Cari Blog Ini

Kamis, 22 Maret 2012

TOLERANSI BERAGAMA, PLURALISME DAN NEGARA KESATUAN Oleh: Yayan Musthofa

Karakter dasar manusia yang diciptakan oleh Allah dan tidak bisa dipungkiri kebenarannya adalah hidup secara bersama (makhluk sosial), yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lain, karena manusia tidak akan mungkin menyelesaikan semua kendalanya tanpa bantuan sesama.

Hal itu, Seperti yang pernah ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab al-Tibyan (dalam bab qonun asasiy), walaupun sebenarnya karya itu ditujukan untuk Nahdlatul Ulama’ menurut pengakuan kalangan Nahdliyyin sebab terlahirnya karya tersebut adalah untuk mereka, akan tetapi yang mengagumkan dalam karya itu, beliau lebih memakai rangkaian kata yang lebih global. Sehingga semakin banyak dikaji, semakin banyak arti yang tersirat. Sedikit cuplikan mungkin bisa menggambarkan asyiknya rangkaian kata beliau:

ومن المعلوم ان الناس لابد لهم من الاجتماع والمخالطة، لان الفرد الواحد لايمكن ان يستقل بجميع حاجته، فهو مضطر بكم الضرورة الى الاجتماع الذي يجلب الى امته الخير ويدفع عنها الشر والضير، فالاتحاد وارتباط القلوب ببعضها، وتضافرها على امر واحد، واجتماعها على كلمة واحدة من اهم اسباب السعادة، وأقوى دواعى المحبة والمودة، وكم به عمرت البلاد، وسادت العباد، وانتشر العمران، وتقدمت الاوطان، واسست المالك، وسهلت المسالك، وكثرت التواصل الى غير ذلك من فوائد الاتحاد الذي هو اعظم الفضائل وامتن الاسباب والوسائل.

Di sini yang lebih ditekankan adalah persatuan “al-ittihad” antar sesama manusia (annas) demi ketentraman (imron), dan kebahagiaan (sa’adah). Dan yang menarik adalah bukan kata yang partikuler, menggunakan muslimin, atau kelompok tertentu melainkan manusia secara umum.

Ada semacam kesadaran instrik ketika bersikukuh mendirikan sebuah kesatuan Negara, maka di dalamnya pasti terkandung manusia yang mempunyai karakter plural (majmu’), baik perbedaan agama, ras, suku, dan lain sebagainya yang tentunya pasti mempunyai perbedaan. Dan yang meletakakkan kesamaan di antara semuanya adalah bahwa semua adalah “manusia” yang mempunyai kesamaan tujuan, yakni makmur dan bahagia.

Di sisi lain, manusia terbagi secara geografis (dalam politik) yang melahirkan sifat kebersamaan dalam ranah mana mereka berkelompok atau berkoloni sehingga mempunyai satu tujuan khusus atas nama kebersamaan sehingga terbentuklah “Negara”. Kita tidak bahas lebih jauh masalah ini, akan lebih menarik jika difokuskan pada rasa “persatuan” yang mereka tanamkan pada kelompok dimana mereka tinggal sehingga bisa mengayomi semua yang di dalamnya.

Permulaan untuk mewujudkan “persatuan” mempertahankan “Negara” sebagai rumah tinggal bersama adalah saling memahami dan mengerti tentang keberagaman yang ada. Oleh karenanya, tidak seharusnya ada semacam kekerasan dalam rumah tangga yang di mana mereka yang tinggal adalah masih saudara kita sendiri. Bahkan sebaliknya, yang dibutuhkan adalah sifat rasa kasih sayang (al-rifqoh) terhadap saudara. Di sini Khadratus Syaikh pernah mengemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Sayyidah ‘Aisyah: “sesungguhnya siapa yang diberi sifat belas kasih maka dia benar-benar diberi bagian dari kebaikan dunia dan akhirat. Silatur rahim, berbaik dengan tetangga, dan berakhlak baik, akan meramaikan rumah dan menambah umur”. Belas kasih dan kebaikan tanpa adanya “kekerasan” itulah yang bisa menentramkan rumah.
Toleransi Beragama Sebagai Kunci Persatuan

Dari berbagai kericuhan yang sering terjadi banyak yang digaungkan bahwa kendala dasarnya adalah masalah keyakinan beragama, walaupun sudah tidak sedikit tulisan yang beredar membahas perdamaian dan saling menghormati antar keyakinan.

Islam pun, sebagai agama mayoritas sebenarnya sudah selayaknya tidak berbuat ricuh untuk masalah keyakinan. Baik antar sesama pemeluk Islam ataupun dengan non-Islam. Karena Nabi kita pada masa awal pun yang dilakukan adalah mempersatukan atau membangun keharmonisan antara kaum muhajirin dan anshor, dijadikan sebagai saudara. Begitupun dengan non-Muslim, Nabi membangun keharmonisan dengan kaum nasrani, yahudi, bani aush dan khazraj yang termaktub dalam piagam madinah. Maka sudah tak seperlunya lagi ada pertengkaran “jahiliyah” lagi.

