Cari Blog Ini

Minggu, 25 Juli 2010

Mahkum ‘Alaih


Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang titah allah digantungkan pada perbuatannya, atau disebut juga mukallaf. Mahkumalaih mempunyai dua syarat yang harus dipenuhi:

1)      Hendaknya mukallaf mampu untukmemahami dalil taklif.
Kepahaman akan dalil taklif atau titah allah diukur dari segi kesempurnaan akal seseoraang itu dan baligh. Jadi, orang yang kurang sempurna akalnya tidaklah terkena hukum taklif seperti orang gila, tidur dan mabuk, begitu juga bagi yang belum baligh, seperti bocah yang belum mumayiz dan baligh. Kesimpulan jelasnya ada 3 kreteria:
  1. Paham dalil disini dipandang sama bagi mereka yang paham dengan dirinya sendiri atau dengan perantara orang lain (istifadah: menarik kesimpulan), yakni cukup sampai mengetahui dalil, tidak perlu pembuktian kebenaran dalilnya (tasdiq). Berdasarkan dengan ini, maka orang kafir tergolong sebagai mukhatab, karena mereka mampu mengetahui dan memahami dalil-dalil syari’at. Inilah madzhab jumhur al-ulama
  2. Orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz bukan termasuk mukallaf karena tidak mampu memahami pokok khitab. Adapun anak kecil yang mumayiz, walaupun ia paham sesuatu yang tidak dipaham orang yang belum tamyiz (ghairu mumayiz), akan tetapi pemahamannya belumlah sesempurna orang yang sudah sempurna nalarnya (akalnya) misalnya mengetahui tentang eksistensi allah swt, keberadaan dia sebagai mukhatab, mukallaf, dll, yang mengacu pada makna taklif
  3. Begitu juga orang tidur, lupa dan mabuk. Tidak terkena hukum taklif. Berdasarkan hadits Nabi:

رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أحمد وأبو داوود والحاكم عن علي وعمرو رضي الله عنهما)
*) kontradiksi 3 syarat diatas dengan 3 hal:
  1. Jika seorang bocah dan orang gila bukan mukalaf maka kenapa zakat, nafaqah, dan tanggungan diwajibkan atas mereka? Dan kenapa bocah mumayiz diperintah shalat? Maka jawabnya adalah: kewajiban-kewajiban itu tidaklah berhubungan dengan perbuatan orang gila dan bocah, akan tetapi berhubungan dengan harta dan tanggung jawabnya. Digantungkan dengan perbuatannya ketika mereka sadar dari mabuk atau ketika sudah baligh (bagi anak kecil) karena mereka bisa memahami khitab nantinya. Sedangkan sebelum itu maka yang bertanggung jawab atas mereka adalah wali mereka karena ini bukan termasuk bab taklif, tetapi pada hukum wadl’I (hukum klausalitas). Adapun perintah shalat terhadap bocah kecil, bukanlah secara langsung dari syari’ tetapi dari walinya. Berdasarkan hadits Nabi:

مروهم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين (رواه أحمد وأبو داوود والحاكم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما)

Menurut sebagian ulama syafi’iyah, inflasi thalaq orang mabuk bukan dari bab taklif tapi sesuatu yang sudah ditetapkan dalam hukum wadl’i, maksudnya, ucapan thalaq menjadi tanda (sebab) jatuhnya talaq, sebagai hukuman baginya. seperti halnya terbenamnya matahari menjadi tanda diwajibkannya ibadah shlalat.
  1. Kenapa dalam surat al-nisa Allah SWT mengkhitabi orang-orang mabuk?

ياأيها الذين أمنوا لاتقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون  (al-nisa: 34)

Maka jawabnya: ini bukanlah maksud dari khitab. Larangan disini bukanlah larangan shalat ketika mabuk, tetapi larangan mabuk ketika akan menunaikan shalat saat tersadar “ibaratnya begini: لا تقرب التهجد وأنت شبعا maksudnya jangan kenyang kalau ingin melaksanakan tahajud, supaya tahajud tidak susah bagi kamu. Sama halnya dengan itu “ketika akan shalat maka jangan mabuk”
  1. sesungguhnya syari’at itu global dan universal dan ditujukan umtuk seluruh umat manusia. Berdasarkan firman allah swt dalam surat saba’:27 dan al-anbiya’:107

وما ارسلناك إلا كافة للناس بشيرا ونذيرا (سبأ: 27) وما أرسلناك إلارحمة للعالمين (الأنبيأ: 107)

akan tetapi permasalahannya adalah sebagian manusia tidak paham bahasa arab, bahasa al-qur’an. Lantas kenapa memberikan titah pada orang yang tidak paham akan bahasa titah tersebut? Ini adalah salah satu faktor sebab hilangnya syarat taklif (mampu mamahami dalil takllif)
jawabnya adalah syarat taklif juga berlaku bagi orang ajam (non arab), mungkin dengan belajar bahasa arab atau dengan belajar agama melalui bahasa lokal, itu kalau dirasa belajar bahasa arab susah dan berat.
Secara umum akan mempunyai 2 syarat bagi penduduk setempat:
  1. penerjemahan hukum syari’ah ke dalam bahasa lokal (asing)
  2. spesialisasi golongan untuk belajar syari’at sampai matang dan belajar bahasa lokal (asing) kemudian menerjemahkan dan menyebarnya keseluruh pelosok negara ini termasuk fardlu kifayah.

ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون (العمران: 104)


2)      Hendaknya mukallaf adalah orang yang berkompeten/ layak dalam menanggung hukum taklif (ahlun li al-taklif).
  • Kelayakan tersebut di ukur dari akal dan pemahaman, karena akal adalah komponen pokok dalam memahami sesuatu bagi masing-masing individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar