Cari Blog Ini

Senin, 01 November 2010

MBAH KIAI HUSAIN ILYAS!

Kemarin waktu hari raya idul fithri 1430, tepatnya diakhir bulan syawal ada teman yang mengajak sowan -istilah yang digunakan santri untuk bertamu ke mbah kiai atau keluarga ndalem- ke Kiai Husain Ilyas, Karang Nongko, Mojokerto. Dalam rangka silaturrahmi dan ngalap berkah.

Sebenarnya sudah lama rencana itu dicanangkan semenjak ia mulai tertarik dengan bermacam cerita teman-teman mojokerto kepadanya tentang keanehan dan kenyelenehan beliau. Baik cerita hafalan nadzam alfiyahnya dalam waktu yang singkat, pertemuan beliau dengan Nabi Khidlir, mengelus taring singa, mengalahkan rombongan truk yang akan menyerbu desa dan masih banyak lagi.

Pas duduk di warung, ngopi sendirian karena teman-teman yang lain sudah ngopi pagi-pagi, sedangkan saya baru bangun jam sembilan pagi, kebiasaan tidur setelah sholat subuh ini memang sengaja ku pelihara karena memang malam hari selalu begadang ntah ngapain saja pokoknya kalau malam jarang tidur. Dilain sisi, jam perkuliahan baru dimulai setelah sholat dhuhur sekitar jam dua siang, itupun kalau saya tidak telat. Nah, kayaknya dia tahu kalau saya lagi sendirian maka disusulnya dan tanya-tanya tentang beliau yang pada akhirnya minta diantarkan sowan ke rumahnya.

Dia memang sudah tahu kalau saya berasal dari Mojosari dan dulu menempuh sekolah berbasis pondok di Sooko Mojokerto daerah yang tidak jauh dari Karang Nongko apalagi ketika itu saya sempat menyisihkan waktu untuk mengikuti pengajian yang diasuhnya, Tafsir ibn Katsir di Kantor NU depan Pondokku, Pondok Ken Dedes.

Minggu kedua setelah hari raya, para santri tingkat SMP dan SMA sudah balik ke pondok tercinta, Tebuireng. Kegiatan para santri sudah mulai diaktifkan, termasuk mahasiswa yang bertempat di pondok juga sudah mulai berdatangan, apalagi kampus Ma’had ‘Aly berbasis syari’ah (fiqh, hukum islam), tempat kita kuliah juga milik pondok mau atau tidak mau jadwal kuliah tetap diaktifkan sesuai agenda pondok. Begitu juga Pondok Pacul Gowang tempat dia mondok sudah mulai aktif. Di Pondok Tebuireng dia hanya mengambil kuliah saja, masalah kajian pondok, tetap di Pacul Gowang yang sekarang diasuh mBah Kiai Aziz Manshur.

Jadwal kuliah pertama setelah lebaran ini masih kosong, banyak dosen yang tidak hadir, akhirnya dia mengajak berangkat ke Mojokerto ketika itu juga, dari pada jam kosong tidak dapat materi kuliah tambah lagi momentumnya tepat, masih bulan syawal walaupun akhir bulan.

Kami berangkat bertiga, dia mengajak temannya yang juga teman saya karena satu kampus di Ma’had ‘Aly Tebuireng, bedanya mereka berdua menetap di Pondok Pacul Gowang dan saya di Pondok Tebuireng.

Ada dua sepeda motor, satu sepada motorku dan satunya sepeda motornya. Yah, walaupun jelek asal sampai tujuan. Dan benar, dalam perjalanan kedua sepeda mesinnya rewel, ganti busi, oli, dan sebagainya. Padahal jaraknya antara Jombang-Mojokerto hanya dipisah dua kecamatan ternama saja, Mojoagung dan Trowulan kalau dihitung dari Cukir Tebuireng. Mungkin itu termasuk cobaan sowan atau yang lain kurang mengerti. Tapi memang begitu kepercayaan kita para santri, kalau mau melaksanakan kebaikan apalagi ingin sowan ke Kiai yang dianggap sundul langit ilmunya, sebuah cobaan pasti ada, entah berbentuk kiai sedang bepergian, lagi ada tamu, sedang istirahat, atau sepeda rewel, dll. Walaupun pada akhirnya sampai juga, karena memang sudah menjadi tekad kami bertiga harus sowan mbah yai hari itu juga, Rabu.

“tenang ji, biasa, cobaan pasti ada. Sambil nunggu sepeda motor dibenerin bengkel, kita makan siang dulu” ajak kang hadziq menenangkan saya. Mungkin sudah bisa ditebak dari raut muka saya yang kelihatan was-was kalau tidak bisa bertemu, soalnya yang saya ketahui, kalau sudah terdengar kumandan adzan, mbah kiai tidak menerima tamu bahkan kalau ada tamu di rumah dan terdengar adzan maka lekas-lekas di do’ain dan disuruh pulang atau sholat berjamaah bersama beliau. Sedangkan waktu sudah mendekati ashar.

“Saya nunggu disini aja.. kalian makan dulu” tukas kang totok pada kami berdua, karena memang dia sedang berpuasa. Dan memang hampir hari-hari dipondok bisa dihitung jari jadwal kang totok muka (tidak puasa), ahli lelakon. Makanya sering dipanggil teman-teman kampus dengan sebutan si mbah atau mbah dukun.
Usai makan, ngopi plus mengepulkan rokok sepeda beres ditangani bengkel. Kami lekas berangkat melanjutkan perjalanan.

***

Alhamdulillah, sampai juga dan kebetulan ada seorang tamu juga yang sudah di ndalem kiai, salah seorang pejabat tingkat daerah asal surabaya yang biasanya rutin ikut ngaji bersama kiai pada malam 17 tengah malam. Kajian tafsir yang sebelumnya dibuka dengan istighosah dan dibai’yah.

“Assalamua’alaikum” ucap saya sebagai perwakilan salam dari kami bertiga selain karena memang sudah dipilih sebagai Guide mereka.

“Walaikum salam,. Monggo-monggo.. melbet” jawab mbah kiai.

Kami bertiga masuk ndalem, rumah beliau. Setelah hening sejenak beliau bertanya “Enek perlu opo le (ada perlu apa)?”. Kang hadziq menjawab “sowan mawon mbah yai sekalian silaturrahim (hanya bertamu dan silaturrahim)”. Lantas mbah yai diam dan manggut-manggut, hening lagi.

Tanpa memberi isyarat, mbah yai langsung masuk rumah dan kami tetap menunggu di ruang tamu. Selang berapa menit beliau kembali lagi sambil membawa photo beliau waktu masih muda sedang mengenakan pakaian hitam, sarung batik diikat sabuk besar seperti pendekar dan memakai udeng, serban yang dililitkan di kepala sebagai peci, persis seperti orang arab. Sambil berucap “itu waktu saya mudah dulu, cakep dan gagah” diiringi senyum kemudian tertawa, kamipun ikut tertawa.

Beliau bercerita banyak panjang lebar, tapi yang masih teringat menempel adalah cerita beliau tentang tentara jepang dulu ketika melarang rakyat indonesia tidak boleh keluar rumah sore hari, kalau ketahuan akan dibunuh tentara jepang di depan umum sebagai peringatan pada rakyat karena dianggap pemberontak.

Pernah suatu ketika ada yang mengintip dari dinding rumah, karena memang dinding rumah ketika itu terbuat dari sesek, bambu yang dikuliti tipis dan dianyam. Sehingga ada rongga-rongga kecil untuk mengintip. Ternyata pada sore hari itu, tentara jepang menaikkan hasil tanam rakyat yang ditarik sebagai pajak keatas kapal untuk dibawa ke negera mereka. Untung yang mengintip tidak ketahuan jadi masih ada saksi mata yang bercerita ke tetangga-tetangganya yang lain, foklor lisan kalau dalam sejarah.

Banyak rakyat yang menderita sebab kehabisan bahan pangan. Padi, ketela, jagung, dll yang sudah siap panen dijaga tentara jepang. Yang memanen adalah tentara dan rakyat diberi bagian sendiri oleh mereka dengan bagian yang sedikit sekali. Yang ketahuan memanen akan ditembak dan itu pernah terjadi pada seorang petani padi. Anaknya yang masih kecil sempat melaporkan kejadian yang dialami oleh ayahnya ke mbah yai.

Mendengar laporan itu, mbah yai mengajak beberapa temannya dan sebagian rakyat yang berani untuk memanen hasil tanamannya sore hari menjelang maghrib. Tentara jepang yang ketika itu membawa anjing peliharaan untuk menjaga sawah dan ladang tahu akan hal itu dan mendekati mereka. Ternyata anjing yang dibawanya mberot, ingin lari dan menjauh dari mbah yai dan pengikutnya sehingga tentara jepang kelabakan menarik anjingnya, sedangkan tentara yang lain yang menodongkan senapan, ntah kenapa senapannya meleleh seperti besi dipanaskan.

Anjing itu lari karena beliau habis mengelus taring singa di hutan. Singa itu jinak kayak hewan peliharaan dihadapan beliau, disuruh menjulurkan lidah, manut dst. Karena anjing penciumannya tajam, maka mengerti kalau yang diciumnya adalah air liur singa. Sedangkan tentara yang lain lari terbirit-birit karena senjata menjadi leleh.
“Dadi wong iku ga usah wedi karo sopo-sopo, kholifahe pengeran ndek ndunyo iki seng diwedeni mung pengeran tok (jadi orang itu tidak boleh takut sama siapapun, kholifah allah hanya takut pada allah saja)”. Sambil tertawa, dan suasana ruangan mencair kembali.

“Monggo-monggo diunjuk (silahkan diminum)” beliau mempersilahkan minum kepada kami semua. Saya dan tamu dari surabaya itu, pak maimun, meminum teh yang disuguhkan. Kedua temanku tidak minum. Setelah itu mbah yai bercerita lagi.
“Dulu waktu saya (mbah yai) masih kecil, kalau sedang puasa menyendiri di hutan. Biar tidak diketahui dan ditanya siapapun. Pokoknya mencari tempat sepi. Suatu ketika saya tertidur di hutan, perasaan beberapa menit saja, tapi kata teman-teman sudah berminggu-minggu. Jadi mereka semua mencari saya”. Sambil tertawa, kemudian melanjutkan cerita lagi “teman-teman saya tidak ada yang tahu. Saya dibangunkan Gus Zuli, teman-teman yang tadinya lewat situ, tempat saya tidur tidak melihat saya, tapi Gus Zuli melihat dan membangunkan saya. Terus saya ceritakan pada beliau, tentang mimpi bahwa suatu saat ada kiai besar yang akan lahir di tempat ini dan tempat ini akan menjadi ramai setelah beliau wafat. suatu daerah di kediri yang sekarang menjadi makam Gus Mik, Kiai Haji Hamim Jazuli. Gus Zuli hanya menjawab, benar”.

Kemudian beliu mempersilahkan minum lagi “monggo-monggo diunjuk teh nya”. Saya, kang hadziq dan pak maimun minum sedangkan kang totok tidak minum. Memang dia sedang puasa. karena waktu adzan ashar sudah tinggal beberapa menit lagi, beliau langsung menegur kang totok “kamu kalau puasa, jangan bertamu ke rumah saya. Santri-santri dibelakang itu sudah repot-repot menyajikan teh dan makanan kok tidak kamu makan, lantas siapa yang akan minum dan memakan ini? disenengno iku yo senengno seng nyenengno. Ayo diminum! Kayak temanmu ini lho dipersilahkan minum langsung diminum sambil menunjuk saya”

Akhirnya kang totok minum tehnya sedikit. Suasana hening kembali. Dan adzan mulai terdengar.
“ya sudah, tak dungani ndang muleh wes (saya do’akan dan pulanglah)!”. Tegas mbah yai kemudian. Setelah berdo’a dan kami semua mengamini beliu menyuruh minum lagi. Kami meminum secara bersamaan teh yang sudah di depan kami semua.
Kami hanya dapat beberapa cerita itu saja dari mbah yai plus sedikit marah gara-gara kang totok, tapi bernilai ilmu.

Mbah yai mengantar kami keluar sampai teras, sambil memegang pundak kang totok “puasanya dilanjutkan kembali kang! Imam ghozali dalam kitabnya ihya’ ulumuddin berpendapat kalau bertamu sedangkan dalam keadaan berpuasa, puasa sunnah, maka boleh meminum atau memakan sekadarnya untuk menghormati tuan rumah “littakrim”. Atau sebelum disajikan menu dia menolak “tidak usah repot-repot, saya berpuasa” dalam artian menolak secara halus dengan cara memberi tahu kalau sedang berpuasa”.
Dalam penutup pembicaraan beliu menepuk pundak kang totok “semoga jadi ahli lelakon” dan menepuk pundak kang hadziq “semoga jadi ahli syari’at”. Dalam pikirku, beliu kok tahu kalau kang hadziq ahli syari’at, karena hampir dalam semua mata kuliah hukum islam ditaklukkan, sampai dosen pengajar pun kelabakan mematahkan pendapatnya.