Cari Blog Ini

Senin, 01 November 2010

MBAH KIAI HUSAIN ILYAS!

Kemarin waktu hari raya idul fithri 1430, tepatnya diakhir bulan syawal ada teman yang mengajak sowan -istilah yang digunakan santri untuk bertamu ke mbah kiai atau keluarga ndalem- ke Kiai Husain Ilyas, Karang Nongko, Mojokerto. Dalam rangka silaturrahmi dan ngalap berkah.

Sebenarnya sudah lama rencana itu dicanangkan semenjak ia mulai tertarik dengan bermacam cerita teman-teman mojokerto kepadanya tentang keanehan dan kenyelenehan beliau. Baik cerita hafalan nadzam alfiyahnya dalam waktu yang singkat, pertemuan beliau dengan Nabi Khidlir, mengelus taring singa, mengalahkan rombongan truk yang akan menyerbu desa dan masih banyak lagi.

Pas duduk di warung, ngopi sendirian karena teman-teman yang lain sudah ngopi pagi-pagi, sedangkan saya baru bangun jam sembilan pagi, kebiasaan tidur setelah sholat subuh ini memang sengaja ku pelihara karena memang malam hari selalu begadang ntah ngapain saja pokoknya kalau malam jarang tidur. Dilain sisi, jam perkuliahan baru dimulai setelah sholat dhuhur sekitar jam dua siang, itupun kalau saya tidak telat. Nah, kayaknya dia tahu kalau saya lagi sendirian maka disusulnya dan tanya-tanya tentang beliau yang pada akhirnya minta diantarkan sowan ke rumahnya.

Dia memang sudah tahu kalau saya berasal dari Mojosari dan dulu menempuh sekolah berbasis pondok di Sooko Mojokerto daerah yang tidak jauh dari Karang Nongko apalagi ketika itu saya sempat menyisihkan waktu untuk mengikuti pengajian yang diasuhnya, Tafsir ibn Katsir di Kantor NU depan Pondokku, Pondok Ken Dedes.

Minggu kedua setelah hari raya, para santri tingkat SMP dan SMA sudah balik ke pondok tercinta, Tebuireng. Kegiatan para santri sudah mulai diaktifkan, termasuk mahasiswa yang bertempat di pondok juga sudah mulai berdatangan, apalagi kampus Ma’had ‘Aly berbasis syari’ah (fiqh, hukum islam), tempat kita kuliah juga milik pondok mau atau tidak mau jadwal kuliah tetap diaktifkan sesuai agenda pondok. Begitu juga Pondok Pacul Gowang tempat dia mondok sudah mulai aktif. Di Pondok Tebuireng dia hanya mengambil kuliah saja, masalah kajian pondok, tetap di Pacul Gowang yang sekarang diasuh mBah Kiai Aziz Manshur.

Jadwal kuliah pertama setelah lebaran ini masih kosong, banyak dosen yang tidak hadir, akhirnya dia mengajak berangkat ke Mojokerto ketika itu juga, dari pada jam kosong tidak dapat materi kuliah tambah lagi momentumnya tepat, masih bulan syawal walaupun akhir bulan.

Kami berangkat bertiga, dia mengajak temannya yang juga teman saya karena satu kampus di Ma’had ‘Aly Tebuireng, bedanya mereka berdua menetap di Pondok Pacul Gowang dan saya di Pondok Tebuireng.

Ada dua sepeda motor, satu sepada motorku dan satunya sepeda motornya. Yah, walaupun jelek asal sampai tujuan. Dan benar, dalam perjalanan kedua sepeda mesinnya rewel, ganti busi, oli, dan sebagainya. Padahal jaraknya antara Jombang-Mojokerto hanya dipisah dua kecamatan ternama saja, Mojoagung dan Trowulan kalau dihitung dari Cukir Tebuireng. Mungkin itu termasuk cobaan sowan atau yang lain kurang mengerti. Tapi memang begitu kepercayaan kita para santri, kalau mau melaksanakan kebaikan apalagi ingin sowan ke Kiai yang dianggap sundul langit ilmunya, sebuah cobaan pasti ada, entah berbentuk kiai sedang bepergian, lagi ada tamu, sedang istirahat, atau sepeda rewel, dll. Walaupun pada akhirnya sampai juga, karena memang sudah menjadi tekad kami bertiga harus sowan mbah yai hari itu juga, Rabu.

“tenang ji, biasa, cobaan pasti ada. Sambil nunggu sepeda motor dibenerin bengkel, kita makan siang dulu” ajak kang hadziq menenangkan saya. Mungkin sudah bisa ditebak dari raut muka saya yang kelihatan was-was kalau tidak bisa bertemu, soalnya yang saya ketahui, kalau sudah terdengar kumandan adzan, mbah kiai tidak menerima tamu bahkan kalau ada tamu di rumah dan terdengar adzan maka lekas-lekas di do’ain dan disuruh pulang atau sholat berjamaah bersama beliau. Sedangkan waktu sudah mendekati ashar.

“Saya nunggu disini aja.. kalian makan dulu” tukas kang totok pada kami berdua, karena memang dia sedang berpuasa. Dan memang hampir hari-hari dipondok bisa dihitung jari jadwal kang totok muka (tidak puasa), ahli lelakon. Makanya sering dipanggil teman-teman kampus dengan sebutan si mbah atau mbah dukun.
Usai makan, ngopi plus mengepulkan rokok sepeda beres ditangani bengkel. Kami lekas berangkat melanjutkan perjalanan.

***

Alhamdulillah, sampai juga dan kebetulan ada seorang tamu juga yang sudah di ndalem kiai, salah seorang pejabat tingkat daerah asal surabaya yang biasanya rutin ikut ngaji bersama kiai pada malam 17 tengah malam. Kajian tafsir yang sebelumnya dibuka dengan istighosah dan dibai’yah.

“Assalamua’alaikum” ucap saya sebagai perwakilan salam dari kami bertiga selain karena memang sudah dipilih sebagai Guide mereka.

“Walaikum salam,. Monggo-monggo.. melbet” jawab mbah kiai.

Kami bertiga masuk ndalem, rumah beliau. Setelah hening sejenak beliau bertanya “Enek perlu opo le (ada perlu apa)?”. Kang hadziq menjawab “sowan mawon mbah yai sekalian silaturrahim (hanya bertamu dan silaturrahim)”. Lantas mbah yai diam dan manggut-manggut, hening lagi.

Tanpa memberi isyarat, mbah yai langsung masuk rumah dan kami tetap menunggu di ruang tamu. Selang berapa menit beliau kembali lagi sambil membawa photo beliau waktu masih muda sedang mengenakan pakaian hitam, sarung batik diikat sabuk besar seperti pendekar dan memakai udeng, serban yang dililitkan di kepala sebagai peci, persis seperti orang arab. Sambil berucap “itu waktu saya mudah dulu, cakep dan gagah” diiringi senyum kemudian tertawa, kamipun ikut tertawa.

Beliau bercerita banyak panjang lebar, tapi yang masih teringat menempel adalah cerita beliau tentang tentara jepang dulu ketika melarang rakyat indonesia tidak boleh keluar rumah sore hari, kalau ketahuan akan dibunuh tentara jepang di depan umum sebagai peringatan pada rakyat karena dianggap pemberontak.

Pernah suatu ketika ada yang mengintip dari dinding rumah, karena memang dinding rumah ketika itu terbuat dari sesek, bambu yang dikuliti tipis dan dianyam. Sehingga ada rongga-rongga kecil untuk mengintip. Ternyata pada sore hari itu, tentara jepang menaikkan hasil tanam rakyat yang ditarik sebagai pajak keatas kapal untuk dibawa ke negera mereka. Untung yang mengintip tidak ketahuan jadi masih ada saksi mata yang bercerita ke tetangga-tetangganya yang lain, foklor lisan kalau dalam sejarah.

Banyak rakyat yang menderita sebab kehabisan bahan pangan. Padi, ketela, jagung, dll yang sudah siap panen dijaga tentara jepang. Yang memanen adalah tentara dan rakyat diberi bagian sendiri oleh mereka dengan bagian yang sedikit sekali. Yang ketahuan memanen akan ditembak dan itu pernah terjadi pada seorang petani padi. Anaknya yang masih kecil sempat melaporkan kejadian yang dialami oleh ayahnya ke mbah yai.

Mendengar laporan itu, mbah yai mengajak beberapa temannya dan sebagian rakyat yang berani untuk memanen hasil tanamannya sore hari menjelang maghrib. Tentara jepang yang ketika itu membawa anjing peliharaan untuk menjaga sawah dan ladang tahu akan hal itu dan mendekati mereka. Ternyata anjing yang dibawanya mberot, ingin lari dan menjauh dari mbah yai dan pengikutnya sehingga tentara jepang kelabakan menarik anjingnya, sedangkan tentara yang lain yang menodongkan senapan, ntah kenapa senapannya meleleh seperti besi dipanaskan.

Anjing itu lari karena beliau habis mengelus taring singa di hutan. Singa itu jinak kayak hewan peliharaan dihadapan beliau, disuruh menjulurkan lidah, manut dst. Karena anjing penciumannya tajam, maka mengerti kalau yang diciumnya adalah air liur singa. Sedangkan tentara yang lain lari terbirit-birit karena senjata menjadi leleh.
“Dadi wong iku ga usah wedi karo sopo-sopo, kholifahe pengeran ndek ndunyo iki seng diwedeni mung pengeran tok (jadi orang itu tidak boleh takut sama siapapun, kholifah allah hanya takut pada allah saja)”. Sambil tertawa, dan suasana ruangan mencair kembali.

“Monggo-monggo diunjuk (silahkan diminum)” beliau mempersilahkan minum kepada kami semua. Saya dan tamu dari surabaya itu, pak maimun, meminum teh yang disuguhkan. Kedua temanku tidak minum. Setelah itu mbah yai bercerita lagi.
“Dulu waktu saya (mbah yai) masih kecil, kalau sedang puasa menyendiri di hutan. Biar tidak diketahui dan ditanya siapapun. Pokoknya mencari tempat sepi. Suatu ketika saya tertidur di hutan, perasaan beberapa menit saja, tapi kata teman-teman sudah berminggu-minggu. Jadi mereka semua mencari saya”. Sambil tertawa, kemudian melanjutkan cerita lagi “teman-teman saya tidak ada yang tahu. Saya dibangunkan Gus Zuli, teman-teman yang tadinya lewat situ, tempat saya tidur tidak melihat saya, tapi Gus Zuli melihat dan membangunkan saya. Terus saya ceritakan pada beliau, tentang mimpi bahwa suatu saat ada kiai besar yang akan lahir di tempat ini dan tempat ini akan menjadi ramai setelah beliau wafat. suatu daerah di kediri yang sekarang menjadi makam Gus Mik, Kiai Haji Hamim Jazuli. Gus Zuli hanya menjawab, benar”.

Kemudian beliu mempersilahkan minum lagi “monggo-monggo diunjuk teh nya”. Saya, kang hadziq dan pak maimun minum sedangkan kang totok tidak minum. Memang dia sedang puasa. karena waktu adzan ashar sudah tinggal beberapa menit lagi, beliau langsung menegur kang totok “kamu kalau puasa, jangan bertamu ke rumah saya. Santri-santri dibelakang itu sudah repot-repot menyajikan teh dan makanan kok tidak kamu makan, lantas siapa yang akan minum dan memakan ini? disenengno iku yo senengno seng nyenengno. Ayo diminum! Kayak temanmu ini lho dipersilahkan minum langsung diminum sambil menunjuk saya”

Akhirnya kang totok minum tehnya sedikit. Suasana hening kembali. Dan adzan mulai terdengar.
“ya sudah, tak dungani ndang muleh wes (saya do’akan dan pulanglah)!”. Tegas mbah yai kemudian. Setelah berdo’a dan kami semua mengamini beliu menyuruh minum lagi. Kami meminum secara bersamaan teh yang sudah di depan kami semua.
Kami hanya dapat beberapa cerita itu saja dari mbah yai plus sedikit marah gara-gara kang totok, tapi bernilai ilmu.

Mbah yai mengantar kami keluar sampai teras, sambil memegang pundak kang totok “puasanya dilanjutkan kembali kang! Imam ghozali dalam kitabnya ihya’ ulumuddin berpendapat kalau bertamu sedangkan dalam keadaan berpuasa, puasa sunnah, maka boleh meminum atau memakan sekadarnya untuk menghormati tuan rumah “littakrim”. Atau sebelum disajikan menu dia menolak “tidak usah repot-repot, saya berpuasa” dalam artian menolak secara halus dengan cara memberi tahu kalau sedang berpuasa”.
Dalam penutup pembicaraan beliu menepuk pundak kang totok “semoga jadi ahli lelakon” dan menepuk pundak kang hadziq “semoga jadi ahli syari’at”. Dalam pikirku, beliu kok tahu kalau kang hadziq ahli syari’at, karena hampir dalam semua mata kuliah hukum islam ditaklukkan, sampai dosen pengajar pun kelabakan mematahkan pendapatnya.

Selasa, 27 Juli 2010

Hubungan Antara Syari’ah Islamiah dengan Maslahah

A. Perhatian Syari’ah Islam terhadap Maslahah
Lepas dari perbedaan pendapat tentang apakah ‘illat itu berperan (mu’tsir) di dalam syari’ah, sebagai pendorong (al-baits) atau tanda (mu’arraf) saja yang jelas jumhur ulama sepakat bahwa semua hukum Allah SWT mengandung maslahah di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana kesepakatan mereka tentang tujuan syari’ah adalah mewujudkan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia.

Selain itu tinjauan maslahah membentuk sebagian besar dari petunjuk yang dimana seorang mujtahid akan mendapatkan titik terang dalam mengetahui hukum-hukum maslahah yang tidak di nash oleh Allah SWT.
Bukti-bukti bahwa syari’ah sangat memperhatikan maslahah dapat kita temukan dalam al-Qur’an, al-Hadits, dan kaidah-kaidah para fuqaha.

1. Dalil al-Qur’an
a. “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya:107)

Risalah kenabian baru bisa dikatakan rahmat bagi seluruh manusia ketika yang di sampaikan itu selaras dengan kemaslahatan, membawa kebahagiaan hakiki bagi mereka. Karena jikalau tidak demikian, maka bukanlah rahmat, akan tetapi siksa.

Sebenarnya ayat ini akan lebih detail dalam menawarkan kebahagiaan yang dimaksud jikalau disambung dengan ayat setelahnya, yang menjelaskan tentang keimanan. Yakni, kebahagiaan itu akan tergapai dengan melalui tangga keimanan. Sekaligus membuktikan bahwa maslahah dalam pandangan islam tidak bernilai profan, tapi juga mengandung nilai keagamaan.

b. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seuan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. Al-anfal:24)

Ayat ini menjelaskan dengan gamblang hubungan antara taat dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul dengan kehidupan. Bukan sekedar kehidupan, akan tetapi kehidupan yang mengaju pada ideal, bahagia dunia dan akhirat. Jelasnya, bagi orang yang ingin hidup ideal, bahagia dunia akhirat maka hendaknya mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya.

Ini menyatakan bahwa maslahah dalam islam tidak hanya dalam masalah kesenangan yang tidak bernilai dan keduniawiaan saja, akan tetapi mengaitkan dua sisi sekaligus, yakni maslahah dalam dunia yang bersifat horisontal (antar makhluk) dan sisi vertikal (dengan Tuhan)

c. Masih banyak ayat-ayat lain yang menerangkan alasan sebuah hukum secara parsial, seperti: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-baqarah:185), Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal. (QS. Al- baqarah: 179), Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyenpurnakan nikmat-Nya. (QS. Al-maidah: 91), dll”

2. Dalil al-Hadits
a. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Iman terdiri lebih dari tujuh puluh cabang, paling utama adalah La ilaha illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (penyakit) dari jalan. (HR. al-Nasa’i)
Hadits ini sangat mendukung dalil-dalil al-qur’an diatas, bahkan sangat jelas.

Ternyata kesempurnaan iman seseorang bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, bahkan yang spele sekaligus, seperti yang dicontohkan hadits diatas, yakni menyingkirkan duri (penyakit) di jalan. Ini menunjukkan bahwa keimanan seseorang akan semakin sempurna ketika ia tidak hanya memfokuskan hubungannya dengan Allah semata, tapi juga terhadap sosialnya.

b. Seluruh makhluk adalah keluarga Allah, sedang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya. (HR. Abu Ya’la dan Ibn Abi Syaibah)
Disini Rasulullah menjelaskan bahwa kedekatan manusia kepada allah SWT diukur dari kemanfaatan dan pengabdiannya pada hamba-Nya, hal itu akan terlaksana dengan maslahah dan pelimpahan kebahgiaan hakiki kepada mereka

Dan apabila timbangan kedekatan manusia dengan tuhaannya dalam pengamalan adalah pengabdian kebaikan (maslahah) hamba, maka eksistensinya adalah bahwa timbangan ini termasuk syari’at islam itu sendiri.

c. Dari Ibn ‘Abbas RA. Ia berkata, Rasulullah bersabda: tidak boleh mendatangkan madlarat dan tidak boleh saling mendatangkan madlarat. (HR. Ibn Majah dan al-Daru Quthni dari Abu Sa’id al-Khudri)

Dlarar dalam bahasa arab berarti mendatangkan madlarat kepada diri sendiri atau orang lain, sedangkan dlirar adalah mendatangkan bahaya pada orang yang telah menyakiti kita, atau saling mendatangkan bahaya antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, secara tegas menjelaskan bahwa islam tidak memperkenankan mafsadah.

3. Dalil Kaidah Fikih
a. Pembagian Dosa Besar dan Kecil
Pembagian dosa besar dan kecil sudah ditetapkan dalam al-qur’an dan al-hadits (al-Nisa’:31, al-Najm: 32), pembagian tersebut bukan dilihat dari besar kecilnya maksiat, karena dihadapan allah tidak berpengaruh apapun.

Bahkan, Izzu al-Din bin Abdi al-Salam menjelaskan bahwa perintah Allah tidaklah berbeda dipandang dari segi esensinya, maksudnya, kekuatan perintah Allah untuk melakukan sesuatu yang paling utama sama dengan kekuatan perintah untuk melakukan sesuatu yang terendah. Begitu juga dengan larangan-Nya, kekuatan larangan pada dosa besar sama dengan kekuatan larangan terhadap dosa kecil. Perbedaan pembagiaanya adalah dipandang dari sudut besar kecilnya maslahah yang dihasilkan dalam perintah dan besar kecilnya maafsadah yang dihasilkan dalam larangan-Nya.

b. Penetapan Hukum Wadl’i
Maksudnya, penggantungan hukum taklif itu bersandar pada orang yang berakal dan baligh. Jikalau demikian maka akan mengalami kemuskilan ketika bertabrakan dengan maslahah antar manusia, misalnya, ketika anak kecil merusak sepeda motor orang, maka secara hukum taklif anak kecil tersebut bebas dari tanggung jawab karena dia belum baligh, dan tentunya akan merugikan pihak lain (yang dirusak). Disinilah letak peran hukum wadl’i, menyempurnakan kekurangan dari hukum taklif. Dengan hukum wadl’i, anak tersebut tidak bebas dari tanggung jawab perbuatannya. Karena sudut pandang hukum wadl’i adalah sebab akibat (klausal, dll), yakni sebab anak kecil tersebut telah merusak maka harus mengganti (tanggung jawab)1 . Ini berbeda dengan hukum taklifi, karena sudut pandang hukum taklifi adalah subjeknya. Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa syari’at sangat memperhatikan maslahah manusia

c.Mempertimbangkan Kebiasaan yang Berlaku
Bukti nyata pertimbangan maslahah dalam adat diantaranya adalah bahwa syari’ menetapkan beberapa hukum yang diambil dari kebiasaan orang arab jahiliyah seperti sumpah, diyat, kesepadanan suami istri (prinsip kafa’ah), baju ka’bah, dll yang dipandang baik dan sesuai dengan akhlaq mulia. Karena Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak “innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq”

Disinilah kehebatan agama islam, yakni bukan sebagai penghancur budaya dan peradaban masyarakat setempat, tetapi sebagai penuntun manusia menuju hidup yang sempurna dan ideal serta mewujudkan maslahah. Bukan berarti islam mendukung atau terpengaruh oleh budaya dan adat yang berlaku akan tetapi memang dipandang baik dan mempunyai maslahah yang tidak bertabrakan dengan tujuan agama islam sendiri.

B. Pembagian maslahah pada dunia dan akhirat
Berbicara tentang syari’ah maka yang terkandung didalamnya adalah masalah akidah, ibadah, dan muamalah. Pertahanan maslahah hanyalah dibidang muamalah.
Banyak ulama yang mengklasifikasikan maslahah pada dua permasalahan yakni ukhrawiyah yang terdiri dari akidah dan ibadah. kedua adalah dunyawiyah yang terdiri dari muamalah

Pada mulanya pembagian seperti ini tidaklah terdapat pada awal berdirinya islam, dan hakikatnya semua yang ada dalam syari’ah baik akidah, ibadah dan muamalah semua mengandung maslahah didunia dan akhirat. Orang islam yang bermuamalah (interaksi) dengan sesamanya sesuai apa yang diajarkan oleh islam maka ia dihukumi melaksanakan perintah ilahi, ia dapatkan maslahah dunia dan akan mendapat surga di akhirat kelak.

Adapun orang yang ahli ibadah, memperbanyak dzikir, dsb. Akan mendapat pahala dan mendapatkan ridlo-Nya di akhirat serta akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan di dunia.

Terbaginya maslahah pada dunia dan akhirat disini bukan berarti maslahah sendiri-sendiri. Dalam artian maslahah di dunia dan di akhirat tidak atau sebaliknya. Islam menjelaskan tentang maslahah yang dimaksud adalah maslahah di dunia dan akhirat. Yakni keduanya.

Dalam al-qur’an sangat jelas keterkaitan maslahah dunia dan akhirat tersebut, surat al-zilzalah ayat: 7 misalnya: “barang siapa yang mengerjakan kebaikan walaupun sebiji sawi akan diperlihatkan dan barang siapa yang berbuat kejelekan walau sebiji sawai juga akan diperlihatkan”. Dari sini bisa dipahami bahwasanya perbuatan yang dilakukan sekarang, baik mengandung maslahah ataupun mafsadah, akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. jadi secara tidak langsung ayat ini menerangkan tentang keselamatan (maslahah) tidak hanya berhenti pada dunia saja, akan tetapi sampai akhirat masih berlanjut. Yang bisa memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Atau surat lain misalnya al-ankabut: 45 “sesungguhnya shalat mencegah dari kemungkaran” yang apabila kita melakukan perbuatan ubudiya seperti shalat juga akan berpengaruh pada perbuatan dunia kita seperti terjauh dari kemungkaran dan akan memperbagus akhlaq interaksi kita sesama manusia

Jelaslah sudah bahwa unsur maslahah yang terbagi menjadi tiga, ubudiyah, akidah dan mu’amalah pada dasarnya mempunyai orientasi yang sama yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat tanpa menafikan salah satunya.

C. Kontradiksi Illat dalam Tubuh Ahlu al-Sunnah dan penyelesaiannya
Pada dasarnya ulama ushul fikh sepakat menamakan mashlahah sebagai tujuan Allah menurunkan syari’at (qashdu syari’), jadi secara tidak langsung mereka berpendapat bahwa tuhan mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan-Nya.

Dari tujuan syari’at tersebut akan bisa diketahui illat diturunkannya hukum dan mencetuskan hukum baru yang belum termaktub dalam nash berdasarkan mashlahah umat, intinya sebuah hukum itu bisa dipahami dari illat diturunkannya hukum tersebut.
Ini berseberangan dengan paham filsafat yang dikembangkan oleh ulama ahlu sunnah (baca: asy’ariyah dan maturidiyah) yang dasar pemikirannya memandang bahwa Allah sebagai penguasa langit dan bumi, segala kemauan-Nya tidak bisa ditolak dan dijangkau oleh nalar manusia. Dia bisa berbuat tanpa tujuan tertentu. Semua yang di alam semesta kehendak muthlaq Allah.

Al-amidi berpendapat: pendapat golongan yang benar (ahl al-haq) adalah tuhan mencipta alam tanpa berdasar pada suatu tujuan tertentu, tidak pula pada suatu kebijakan yang bergantung atasnya makhluq, tetapi segala yang diciptakan oleh-Nya berupa kebaikan dan keburukan yang mendorong tuhan melakukannya, justru berbuat atau tidak adalah boleh dan itu sama saja bagi-Nya.2

Tapi ternyata kontradiksi tersebut masih bisa ditarik benang merah. Illat dalam pandangan ahlu sunnah adalah sebagai penanda hukum, bukan pencetus hukum atau pencetus mashlahah. Pencipta hukum dan mashlahah sesuatu adalah Allah. Ini sesuai denangan paham okkasionalisme yang dikembangkan asy’ariyah.3

Walaupun pencipta tunggal dan segala kemuthlakan kekuasaan adalah Allah yang bebas berbuat tanpa tujuan, tapi Allah menentukan sunnah-Nya (hukum ‘adi/ kebiasaan) yang darinya manusia bisa memahami karakteristik ciptaan-Nya. Seperti hukum api dan panas, dalam pemahaman teologi ahl sunnah, dua hal tersebut tidaklah berkaitan. Api tidak wajib menyebabkan panas dan sebaliknya. Allah lah yang menyebabkan api itu panas.

Dari hukum kebiasaan inilah, manusia mengerti dan memberi tanda bahwa api itu panas, begitu juga tentang illat hukum dan hukum yang menimbulkan mashlahah, karean kebiasaannya mengandung mashlahah maka dari situlah bisa dipaham dan diberi tanda (sebagai tanda)

Para pakar ushul fikih hanya memfokuskan pada pembahasan hukum sunnatullah atau yang tampak bagi manusia. Bukan pada penyebab sejati. Allahu ‘alam!
____________________________
1 Tanggung jawab disini bukan digantungkan pada sifat anak kecil tersebut (subjeknya), akan tetapi digantungkan pada harta dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini tanggung jawab dipegang penuh oleh walinya sampai ia baligh. Jika sudah baligh maka hukum tersebut digantungkan pada subjeknya (orangnya), karena dia sudah bisa memahami khitab. Begitu juga dengan orang gila atau kemunduran akal, tanggungan diserahkan penuh pada wali sampai mereka sembuh dari gilanya. (lihat ushul fikh wahbah zuhaili bab makhkum ‘alaih)
2Hamka Haq, al-Syathibi Aspek Teologi Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, hal.79. thn. 2007 PT. Gelora Aksara Pratama
3 aliran ini muncul dikalangan sekte cartesia, yang kemudian dikembangkan oleh geulin (1632-2669 M) yang berpendapat bahwa manusia hanyalah penonton terhadap gerakan-gerakan jasmani yang digerakkan sepenuhnya oleh tuhan. Selanjutnya paham ini dikembangkan pula oleh malebranche (1638-1715) yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara dua peristiwa yang tampaknya merupakan rantai sebab akibat. Tuhanlah satu-satunya penyebab. (lihat Hamka Haq, alsyathibi, hal.126)


Daftar pustaka:
1. Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, Dlawabith al-Mashlahah Fi al-Syari’at al-Islamiyah, -cet.6- 2001, Bairut-Libanon
2. Dr. wahbah zuhaili, ushul fiqh al-islami, jld 1, 2006 M, damaskus: dar al-fikr
3. Redaksi (M. masrukhan), Buah Pikiran untuk Umat Telaah Fiqh Holistik, lirboyo kediri, 2008: kasturi
4. Hamka Haq, al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, 2007, PT. gelora aksara pratama

Minggu, 25 Juli 2010

LEGASITAS IJAZAH PONDOK, PERLUKAH?

Tahukah anda bila nama-nama besar seperti pendiri Microsoft, Bill Gates, pendiri Apple Steve Jobs, dan Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg meraih sukses tanpa berbekal ijazah dari tempat kuliah masing-masing.

Ijazah dalam kamus besar bahasa Indonesia 2003 berarti surat tanda tamat belajar atau izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid dari gurunya. Pengertian yang pertama cenderung lebih menjurus pada konteks lembaga formal, sedangkan yang kedua lebih menjurus pada konteks kepondokan, ijazah sang guru pada muridnya.
Sejauh sejarah pondok sebagai lembaga pendidikan tertua, maka sejauh itu pula makna ijazah yang kedua itu ada. Karena dalam pewarisan ilmu, jika dinisbatkan pada sejarah islam, maka dikenal juga istilah sanad. Restu dari sang guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang telah dilahapnya.
Akan tetapi, makna ijazah sudah mengalami pergeseran makna sedikit demi sedikit ke pengertian yang pertama, yakni surat tanda tamat belajar. Karena ijazah dari lembaga formal mempunyai pengakuan dari Negara sehingga mempunyai kekuatan hukum. Sehingga ketika orang berucap ijazah maka secara spontan yang terbayang dalam benak mereka adalah ijazah surat tanda tamat belajar sekolah.
Selain ijazah dalam makna kedua sendiri mempunyai peran penting dalam kebanyakan pandangan pelajar sekarang untuk mencari lapangan pekerjaan, melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai jaminan dalam pabrik (pasal 1320 KUHPer), dll karena mempuai legalitas/kekuatan hukum.
Orientasi Pendidikan Pondok
Sekilas pondok tidak ada data resmi tentang kapan berdirinya pondok pertama kali, Akan tetapi dalam catatan sejarahwan, pondok telah dikenal sejak abad 18-an ketika islam masuk indonesia atau bisa ditaksirkan umur pondok sekitar 300-400 tahun sebagai lembaga pendidikan keagamaan masyarakat indonesia. Bahkan, pergerakan pondok tidak hanya dalam bidang pengajaran dakwa islamiyah saja. Akan tetapi lebih dari itu, selain sebagai lembaga pendidikan, sosial keagamaan, lembaga penyiaran agama islam, juga sebagai pusat gerakan pengebangan islam, dan pengambil peran dalam mengiringi perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.
Hanya saja pergerakan pondok sangat halus, yakni dalam pendampingan moral dan emosional masyarakat yang berbasis agama maka pada zaman kolonial Belanda dipandang sebelah mata, pondok tidak mempunyai sistem yang bagus, tujuan pendidikan tidak jelas dan bahasa yang digunakan bukan Bahasa Latin (Bahasa Arab), sehingga pondok yang juga berperan dalam masalah pendidikan tidak dimasukkan pada perencanaan pendidikan umum kolonial belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia yang semula bermasyarakat pedesaan agraris menjadi masyarakat kota industri dan perdagangan mengakibatkan lahirnya beraneka ragam lembaga pendidikan Islam. Lembaga Islam modern tumbuh dengan cepat menyesuaikan kurikulum, sistem pendidikan, organisasi, dll.
Sebenarnya berkaca pada pendidikan pondok yang dimana santri didampingi oleh sang guru selama sehari penuh. Maka muncul pula sekolah bersistem full day school, kemudian berkembang lagi, berstandar nasional, dan berstandar internasional lantas akan muncul apalagi? Perbedaannya, kalau pendidikan islam modern ada ijazah yang legal dari pemerintah sedangkan pondok tidaklah ada ijazahnya, kecuali kalau pondok itu telah mengkolaborasikan sistem pondok dengan pendidikan umum maka ada ijazahnya, itupun atas nama ijazah sekolah bukan ijazah pondok.
Keberhasilan pendidikan pondok dalam mendidik santri-santrinya yang tercatat dalam sejarah tidaklah keluar dari orientasi pondok sendiri sebagai wadah pendidikan ajaran islam, pengembangan ajaran islam, sosial keagamaan, dan bahkan pergerakan sehingga menanamkan beberapa karakter pada anak didiknya antara lain:
1.      Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mempunyai karakter juang untuk islam yang tinggi.
2.      Mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesalehan (moralitas) pada diri para santri.
3.     Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat.
4.     Menjadi benteng terakhir/penyaring dari serangan kebudayaan asing. Dll
Keberhasilan itu semua diraih tanpa adanya ijazah tidak seperti yang diharapkan para kebanyakan siswa atau mahasiswa sekarang ini.
Legalitas Ijazah Pondok, Perlukah?
Ijazah memang penting, tapi bukanlah yang terpenting. Oleh karenanya ada sebagian besar pondok yang mengkolaborasikan antara pendidikan keagamaan pondok dengan pendidikan umum. Diharapkan bisa mencapai keduanya secara maksimal.
Kalau pendidikan umum berorientasi pada pembinaan duniawi atau material, maka dengan adanya pengkolaborasian pendidikan pondok yang berorientasi pada pembinaan moral dan ukhrawiyah yang berfungsi sebagai benteng pertahanan akhlaq para ilmuan dan intelek. Sehingga ada keseimbangan (balance) antara intelektual dan moralitas para peserta didik.
Para santri yang lulus dari jenjang pendidikan yang ada di pondok bersistem ini bisa melanjutkan studinya di jenjang berikutnya luar pondok, katakan lembaga pendidikan umum baik setingkat SMA atau Perguruan Tinggi karena menggunakan ijazah formal yang sudah diakui legalitasnya oleh Negara.
Itu bagi pondok yang mengawinkan dualisme pendidikan, akan tetapi tidak semua podok yang demikian, karena masih ada pondok yang tetap berdiri pada baground salafi tanpa adanya perkawinan sistem.
Nah, bagaimana melanjutkan ke pendidikan tingkat lanjut semacam Perguruan Tinggi seperti IAIN, STAIN, UIN, dll? Ternyata ada tawaran ujian persamaan setingkat SMP, SMA sederajat bagi mereka yang menginginkan ijazah. Atau bagi mereka yang tidak menginginkan hal itu bisa langsung melanjutkan pendidikannya di Ma’had ‘Aly yang selevel S1 baru bisa melanjutkan ke S2 atau perguruan tinggi lain di luar negeri mungkin. Seperti yang pernah dipaparkan oleh Gus Sholah. Hanya saja masih dalam satu jalur, khusus dalam pendalaman agama.
Bapak Suryadarma MPA PhD, Direktur Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Depdiknas memang pernah mengatakan kalau sekolah bukanlah tempat mencari ijazah, akan tetapi tempat mencari ilmu dan pendidikan.
Namun, jauh dari hal itu dengan mengingat peranan ijazah, hampir segala lini lowongan pekerjaan/lembaga pendidikan umum atau formal membutuhkan peranan ijazah yang dijadikan tolok ukur dengan bentuk angka (nilai-nilai) terhadap kemampuan seseorang. Baik dari pekerja pabrik/industri, guru, PNS, melanjutkan sekolah, dll.
Bukan berarti tertutup bagi mereka yang tidak punya ijazah untuk mengembangkan kreativitasnya dalam ranah materiil (duniawi). Seperti untuk menjadi pedagang, pengusaha, penulis, dll.
Ijazah memang penting dan mempermudah gerak kreativitas akan tetapi bukan lah jalan satu-satunya untuk menggapai kesuksesan. Seperti yang telah dilakukan oleh pondok dalam sejarah, bisa mengkader santri menjadi ulama’, zua’ama’, pahlawan nasional, dst. Allahu a’lam bishowab!

Tahun Syamsiyah Dan Qamariyah: Pemufakatan Dan Penyambutannya


Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).QS al-Kahfi: 25

Salah satu ayat al-qur’an yang menakjubkan, pelopor konversi astronomik antara dua macam kalender yang paling banyak digunakan oleh umat manusia.

Dr. Quraisy Shihab mengkategorikan ayat ini sebagai mukjizat ilmiah dari al-Qur'an.  Karena secara akurat telah melakukan pemufakatan kalender Syamsiyah-qomariyah sebelum dikenalnya ilmu falak di Arab, bahkan Rasul yang membawanya adalah seorang yang buta huruf. Dalam hitungan falak, bila tiga ratus tahun Syamsiyah dikonversi ke dalam qamariyah, maka akan terjadi selisih sembilan tahun (300 dan 309). Tahun syamsiyah berjumlah 366 hari sedang qamariyah 355. Terjadi selisih 11 hari. 300 dikalikan 11 menjadi 3300 (9 tahun).

Pilihan terhadap tahun qamariyah banyak ditegaskan dalam hadits, diataranya adalah: Rasulullah SAW bersabda: Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan jangan berpuasa (berhari raya) karena melihat bulan. Apabila kalian terhalang oleh awan, maka sempurnakan jumlah bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhori).

Jelas sekali dalam hadits ini, Rasulullah SAW menetapkan dasar kalender Islam pada peredaran bulan qamariyah. Dan, Islam bukan yang pertama kali menggunakan peredaran bulan dalam sistem penanggalan. Muhammad Ridha dalam al-Faruq Umar ibn al-Khatthab mencatat bahwa sistem kalender yang digunakan Arab kuna hanyalah qamariyah. Namun, pada masa-masa menjelang diutusnya Rasulullah SAW mereka menggunakan dua kalender syamsiyah-qamariyah sekaligus. qamariyah digunakan sebagai kalender keagamaan, sedangkan syamsiyah untuk urusan politik dan lain sebagainya.

Memang benar kalau ada anggapan adanya masalah yang ada dalam kalender syamsiyah, tapi masalah itu lahir setelah kalender itu ada. Permasalahan ini bermula dari kebijakan Julius Caesar setelah dinobatkan sebagai kaisar Roma, dia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, ahli astronomi dari Aleksandria, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Karena tujuan awal dari pembuatan kalender ini adalah menentukan jadual kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan. Termasuk untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia, maka kemungkinan besar dalam rekayasa pastilah sangat rawan. Karena kalender yang menyesuaikan keinginan mereka, bukan ilmu yang menetapkan kebenarannya seperti pada awal lahirnya syamsiyah itu sendiri.

Beralih dari sejarah tahun keduanya menuju perayaan penyambutan tahun baru yang pada tahun ini hampir bersamaan. Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwasanya tahun baru baik syamsiyah maupun qamariyah hanyalah sebuah wadah, mau ditambah agar menjadi setiap hari berkumpul juga tidak ada masalah, mau setiap hari merayakan hari juga monggo, karena hari itu hanyalah sebuah wadah, masalah pengisian dengan tanggapan baik atau buruk maka itu sudah kembali pada individu masing-masing. Jadi, bidang garap yang ada adalah bagaimana mengajak saudara-saudara kita dalam memaknai tahun baru baik syamsiyah maupun qamariyah yang lebih manfaat dan beralih ke yang lebih baik.

Kalau biasanya hanya pesta kembang api, maka mari ditambah didalamnya sebuah refleksi renungan bersama menuju hari esok agar lebih terang, kalau penyambutan biasanya hanya foya-foya, sekarang silahkan ditambah dengan refleksi bersyukur bersama dalam keramaian yang ada. Tidak harus dihilangkan acara kumpul dalam tahun baru itu, acara kumpul hanyalah sebuah wadah yang tidak harus dihilangkan dan ditiadakan, tapi isinya jika tak berkenan dengan ajaran agama, mari diganti dengan yang lebih bermanfaat dalam menuju ridho-Nya. Selamat berhijrah dalam tahun baru!

Mahkum ‘Alaih


Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang titah allah digantungkan pada perbuatannya, atau disebut juga mukallaf. Mahkumalaih mempunyai dua syarat yang harus dipenuhi:

1)      Hendaknya mukallaf mampu untukmemahami dalil taklif.
Kepahaman akan dalil taklif atau titah allah diukur dari segi kesempurnaan akal seseoraang itu dan baligh. Jadi, orang yang kurang sempurna akalnya tidaklah terkena hukum taklif seperti orang gila, tidur dan mabuk, begitu juga bagi yang belum baligh, seperti bocah yang belum mumayiz dan baligh. Kesimpulan jelasnya ada 3 kreteria:
  1. Paham dalil disini dipandang sama bagi mereka yang paham dengan dirinya sendiri atau dengan perantara orang lain (istifadah: menarik kesimpulan), yakni cukup sampai mengetahui dalil, tidak perlu pembuktian kebenaran dalilnya (tasdiq). Berdasarkan dengan ini, maka orang kafir tergolong sebagai mukhatab, karena mereka mampu mengetahui dan memahami dalil-dalil syari’at. Inilah madzhab jumhur al-ulama
  2. Orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz bukan termasuk mukallaf karena tidak mampu memahami pokok khitab. Adapun anak kecil yang mumayiz, walaupun ia paham sesuatu yang tidak dipaham orang yang belum tamyiz (ghairu mumayiz), akan tetapi pemahamannya belumlah sesempurna orang yang sudah sempurna nalarnya (akalnya) misalnya mengetahui tentang eksistensi allah swt, keberadaan dia sebagai mukhatab, mukallaf, dll, yang mengacu pada makna taklif
  3. Begitu juga orang tidur, lupa dan mabuk. Tidak terkena hukum taklif. Berdasarkan hadits Nabi:

رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أحمد وأبو داوود والحاكم عن علي وعمرو رضي الله عنهما)
*) kontradiksi 3 syarat diatas dengan 3 hal:
  1. Jika seorang bocah dan orang gila bukan mukalaf maka kenapa zakat, nafaqah, dan tanggungan diwajibkan atas mereka? Dan kenapa bocah mumayiz diperintah shalat? Maka jawabnya adalah: kewajiban-kewajiban itu tidaklah berhubungan dengan perbuatan orang gila dan bocah, akan tetapi berhubungan dengan harta dan tanggung jawabnya. Digantungkan dengan perbuatannya ketika mereka sadar dari mabuk atau ketika sudah baligh (bagi anak kecil) karena mereka bisa memahami khitab nantinya. Sedangkan sebelum itu maka yang bertanggung jawab atas mereka adalah wali mereka karena ini bukan termasuk bab taklif, tetapi pada hukum wadl’I (hukum klausalitas). Adapun perintah shalat terhadap bocah kecil, bukanlah secara langsung dari syari’ tetapi dari walinya. Berdasarkan hadits Nabi:

مروهم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين (رواه أحمد وأبو داوود والحاكم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما)

Menurut sebagian ulama syafi’iyah, inflasi thalaq orang mabuk bukan dari bab taklif tapi sesuatu yang sudah ditetapkan dalam hukum wadl’i, maksudnya, ucapan thalaq menjadi tanda (sebab) jatuhnya talaq, sebagai hukuman baginya. seperti halnya terbenamnya matahari menjadi tanda diwajibkannya ibadah shlalat.
  1. Kenapa dalam surat al-nisa Allah SWT mengkhitabi orang-orang mabuk?

ياأيها الذين أمنوا لاتقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون  (al-nisa: 34)

Maka jawabnya: ini bukanlah maksud dari khitab. Larangan disini bukanlah larangan shalat ketika mabuk, tetapi larangan mabuk ketika akan menunaikan shalat saat tersadar “ibaratnya begini: لا تقرب التهجد وأنت شبعا maksudnya jangan kenyang kalau ingin melaksanakan tahajud, supaya tahajud tidak susah bagi kamu. Sama halnya dengan itu “ketika akan shalat maka jangan mabuk”
  1. sesungguhnya syari’at itu global dan universal dan ditujukan umtuk seluruh umat manusia. Berdasarkan firman allah swt dalam surat saba’:27 dan al-anbiya’:107

وما ارسلناك إلا كافة للناس بشيرا ونذيرا (سبأ: 27) وما أرسلناك إلارحمة للعالمين (الأنبيأ: 107)

akan tetapi permasalahannya adalah sebagian manusia tidak paham bahasa arab, bahasa al-qur’an. Lantas kenapa memberikan titah pada orang yang tidak paham akan bahasa titah tersebut? Ini adalah salah satu faktor sebab hilangnya syarat taklif (mampu mamahami dalil takllif)
jawabnya adalah syarat taklif juga berlaku bagi orang ajam (non arab), mungkin dengan belajar bahasa arab atau dengan belajar agama melalui bahasa lokal, itu kalau dirasa belajar bahasa arab susah dan berat.
Secara umum akan mempunyai 2 syarat bagi penduduk setempat:
  1. penerjemahan hukum syari’ah ke dalam bahasa lokal (asing)
  2. spesialisasi golongan untuk belajar syari’at sampai matang dan belajar bahasa lokal (asing) kemudian menerjemahkan dan menyebarnya keseluruh pelosok negara ini termasuk fardlu kifayah.

ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون (العمران: 104)


2)      Hendaknya mukallaf adalah orang yang berkompeten/ layak dalam menanggung hukum taklif (ahlun li al-taklif).
  • Kelayakan tersebut di ukur dari akal dan pemahaman, karena akal adalah komponen pokok dalam memahami sesuatu bagi masing-masing individu.

الإسراء

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنْ المَسْجِدِ الحَرَامِ إِلَي المَسْجِدِ الأَقْصَا الَّذِي بَرَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ (1)
(سبحان الذي أسرى بعبده ليلاً) سبحان هو اسم للتسبيح ومعناه تنزيه الله تعالى من كل سوء ونقص وهو خاص به سبحانه وله ثلاثة معان, الأول: أن التسبيح بذكر بمعني الصلاة, ومنه قوله تعالي (فلولا أنه كان من المسبحين) أي من المصلين, والسبحة: الصلاة النافلة, وإنما قيل للمصلي: مسبح لأنه معظم لله بالصلاة ومنزه له عما لاينبغي والثاني بمعني الإستثناء في قوله تعالي (قال أوسطهم الم أقل لكم لولاتسبحون) أي تستثنون وتأويله أيضا يعود الي تعظيم الله تعالي في الإستثناءعشيئته. الثالث جاء في الحديث (لآحرقت سبحات وجهه ما أدركت من شيء) قيل معناه نور وجهه وقيل سبحات وجهه, نور وجهه الذي إذا رآه الرائي قال: سبحان الله.
 أسرى من اللفظ السير ليلاً يقال: أسرى وسرى لغتان. سرى وأسرى فعلان لازمان, أما أسرى بزيادة حرف "بــ" فيكون متعدياً. لفظ "بعبده" مفعول يدل على أن العبد (محمد) سلبيٌّ وليس له القدرة والإجابي هو الفاعل يعني الله الذي انتقل بعبده ونبيه محمد صلى الله عليه وسلم في جزء من الليل بهدايته وتوفيقه. لذلك, لايجوز السؤال بــ "كيف يحدث هذا؟" ويجوز بـ "لماذا يحدث هذا؟" ولايجوز السؤال "هل أسرى روحه فقط أو مع جسمه؟" لآن إبتداء الأية واضح بلفظ "سبحان" يدل على شيء عجيبٌ.
(من المسجد الحرام إلي المسجد الأقصا) أي من مكة المكرمة (اختلفوا في المكان الذي أسري به منه, وقيل هوالمسجد الحرام بعينه. وهو الذي يدل عليه ظاهر اللفظ القرأن, وروي عن النبي أنه قال: (بينا أنا في المسجد الحرام في الحجر عند البيت بين النائم واليقظان إذ أتي جبريل بالبراق) وقيل أسري به من دار أم هانيء بنب أبي طالب. والمراد علي هذ القول بالمسجد الحرام: الحرم لإحاطته بالمسجد والتباسه به, وعن ابن عباس: الحرم كله مسجد, وهذا قول الأكثرين.
الى بيت المقدس, وسمي بالأقصى لبعد المسافة بينه وبين المسجد الحرام قال المفسرون: وإنما قال "ليلاً" بلفظ التنكير لتقليل مدة الإسراء, وأنه قطع به المسافات الشاسعة البعيدة في جزء من الليل وكانت مسيرة أربعين ليلة, وذلك أبلغ في القدرة والإعجاز ولهذا كان بدء السورة بلفظ "سبحان" الدال على كمال القدرة.
(الذي بركنا حوله) أي بأنواع البركات الحسية المعنوية وقيل بالثمار والأزهار وقيل بسبب أنه مقرالأنبياء ومهبط الملائكة.
فإن قالوا: قوله (لنريه من آيتنا) يدل علي أنه تعالي ما أراه إلاّ بعض الأيات, لآن كلمة "من" تفيد التبعيض وقال في حق إبراهيم (وكذلك نري إبراهيم ملكوت السموات والأرض) فيلزم أن يكون معراج إبراهيم عليه السلام أفضل من معراج محمد صلي الله عليه والسلام. وقلنا: الذي رأه إبراهيم ملكوت السموات والأرض, والذي رأه محمد بعض أيات الله تعالي. ولاشك أن أيات الله أفضل.
(إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ) أي إنه تعالي هو السميع لأقوال مجمد, البصير بأفعاله, فلهذا خصه بهذه الكرامات والمعجزات إجتفاء

اساليب الدعوة

نظرا من جهة المعني فالاسلوب هو المنهج، الطريقة، الخطوة, السلوك وغيرها. والدعوة هي النداء، طلب الاستعانة، التعبد، التربوي، الاقبال، وغيرها. فالمعني هو الطرق التي يسلكها الداعي في دعوته او كيفيات تطبيق مناهج الدعوة المتعلقة بما يدعي المتعلق.
          فعلي الداعي ان يدعو غيره علي سبيل الرشد تحت اساس القران، كالمنبع الاساسي للسلوك الي سبيل الحق. قال الله تعالي: ادعوا الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن (النحل: 125).  نستنبط من هذه الأية ثلاثة معاني نحصل بها نجاح الدعوة، يعني الحكمة، و الموعظة الحسنة و المجادلة بالتي هي الأحسن.
·        الحكمة
اذا نبحث عن الحكمة، فنرتجع الي النواحي الشتي، يعني الحكمة المتعلقة بالداعي، والدعوة، وبما يدعي به، وباسلوب الدعوة. الداعي الحكيم هو الذي ذوشخصية الكريمة و يستفيده كثيرا ما من المجتمع وهم يحبونه، وما الذي بلغه اليهم ليس ما إلا وهي الذرة وصفات المحمودة كالصدق، العمل الحق، والتواضع، والمعاشرة الجيدة.
التعميق بما علم الداعي في العلم وخصوصا في الشريعة من أهم ما يجب عليه القدرة. والعلم الواسع سيساعد الداعي كثيرا في شرحه وتفهيما للمدعوات. كذلك في تطبيق العلم فينبغي عليه ليكون قدوة لهم. ياأيها الذين أمنوا لم تقولون مالاتفعلون كبر مقتا عند الله أن تقولون ما لاتفعلون(سورة الأنعام:90). الداعي الحكيم يتعلق بالقدوة أعني الدعوة بالحال، فالقدوة تزيد همة الإقتداء في المدعو به، فطبعا تساعد الداعي في دعوته. فينبغي علي الداعي أن يعمل ما علمه بالإستقامة
والحكمة من اسلوب الدعوة كذلك أن يكون خفيفا وسهول الفهم لما يدعي به، منسجما وموافقا بعقلهم، واختيار الكلمة السهلة والموضوعات العصرية الحادثة فتكون وجيبا حتي يفهمون جيدا ولايسؤون في الفهم ولايتساءمون.
والداعي أن ينظر طبقات ما يدعي به، لان ليس كلهم من الماهرين، الاذكياء، كذلك هناك من الجاهلين وغيرهم متنوة شتي.
·        الموعظة الحسنة
علي الداعي ان يبلغ بطريقة حسنة، علي ما شاء منهجه، فالمهم ليس هناك العنف وغيرها وحصول نجاح الدعوة كالقصة، نصيحة علي طريقة مقارنة وغيرها. فعلي الداعي أيضا كالطبيب الذي يفهم من مراض المرض ليحل لهم مسئلتهم.
·        المجادلة بالتي هي الأحسن
نظرا من خلفية المدعو به، فنجد منهم الفرق بين واحد واخر، فمن الممكن هناك من الإعتراض، والتساءم، فعلي الداعي ان يجادلهم بالتي هي أحسن، فربما بالمحاورة العلمية او تساؤلات وغيرها.

Rabu, 21 Juli 2010

PENEBANGAN POHON ‘ALA MODERN

Salah satu hadits tentang penebangan pohon adalah “man qatha’a sidratan shawaba allahu ra’sahu fi al-nar”, barang siapa yang menebang pohon sidr, maka allah akan mengucurkan kepalanya kedalam api neraka.

Hadits ini, dalam kitab kasyfu al-khafa’ karya Imam al-‘Ajulani, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Baihaqi dari Abdillah bin Khabsy r.a yang me-marfu’-kannya (menyandarkannya pada nabi saw) begitu juga sahabat Jabir. Dari Siti Aisyah r.a mempunyai lafadz yang berbeda “alladzina yaqtha’una al-sidra yushabbuna fi al-nar‘ala ru’usihim shabba”. Dari sahabat Ali k.w juga mempunyai matan yang berbeda “la’ana allahu qathi’ia al-shidra”. Dari ‘Amr bin Aus al-Tsaqafi “man qatha’a al-shidra illa min al-zar’I shabba allahu ‘alaihi al-adzabu shabba”. ‘Urwah dari Ibnu Zubair menaruhnya di derajat mursal (terputus akhir sanadnya setelah tabi’i) dengan lafadz yang sama dari Siti ‘Aisyah. Kesemuanya dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi akan tetapi beliau menaruh semuanya dalam derajat munqathi’(terputus) dan dla’if (lemah) kecuali yang pertama, yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah.

Sedangkan masalah esensi hadits, Imam Baihaqi memberikan pandangan sendiri yang unik, yakni tidak semua penebang pohon mendapat laknat rasulullah Saw, akan tetapi penebang pohon yang biasanya dipergunakan berteduh bagi ibnu sabil.

Abu Tsur pernah bertanya juga masalah ini pada Imam Syafi’I dan beliu menjawab tidak ada masalah dalam penebangan pohon sidr, kalau memang itu adalah larangan secara pasti maka rasul tidak akan memerintahkan untuk memandikan mayit dengan daun pohon sidr. Yang dilarang dan dilaknat adalah penebangan pohon tanpa adanya intifa’(memanfaatkan).

Bila ditarik ke garis yang lebih universal, maka penebangan adalah salah satu cara untuk mengurangi, menghabiskan, atau mendholimi tumbuhan dan pohon akan tetapi masih dalam tanda kutip, tanpa adanya pendaya gunaan terhadap apa yang telah ditebang atau dihancurkan.

Di zaman teknologi canggih seperti sekarang ini, pemusnahan tumbuhan atau katakanlah penghancuran lingkungan lebih bersensasi lagi. Dari penebangan ala tradisional (kapak dst), sampai yang melalui rekayasa pencemaran air dan udara dari limbah-limbah pabrik industry sehingga mengakibatkan kurang bagusnya lingkungan disekitar, baik postur tanah, air, atau udara yang terinveksi olehnya yang mengakibatkan kurang menunjangnya tumbuhan atau pepohonan tumbuh dilingkungan sekitar.

Nah, kalau di Jombang akhir-akhir ini ada penggalian minyak disembilan titik daerah maka harus ada pemikiran ulang masalah limbah yang dihasilkan, jangan sampai kita termasuk orang yang menebang pohon (dalam esensi) secara dlolim, tanpa adanya intifa’. Solusi penanganan limbah diharapkan tidak terlalu lama agar tidak menghancurkan daerah sekitar. Ini yang menjadi PR kita sekarang!!

Kamis, 06 Mei 2010

BERBUAT BAIK ITU GAMPANG!

Banyak kawan sebenarnya yang berbicara panjang lebar, baik yang berada di lembaga formal tingkat tinggi (Kampus), menengah (SMP/SMA sederajat), atau yang di Pondok ketika mulai mengedarkan media diskusi kita ini (MAHA MEDIA) tentang eksistensinya untuk selalu menawarkan wacana-wacana baru terhadap sebuah kejadian-kejadian yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Secara garis besar, mereka sudah pernah melahirkan sebuah media diskusi tertulis semacam ini. Hanya saja, terkadang mati suri dan bahkan tidak diketahui wujudnya lagi kecuali arsip, itupun kalau masih tersimpan. Hampir sama keadaannya dengan pengalaman mereka, media ini kurang lebih 5 bulan sudah tidak terbit.
Nah, dari sini ada pembahasan menarik tentang istiqomah (kontinuitas) yang masih ada korelasinya dengan kejadian diatas. Istiqomah adalah menajalankan perintah agama dengan benar serta tidak berbelok-belok (teguh dalam perintah). Dalam al-qur’an kebanyakan berkaitan dengan masalah ketakwaan/keimanan pada Allah swt. Seperti dalam ayat “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah padamu (al-fushilat:30)
Takwa sendiri berarti menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dari pengertian ini, sebenarnya banyak sekali jalan yang bisa menuju pada pengertian takwa karena perintah Allah (agama) sangat luas hanya terangkum pada takwa: amar ma’ruf (berbuat baik) dan nahi munkar (melerai kemunkaran).
Oleh karenanya perbuatan baik itu sendiri ada hampir dalam tiap langka kita, semisal belajar, membaca, sholat, puasa, membantu teman, atau dakwa dengan menghidup-hidupi media diskusi seperti ini, (tukar wacana), tidak mencuri, tidak mendlolimi sesama, dst yang tidak terhitung tangan. Sangat mudah sekali bukan untuk berbuat baik? Karena memang kebaikan itu selalu ada di sekitar kita.
Yang sulit adalah “tsummastaqamu”, dan kemudian beristiqamah (kontinu). Teguh dalam taqwa (berbuat baik dan melerai kemungkaran), melahirkan media diskusi itu gampang, yang sulit adalah continue untuk terbit, sholat tepat waktu itu gampang, yang susah adalah continue untuk tepat waktu, tidak mencuri “waktu mengajar” itu mudah, yang susah adalah istiqomahnya, dst.
Oleh karena memang berat untuk bisa istiqamah, maka ada ayat yang bisa memotivasi untuk bisa bangkit lagi “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Maka yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah dijalan yang lurus.
Sedangkan taubat yang baik adalah selain menyesali kesalahan dan kekurangan juga berusaha membuat frame kebaikan kedepan yang bisa menutupi jalan kesalahan dan kekurangan dimasa lalu agar tidak terjadi lagi. Terbitnya edisi ini adalah dalam rangka taubat dan berusaha istiqamah walaupun dengan terseok-seok untuk menjalaninya demi menjalankan secuil dari perintah-Nya. Semoga bermanfaat!

Sabtu, 01 Mei 2010

SEJARAH TERBENTUKNYA TAHUN DELEGASI

Sebuah buku terjemahan yang diberi judul “Negara Madinah, Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab”. Mengupas sejarah 70 delegasi dari suku arab yang menyerahkan diri/takluk pada Nabi Muhammad SAW dan berbai’at setia.
Karya Khalil Abdul Karim, 1999 dengan judul asli “Daulah Yatsrib: Basa’ir Fi ‘Am al-Wufud berusaha menggali lebih jauh suku yang takluk pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW serta mengkritisi sebab takluknya. Sehingga pada saatnya membentuk sebuah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan “’Am al-Wafd/tahun delegasi” dan piagam madinah.
Banyak sekali pengetahuan baru yang kita dapat ketika berusaha mengetahui sejarah Nabi SAW dari buku ini, khususnya pada sisi politik kepemimpinan Nabi SAW, kecerdasan, dan bimbingan Nabi SAW pada umat yang dipimpinnya, bahkan doktrinnya masih bisa bertahan sampai detik ini dengan umat terbanyak di dunia.
Pembahasan yang sangat berani dalam mengkritisi kelebihan dan kekurangan para sahabat dan mempertanyakan banyak hal sejarah yang telah ditorehkan Nabi SAW dan para sahabat.
Harus butuh kehati-hatian dalam membaca buku ini, tidak harus diterima semua apa yang terdiskribsikan dalam buku, karena bisa menggoyahkan pemahaman kita pada kesetiaan para sahabat Nabi SAW.
Seperti yang sudah kita dengar kebanyakan, bahwa para sahabat Nabi SAW terkenal dengan ketaatan mereka. akan tetapi dalam buku ini digambarkan dengan pemahaman baru tentang delegasi dari yaman misalnya, salah satu dari 70 delegasi yang ada dibuku ini.
Dari delegasi yaman, pernah terjadi sebuah pemberontakan dan ketidak puasan atas kepemimpinan kaum Quraisy (Nabi Muhammad). Hal ini dipimpin oleh al-Aswad bin Ka’ab al-Madzhaji al-Unsi yang berusaha memimpin revolusi. Mereka mengusir semua aparatur yang dibangun Nabi SAW, yakni Khalid bin Sa’id dan Amru bin Hazm. Dilatar belakangi oleh rasa peradaban sejarah yaman yang lebih tinggi dari pada peradaban bani Adnan. Walaupun pemberontakan ini hanya berlangsung selama dua bulan dan berhasil ditaklukkan. Bahkan menurut sebagian sejarahwan, ada beberapa yang sempat murtad pada zaman Nabi SAW.
Selain kecerdasan Nabi dalam memimpin dalam membentuk piagam madinah, kesakralan al-qur’an yang diturunkan dengan tujuh dialek (sab’atu akhruf) yang ada juga sangat berpengaruh kuat, yakni empat bahasa milik kabilah hawazun dan tiga bahasa lainnya milik kabilah quraisy. Ada yang berpendapat bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Yaman, Tamim, Jurhum, Hawazun, Qudha’ah, dan Thayyi’.
Dengan pengikut sertaan dialek mereka, maka menjadikan semangat mereka dalam pembangunan semakin cepat, apalagi ketujuh bahasa itu dimiliki oleh kabilah yang tidak bisa dianggap remeh, sehingga banyak delegasi yang menyerahkan diri secara cepat. Walaupun ketundukan mereka juga dipertanyakan oleh Khalil Abdul Karim, dikarenakan masih mengajukan berbagai macam syarat sebelum baiat dan atau sikap yang belum ditunjukkan secara totalitas seperti yang dilakukan oleh delegasi yaman. Walaupun kelebihannya diakui Nabi, dan bahkan penyambutannya diberi kehormatan oleh Nabi dengan jubah beliau seketika itu juga.
Buku ini berusaha memaparkan sejarah yang bagus, kronologis, serta kritis. selain juga asyik dibaca dan banyak kelebihan seperti pemahaman baru, akan tetapi juga tak lepas dari kekurangan seperti kesopanan yang kurang di jaga dalam penyebutan nama Nabi SAW hanya ditulis dengan “Muhammad’, dll. Allahu a’lam bissawab!

SYUKUR DALAM PRESPEKTIF TASAWUF MODERN

Hampir semua gerak kita yang didasarkan atas perintah Allah sebagai bentuk  ketaatan adalah bentuk syukur aplikatif atas nikmat yang Ia berikan.

Banyak pendefinisian tetang tasawuf dari para sufi sebenarnya, akan tetapi yang lebih sering terdengar oleh kita adalah berasal dari kata “shofa” yang berarti “jernih”. Hal ini menggambarkan kedudukan para sufi yang berhati jernih.
Dalam makna lain berarti “suffah: emperan masjid Nabawi” yang berasal dari sebutan tempat tinggal sebagian shahabat nabi yang bertempat tinggal di emperan masjid nabi. Mereka disebut sufi. Selain mempunyai hati yang baik juga meniru sifat kezuhudan Nabi Muhammad SAW.
Dan masih banyak diskribsi lain yang dipaparkan oleh para sufi seperti Imam Junaid al-Baghdadi (297 H), Imam Yazid al-Busthomi, dan sufi yang lain. Hampir semua  mempunyai diskribsi tersendiri dalam pemahamannya terhadap tasawuf.
Pada awal kelahiran islam, tasawuf belumlah terdokumen menjadi diskursus kajian yang berdiri sendiri seperti sekarang, layaknya fiqh, ushul fiqh, aqidah dan berbagai kajian ilmu lain. Masih bersifat aplikatif, dan belum menjadi diskursus ilmu tersendiri.
Pada abad pertama dan kedua hijriyah, lebih dikenal dengan fase zuhud (asketisme). Perjalanan pertama tasawuf terfokus pada penyucian diri, menjauhi dunia, tahta, wanita, dan lain-lain yang terfokus pada garis vertikal (hablun min allah) dan mengendorkan gerakan horizontal (hablun min al-annas). Hal ini terlahir ketika zaman akhir kepemimpinan sahabat utsman sampai umawiyah dan puncaknya pada pembunuhan cucu Nabi SAW, Husain bin ‘Ali yang menggambarkan sebuah paradigma yang gandrung akan kekuasaan, politik dan harta. Sehingga lahir dari golongan sebagian sahabat yang masih hidup pada waktu itu, seperti Abu Dzar al-Ghifari dan sebagian tabi’in yang berusaha mengembilakan moral mereka mengikut Nabi, yakni zuhud. Diantara 'ulama sufi salafi (masa awal) yang terkenal di masa itu adalah Hasan Al-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabi'atul Adawiyah (wafat 185 H), kedua sufi ini dijuluki sebagai Zahid.
Pada abad ketiga ini terlihat perkembangan tasawuf sangat pesat, hal ini sesuai dengan pemaparan Abu al-Wafa dalam karyanya, Madkhal Ila Tasawuf al-Islami. Kalau pada abad pertama dan kedua hanya dipahami sebagai implementasi dari zuhud, maka pada abad ketiga ini terjadi pergeseran yang sangat mengagumkan. Karena tasawuf dijadikan sebuah paradigma, gerakan, dan olah rasa pada penggiatnya.
Dilain sisi, mulai muncul berbagai macam teori dalam diskursus ilmu tasawuf, melahirkan berbagai kajian subtema tersendiri, seperti hulul, tauhid, fana, dll. Hal ini dipelopori oleh ulama besar Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi (297H/910 M). Tak ada sumber yang bisa memastikan kapan tokoh sufi fenomenal ini dilahirkan. Namun, berdasarkan sejumlah data, Imam Junaid lahir pada tahun 210 H di Kota Baghdad. Kalau imam junaid ini adalah salah seorang dari ulama tasawuf modern, maka bisa disimpulkan bahwa tasawuf modern lahirnya tidak jauh dari abad ketiga ini.
***
Pada mulanya, pemahaman tentang syukur hanya pada aplikasi ibadah individual (personal), antara hamba dengan tuhannya saja. Banyak cuplikan-cuplikan yang menerangkan akan pemahaman seperti ini. Karena memang belum terdiskribsikannya tasawuf dalam diskursus ilmu tersendiri, sehingga awal munculnya pemahaman syukur hanya bersifat vertikal belum ke arah horizontal, walaupun dalam aplikasinya mereka sudah banyak yang menerapkannya.
Kita ambil contoh misalnya hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh siti Aisyah r.a. Mendapati beliau senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Kenapa engkau berbuat seperti ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).
Refleksi syukur yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dipahami oleh umatnya dengan cara selain dalam ucapan juga dalam bentuk sholat, puasa, dan tingkah laku yang personal belum pada pemahaman yang bersifat sosial.
Dalam perkembangannya, syukur mempunyai pemahaman yang lebih luas, dengan kajian tafsir yang semakin mendalam pada ayat-ayat al-qur’an dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Dalam surat saba’ ayat 13 misalnya, : “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”, berkenaan dengan rasa syukur Nabi Daud as. Padahal dalam beberapa ayat yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. (Al-Baqarah: 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.
Redaksi dalam surat saba’ ini menunjukkan pada esensi yang lebih menjurus pada perbuatan nyata sehari-hari, semisal bekerja. Imam Ghazali merumuskan syukur pada 3 komponen:
Ilmu: menunjukkan kesadaran kita akan nikmat-nikmat allah yang dianugerahkan kepada kita.
Hal: menggambarkan sikap kita akan nikmat Allah, Rasulullah saw bersabda: hendaklah kamu berbahagia bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir dan istri mu’minah yang membantu dalam segala urusannya.
Amal: diwujudkan dalam seluruh anggota badan kita. Imam Ghazali berkata: “menggunakan nikmat-nikmat allah ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat kepada-Nya”.
Dari sini, implementasi syukur bisa menjadi lebih luas lagi, bisa berbentuk ucapan secara lisan, shalat, puasa. Atau yang berbentuk sosial seperti shadaqah, infaq, dan zakat, dst. Bahkan hampir semua gerak kita yang didasarkan atas perintah Allah sebagai bentuk ketaatan adalah bentuk syukur aplikatif atas nikmat yang Ia berikan.
Nah, Dalam prespektif tasawuf modern, syukur, selain mengarah ke-vertical (hablun min allah) maka diharapkan juga mengarah pada gerakan horizontal (hablun min al-annas). Hal ini adalah bentuk dari rasa syukur yang kedua yang perlu dilakukan oleh umat Nabi saw. Yang pertama adalah rasa syukur atas nikmat syukur yang diberikan oleh Allah.
Dalam salah satu riwayat dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa Nabi Daud as pernah mengadu kepada Allah. Beliau bertanya: “Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah berfirman, “Sekarang engkau telah benar-benar bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal daripada-Ku”. Allahu a’lam bisshawab!

Yayan M

Kamis, 25 Maret 2010

MAHASISWA MA'HAD 'ALY HARUS KELUAR DARI PONDOK

MAHASISWA MA'HAD 'ALY HARUS KELUAR DARI AREA PONDOK
sebuah keterlambatan sebenarnya jika membahas masalah ini, akan tetapi tidak salah juga untuk dipertimbangkan lagi, karena belum ada tindakan pasti dari kesenjangan yang terjadi di dalam pondok.
kesenjangan yang dimaksud adalah sebuah kecemburuan yang dianggap ketiadaan...nya di dalam lingkungan tersebut, padahal sebenarnya mempunyai pengaruh yang sangat besar jika dibiarkan mengalir begitu saja.
kecemburuan yang terlahir dari sebuah tindakan pelanggaran peraturan, antara siswa yang ada dalam pondok dengan mahasiswa. dimana perlakuan pengurus siswa tidaklah bisa mengoptimalkan tugasnya jika hal ini masih berlangsung. karena perbedaan tindakan pengurus pada penghuni pondok.
kita ambil contoh misalnya, untuk mempermudah pengerucutan masalah, yakni masalah hp, para santri yang belajar dipondok, secara tegas dilarang menggunakan hp dan tindakan pengurus terhadap pelanggar adalah dengan melelang hp, atau minimal menyitanya. hal ini memang bagus sebenarnya, akan tetapi tidak lah bisa optimal, karena disisi lain mahasiswa yang juga hidup di satu lingkungan dengan siswa bebas menggunakan tanpa adanya tindakan tegas terhadap mahasiswa atau batasan-batasan dari sebuah kesapakatan, ntah kenapa. sehingga pelarangan yang ditekankan pada siswa tidaklah berimbas pada kekapokan. dalam artian, keinginan atau hasrat ingin menggunakan hp lebih besar yang tertanam dalam benaknya dari pada hukuman yang diberikan pengurus itu sendiri. sehingga pelanggaran besar-besaran tetap terjadi diantara mereka.
atau ambil contoh keluar masuk pondok, sholat, dll. tindakan terhadap siswa bisa dikatakan tegas, akan tetapi permasalahannya adalah pelanggar masih tetap banyak. kenapa? karena memang ada semacam perbedaan tindakan terhadap sebuah pelanggaran peraturan. walaupun memang mahasiswa juga ada peraturan yang mereka dirikan, akan tetapi kontroling dari mahasiswa tidaklah optimal, karena dalam rumusan pondok yang tak tertulis (yang tertanam) masih tertanam bibit penghormatan kepada yang lebih tua. dalam artian, dimahasiswa tidaklah ada orang yang dituakan atau minimal yang disegani untuk menghidupkan peraturan yang ada, sehingga adanya peraturan yang ada di dalam tubuh mahasiswa sama dengan ketiadaannya.
dari sini, penulis mempunyai 2 tawaran yang mungkin bisa jadi pertimbangan tersendiri. yang pertama, adanya dialog antara pengurus dengan mahasiswa dan mensosialisasikan kepada para santri, sehingga jika terjadi pelanggaran, walaupun ada perbedaan peraturan, masing-masing tetap bisa menjadi agent penegak/kontroling tanpa harus membeiarkan masalah berlarut-larut.
yang kedua, mahasiswa harus keluar dari pondok, karena keperluan mahasiswa pada pondok tidaklah seperti siswa yang ada di pondok dalam realitanya. walaupun sebenarnya diharapkan dari mereka menjadi uswah, akan tetapi yang terjadi tidaklah demikian. bahkan menjadi virus perusak pondok.
adapun yang mengaji dari mereka, itupun pada waktu tertentu, selebihnya seperti yang kita ketahui. bukan berarti yang keluar dari area pondok tidak diperbolehkan ikut mengaji, boleh, tapi pada waktu mengaji itu aja datangnya.
hal yang terpaparkan diatas, tidak lain hanya keprihatinan penulis terhadap realita yang terjadi, demi keberhasilan adik-adik kita, mahasiswa harus rela untuk tinggal diluar pondok, atau memang harus komitmen dalam perbaikan diri untuk menjadi uswah seperti harapan pengurus pondok.

Senin, 15 Februari 2010

*RISAALATUL MAHABBAH*


TUHAN TOLONG

By:Derbi Romero

Ku rasa getaran cinta
Disetiap tatapan matamu
Andai ku coba tuk berpaling
Akankah sanggup menghadapi
Kenyataan ini

Oh…. Tuhan tolonglah aku
Janganlah kau biarkan diriku
Jatuh cinta kepadanya
Sebab andai itu terjadi
Akan ada hati yang terluka
Tuhan tolong diriku.

Walaupun terasa indah
Andaikan ku dapat juga dirinya
Namun ku harus tetap bertahan
Menjaga cinta yang telah lebih dulu kujalani









Sabtu, 06 Februari 2010

PERBEDAAN ADALAH RAHMAT

PERBEDAAN ADALAH RAHMAT
Yayan Musthofa

Ikhtilafu ummati rahmatun, sebuah hadits yang dianggap masyhur, tenar dalam pembahasan lisan oleh al-Hafidz ibn Khajr dan mungkin oleh kita semua. Akan tetapiAl-Ajulani dalam kitabnya, kasyfu al-khafa’, menuturkan bahwa hadits ini sanadnya terputus (munqathi’) seperti yang diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dari ibn Abbas dalam kitab al-madkhal dengan menggunakan lafadz “ikhtilaafu ashkhaabii lakum rahmatun”, al-Thabari dan al-Dailami juga meriwayatkan yang selafadz. Al-Zarkasyi dan al-Iraqi mencoba mengangkat derajat hadits tersebut dengan sanad marfu’ (tersandar pada Nabi SAW, tapi belum tentu mutawattir) akan tetapi sayang tidak ada keterangan yang menguatkan hal itu.
Hampir semua hadits yang semakna seperti “ikhtilaafu ashkhaabi Muhammad SAW rahmatun li ‘ibadillah”, dari al-Qasim ibn Muhammad, “kana ikhtilafu ashkhaabi rasulillah SAW rahmatun li haula al-naas” yang diriwayatkan oleh Abu Nu’im, dst. mempunyai derajat yang tidak lebih dari marfu’ (disandarkan pada Nabi SAW, tapi belum tentu mutawattir) dan mursal (terputus sanad setelah tabi’innya), bahkan kebanyakan ulama’ melemahkan (mendlaifkan) hadits ini dan menganggapnya tidak ada ujung pangkalnya (la ashla lahu).
Dalam penafsiran matan hadits, ulama mempunyai pandangan tersendiri tentang hal ini. Ishaq al-Maushili dan Umar bin Bahr al-Jakhidz berpandangan, jikalau memang perbedaan (ikhtilaaf) adalah sebuah rahmat maka sebaliknya kesepakatan adalah sebuah adzab. Khalifah Harun al-Rasyid pun pernah ingin menyatukan pandangan kaum muslimin pada zamannya dalam pemahaman Imam Malik, akan tetapi ditolak oleh Imam Malik.
Al-Khuthabi berusaha memilah perbedaan dalam agama menjadi tiga kategori. Perbedaan akan wujud dan keesaan Tuhan, maka dihukumi kafir, perbedaan akan sifat-sifat dan kehendak Tuhan, dihukumi bid’ah dan perbedaan dalam masalah far’iyah (praktek peribadatan, atau cabang), yang terakhir inilah yang mengandung rahmat.
Imam Nawawi lebih rasional lagi dalam menanggapi pendapat ulama yang mengatakan adzab bagi kebalikan rahmat. Beliau berpendapat bahwa sesuatu yang membawa rahmat, kebalikannya tidak harus membawa adzab, misalnya begini, dalam firman Allah Ta’ala “wa min rahmatihi ja’ala lakum al-llaila litaskunuu fiihi”, malam disini digambarkan menjadi rahmat bagi manusia, bukan berarti siang (yang kebalikan dari malam) mengandung adzab bukan?. Wallahu a’lam bil al-shawab!