Kalaupun dasarnya adalah surat al-Baqarah ayat 120 yang berbunyi “dan orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran akidah mereka”, maka ada penafsiran menarik yang sudah dipaparkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tulisannya yang berjudul “Islam Dan Dialog Antar Agama” beberapa tahun silam. Yakni selama keyakinan kita adalah Allah satu dan Muhammad utusan-Nya, maka selama itu pula mereka tidak ridlo, seperti halnya kita tidak ridlo mereka berkeyakinan bahwa Yesus adalah anak Tuhan dalam Kristen dan yahudi adalah umat pilihan Tuhan. Dalam artian, kita dan mereka sama-sama tidak menerima ajaran yang ditawarkan itu.

Dan kalau itu kemudian dijadikan sikap untuk saling bermusuhan, maka niscaya sampai hari akhir tidak ada kedamaian, bahkan yang adalah kekerasan dan hidup tidak tentram karena masing-masing merasa ter-teror.

Alangkah baiknya, jika yang dilihat adalah sisi positif dari keberagaman yang bersifat membangun kesatuan Negara (rumah tinggal), kalau dalam ajaran kita adalah “mu’amalah”, hubungan sosial-ekonomi. Tanpa harus menanyakan terlebih dahulu KTP mereka. Saling bekerja sama demi kebaikan.

Bahkan ada kaidah fiqh menarik yang dipaparkan juga oleh Gus Dur, cucu Khadratus Syaikh, mengenai masalah diatas “ma laa yatimmul wajib illa bihi fahua wajib” sesuatu yang wajib tidak akan tercapai tanpa adanya hal tersebut, maka hal itu menjadi wajib pula. Dalam artian, ketika kesatuan Negara dan kerjasama “rumah tangga” untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman merupakan suatu kewajiban, maka hal saling menghormati, toleransi beragama, dan pemicunya yang lain juga menjadi perangkat yang wajib dijalankan pula.

Contoh kasus misalnya, permasalahan sepele yang pernah ditulis Gus Dur tentang penggantian “salam” dengan ucapan “selamat sore” yang sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Soalnya, ada yang lebih menarik dalam kisah 2 sahabat Nabi yang diancam oleh kaum kafir pada masa awal penyebaran Islam, yang satu tetap mempertahankan keimanannya dalam deraan kaum kafir sehingga wafat, dan yang satu mengaku mengikuti mereka dengan melepas keimanannya. Dan akhirnya menghadap Nabi dan menjelaskan bahwa dia sebenarnya masih beriman dalam naungan Nabi, sedangkan pengakuan yang diucapkan pada kaum itu adalah usahanya untuk tetap hidup. Dan beliau membenarkan hal tersebut.
Ada kaidah fiqih yang menarik dalam hal ini, “al-umuru bi maqosidiha”, sebuah perkara tergantung pada niatannya. Maksudnya, karena dia menginginkan hidup dan bersama Nabi, maka dia berbohong. Tidak ada niatan keluar dari islam, walaupun yang diucapkan dalam keadaan itu adalah lafadz yang mengakibatkan dia yang seharusnya sudah dihukumi murtad.

Bahkan, kalau di tarik ke masa kita yang sekarang, pengucapan “selamat hari raya” adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan, karena hal itu adalah salah satu pemicu untuk mencipkatan keharmonisan hidup antar umat beragama dan membentuk kesatuan bernegara. Tanpa ada niatan kita mengimani atau meyakini akan kebenaran iman agama masing-masing. Setidaknya demikian.

Yang tak habis pikir adalah perbedaan di kalangan muslim sendiri. Kenapa sampai ada anarkis seperti yang tidak lama adalah kasus pembumihangusan warga Syi’ah di Madura. Sesuatu yang kekanak-kanakan. Bukankah para pendahulu kita sudah lama mempunyai perbedaan itu? Dan bukankah adegium dalam kalangan kita “ikhtilaful a’imti rahmatun lil umam” perbedaan di kalangan pemimpin umat adalah rahmat bagi umat. Atau “ikhtilafu ummati rahmatun” perbedaan dalam umatku adalah rahmat. Perbedaan adalah sebuah kewajaran, yang tidak diperkenankan adalah perpecahan dan permusuhan atau bahkan sampai berbuat ricuh sampai bunuh-membunuh.

Oleh karenanya dan setidaknya, toleransi (al-tasamuh), saling pengertian, berbelas kasih, dan nilai-nilai kemesraan yang lain harus tertanam dalam diri kita agar tidak terkesan semacam cultur shock. Dulu waktu Ulil lahir dengan Islam Liberalismenya, geger. Muncul Ahmadiyah, perang. Timbul Syi’ah, rame. Sholawat wahidiyah, debat lagi. Dan seterusnya yang tidak selayaknya menjadi karakter dalam diri kita. Apa tidak capek?? Semoga bermanfaat!

TUANGKAN “VODKA”, DAN MARI BERSULANG!

Dalam film “hertstring” episode pertama sampai tiga digambarkan dua fakultas yang selalu bersaing dengan karakter pemain sendiri-sendiri, yakni fakultas music tradisional dan fakultas music terapan/modern. Sampai suatu ketika mereka mengadakan taruhan untuk membuktikan fakultas music mana yang paling banyak digemari oleh banyak mahasiswa.

