Cari Blog Ini

Minggu, 25 Juli 2010

LEGASITAS IJAZAH PONDOK, PERLUKAH?

Tahukah anda bila nama-nama besar seperti pendiri Microsoft, Bill Gates, pendiri Apple Steve Jobs, dan Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg meraih sukses tanpa berbekal ijazah dari tempat kuliah masing-masing.

Ijazah dalam kamus besar bahasa Indonesia 2003 berarti surat tanda tamat belajar atau izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid dari gurunya. Pengertian yang pertama cenderung lebih menjurus pada konteks lembaga formal, sedangkan yang kedua lebih menjurus pada konteks kepondokan, ijazah sang guru pada muridnya.
Sejauh sejarah pondok sebagai lembaga pendidikan tertua, maka sejauh itu pula makna ijazah yang kedua itu ada. Karena dalam pewarisan ilmu, jika dinisbatkan pada sejarah islam, maka dikenal juga istilah sanad. Restu dari sang guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang telah dilahapnya.
Akan tetapi, makna ijazah sudah mengalami pergeseran makna sedikit demi sedikit ke pengertian yang pertama, yakni surat tanda tamat belajar. Karena ijazah dari lembaga formal mempunyai pengakuan dari Negara sehingga mempunyai kekuatan hukum. Sehingga ketika orang berucap ijazah maka secara spontan yang terbayang dalam benak mereka adalah ijazah surat tanda tamat belajar sekolah.
Selain ijazah dalam makna kedua sendiri mempunyai peran penting dalam kebanyakan pandangan pelajar sekarang untuk mencari lapangan pekerjaan, melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai jaminan dalam pabrik (pasal 1320 KUHPer), dll karena mempuai legalitas/kekuatan hukum.
Orientasi Pendidikan Pondok
Sekilas pondok tidak ada data resmi tentang kapan berdirinya pondok pertama kali, Akan tetapi dalam catatan sejarahwan, pondok telah dikenal sejak abad 18-an ketika islam masuk indonesia atau bisa ditaksirkan umur pondok sekitar 300-400 tahun sebagai lembaga pendidikan keagamaan masyarakat indonesia. Bahkan, pergerakan pondok tidak hanya dalam bidang pengajaran dakwa islamiyah saja. Akan tetapi lebih dari itu, selain sebagai lembaga pendidikan, sosial keagamaan, lembaga penyiaran agama islam, juga sebagai pusat gerakan pengebangan islam, dan pengambil peran dalam mengiringi perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.
Hanya saja pergerakan pondok sangat halus, yakni dalam pendampingan moral dan emosional masyarakat yang berbasis agama maka pada zaman kolonial Belanda dipandang sebelah mata, pondok tidak mempunyai sistem yang bagus, tujuan pendidikan tidak jelas dan bahasa yang digunakan bukan Bahasa Latin (Bahasa Arab), sehingga pondok yang juga berperan dalam masalah pendidikan tidak dimasukkan pada perencanaan pendidikan umum kolonial belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia yang semula bermasyarakat pedesaan agraris menjadi masyarakat kota industri dan perdagangan mengakibatkan lahirnya beraneka ragam lembaga pendidikan Islam. Lembaga Islam modern tumbuh dengan cepat menyesuaikan kurikulum, sistem pendidikan, organisasi, dll.
Sebenarnya berkaca pada pendidikan pondok yang dimana santri didampingi oleh sang guru selama sehari penuh. Maka muncul pula sekolah bersistem full day school, kemudian berkembang lagi, berstandar nasional, dan berstandar internasional lantas akan muncul apalagi? Perbedaannya, kalau pendidikan islam modern ada ijazah yang legal dari pemerintah sedangkan pondok tidaklah ada ijazahnya, kecuali kalau pondok itu telah mengkolaborasikan sistem pondok dengan pendidikan umum maka ada ijazahnya, itupun atas nama ijazah sekolah bukan ijazah pondok.
Keberhasilan pendidikan pondok dalam mendidik santri-santrinya yang tercatat dalam sejarah tidaklah keluar dari orientasi pondok sendiri sebagai wadah pendidikan ajaran islam, pengembangan ajaran islam, sosial keagamaan, dan bahkan pergerakan sehingga menanamkan beberapa karakter pada anak didiknya antara lain:
1.      Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mempunyai karakter juang untuk islam yang tinggi.
2.      Mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesalehan (moralitas) pada diri para santri.
3.     Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat.
4.     Menjadi benteng terakhir/penyaring dari serangan kebudayaan asing. Dll
Keberhasilan itu semua diraih tanpa adanya ijazah tidak seperti yang diharapkan para kebanyakan siswa atau mahasiswa sekarang ini.
Legalitas Ijazah Pondok, Perlukah?
Ijazah memang penting, tapi bukanlah yang terpenting. Oleh karenanya ada sebagian besar pondok yang mengkolaborasikan antara pendidikan keagamaan pondok dengan pendidikan umum. Diharapkan bisa mencapai keduanya secara maksimal.
Kalau pendidikan umum berorientasi pada pembinaan duniawi atau material, maka dengan adanya pengkolaborasian pendidikan pondok yang berorientasi pada pembinaan moral dan ukhrawiyah yang berfungsi sebagai benteng pertahanan akhlaq para ilmuan dan intelek. Sehingga ada keseimbangan (balance) antara intelektual dan moralitas para peserta didik.
Para santri yang lulus dari jenjang pendidikan yang ada di pondok bersistem ini bisa melanjutkan studinya di jenjang berikutnya luar pondok, katakan lembaga pendidikan umum baik setingkat SMA atau Perguruan Tinggi karena menggunakan ijazah formal yang sudah diakui legalitasnya oleh Negara.
Itu bagi pondok yang mengawinkan dualisme pendidikan, akan tetapi tidak semua podok yang demikian, karena masih ada pondok yang tetap berdiri pada baground salafi tanpa adanya perkawinan sistem.
Nah, bagaimana melanjutkan ke pendidikan tingkat lanjut semacam Perguruan Tinggi seperti IAIN, STAIN, UIN, dll? Ternyata ada tawaran ujian persamaan setingkat SMP, SMA sederajat bagi mereka yang menginginkan ijazah. Atau bagi mereka yang tidak menginginkan hal itu bisa langsung melanjutkan pendidikannya di Ma’had ‘Aly yang selevel S1 baru bisa melanjutkan ke S2 atau perguruan tinggi lain di luar negeri mungkin. Seperti yang pernah dipaparkan oleh Gus Sholah. Hanya saja masih dalam satu jalur, khusus dalam pendalaman agama.
Bapak Suryadarma MPA PhD, Direktur Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Depdiknas memang pernah mengatakan kalau sekolah bukanlah tempat mencari ijazah, akan tetapi tempat mencari ilmu dan pendidikan.
Namun, jauh dari hal itu dengan mengingat peranan ijazah, hampir segala lini lowongan pekerjaan/lembaga pendidikan umum atau formal membutuhkan peranan ijazah yang dijadikan tolok ukur dengan bentuk angka (nilai-nilai) terhadap kemampuan seseorang. Baik dari pekerja pabrik/industri, guru, PNS, melanjutkan sekolah, dll.
Bukan berarti tertutup bagi mereka yang tidak punya ijazah untuk mengembangkan kreativitasnya dalam ranah materiil (duniawi). Seperti untuk menjadi pedagang, pengusaha, penulis, dll.
Ijazah memang penting dan mempermudah gerak kreativitas akan tetapi bukan lah jalan satu-satunya untuk menggapai kesuksesan. Seperti yang telah dilakukan oleh pondok dalam sejarah, bisa mengkader santri menjadi ulama’, zua’ama’, pahlawan nasional, dst. Allahu a’lam bishowab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar