yang menjalur ke Khadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Tebuireng, Mbah Kiai Abdul Karim, pendiri Pondok Lirboyo, sampai Mbah Kiai Arif, pendiri Pondok Ngejen, dan Mbah Mustajab, pendiri Pondok Gedong Sari, dst.
Nah, yang mengesankan bagi penulis adalah ritual kirim do’a pada kakek buyut tidak pernah putus, apalagi setelah sholat selalu dikhusus oleh beliau.

Yang kedua adalah Nadzam Alfiyah yang dicuplik beliu sebagai dasaran, sebelumnya tak pernah terlintas sampai sana adalah: wahuwa bisabqin khaizun tafdlilah-mustaujibun tsanaiyal jamilah. Wallahu yaqdli bi hibatin wafirah-li wa lahum fi darajatil akhirah.

Wahuma lan utawi mbah Arif (pendiri Pondok Ngejen) bisabqin sebab dilek khaizun tafdlilah kang aweh anugrah, mustaujibun tsaniyal jamilah setidaknya wajib mendapat penghargaan yang bagus. Dengan cara kirim do’a, tabarrukan, karena beliau sudah berbeda alam. Wallahu yaqdli bi hibatin wafirah semoga dengan amalan kirim do’a kita pada beliau yang sudah wafat dan melahirkan kita, Allah SWT memberikan barakah yang melimpah. Li untuk saya, wa lahu lan kanggo mbah Arif, fi darajatil akhirah ingdalem sisok di Akhirat.

Simple, hanya mengharap berkah dari yang sudah melahirkan kita ke dunia. Kalau beliau masih hidup, sebisa mungkin kita bahagiakan walau tak setimpal, kalau sudah wafat ya dikirim do’a. Allahu A’lam Bisshawab!

Yayan M, Ngejen, 29 Mei 2011