Yang menegangkan ketika music tradisional bisa dikatakan sangat menarik dan kemungkinan besar menang, tapi senar gitar yang dipakai putus, sehingga music yang dimainkan belum tuntas. Indahnya alat music tradisional yang dimodivikasi sedemikian rupa sehingga menemukan keasyikan paduan suara antar alat music. Tapi memang nasib belum beruntung sehingga music tradisional dinyakatan kalah karena memang belum tuntas termainkan.

Sekilas tentang film diatas yang ingin diflourkan adalah pertarungan “pencitraan” antar fakultas. Secara tidak langsung, ketika fakultas yang mereka tekuni berhasil menunjukkan taringnya di hadapan massa, maka akan semakin banyak penggemar dan pengikut yang akan menekuni fakultas tersebut. Dalam artian, semakin banyak mahasiswa yang akan mengambil jurusan yang berhasil menampakkan citranya di hadapan public. Karena dirasa berhasil, dan sanggup merebut hati massa.

Dalam tataran yang lebih luas sedikit adalah kampus. Pertarungan “pencitraan” antar kampus untuk menunjukkan yang lebih unggul sangatlah dimungkinkan, walaupun itu bukanlah tujuan utama, tapi tidak bisa dipungkiri akan adanya hal tersebut demi kemajuan kampus untuk berusaha menjawab tantangan zaman dan mendampingi masyarakat sekitarnya.

Sebenarnya, banyak kaitan ketika membicarakan tentang kemampuan kampus atau mahasiswa yang berperan penting dalam dunia akademika dan masyarakat sekitar di sisi lain. Maksudnya, antara kampus, mahasiswa, dan masyarakat sekitar setidaknya ada atau berusaha membangun sebuah hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Labih rincinya, ketika hubungan antara mahasiswa dengan pihak kampus berjalan mesrah dan saling mensupport untuk kemajuan mahasiswa dalam perkembangannya di ilmu pengetahuan yang digeluti sehingga bisa tanding antar kampus dan merebut citra, maka semakin banyak mahasiswa yang akan terpincut untuk masuk pada kampus tersebut. Sehingga yang terjadi adalah banyaknya respon dari kalangan yang lebih luas baik itu instansi yang siap membantu pembangunan kampus untuk lebih besar lagi, atau dari income mahasiswa yang semakin membludak yang juga bisa mempercepat pembangunan fasilitas kampus. Oleh karenanya, sangat dimungkinkan untuk pemunahan kebutuhan bersama dalam dunia academia seringan memblik tangan.

Tidak berhenti dalam kehidupan kampus, karena pada realitanya, ketika kampus berhasil merekut sedemikian besar mahasiswa, maka yang terjadi adalah perkembangan ekonomi di wilayah sekitar yang juga menguntungkan bagi mereka. Katakatanlah pembangunan kos atau kontrakan, warung, tempat hiburan mahasiswa, taman bacaan, warung mahasiswa, dst yang juga melengkapi kebutuhan mahasiswa. Maka secara tidak langsung, kampus telah memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar. Itu dalam ranah materiil, yang ranah kemajuan lain seperti pengetahuan, tatanan masyarakat, dst masih butuh perjuangan lebih lanjut dan pemikiran bersama.

Tidak sesulit yang diresahkan sebenarnya untuk melihat kampus terlihat lebih maju (pencitraan), karena di era abad kita ini, ranah perjuangan tidak sesempit yang dibayangkan. Makanya, butuh kerjasama antara pihak kampus dan mahasiswa demi kebersamaan yang lebih maju. Kalau saya boleh mempersingkat, ya seperti yang ada dalam judul “tuangkan vodka, dan mari bersulang”, sebagai symbol persetujuan dan kebersamaan dalam memperjuangkan sesuatu. Bukankah demikian? hehehehe

SIBAK TIRAI-MU YA RASUL

Mereka bercerita tentang gurun sahara kepadaku
Kering kerontang dengan setetes oase fatamorgana penghias imajinasi
Hidup di tengara, kumpulan setengah manusia saling menghujam
Pedang, panah, tombak menyisihkan anyir darah menyengat hidung
Selalu, bantai membantai
Mengidam aufklarung yang tak kunjung datang
Mereka bercerita, percayakah kau?
Semua ingin hidup kekal menguasai gurun gersang
Berabad-abad hidup, di dunia yang ku tak mau hidup di dalamnya
Sungguh!
Tak ditemukan tetesan surga, kata mereka
Ntah kenapa, utusan pencipta itu setia hidup di sana denga risalah yang diemban
Taukah kau?
Mereka bercerita, utusan itu menderakan hujan dalam kalbu mereka
Tetesan ruhani, menyuburkan gurun
Setelah berabad-abad
Gersang gurun, berubah rimbun dengan desiran angin sepoi
Dalam kalbu, dalam imaji
Ya Rasul!
Mereka bercerita, itu adalah engkau yang berjuang menanam benih hutan kedamaian
Ya Rasul!
Mereka bercerita, pernah menangis dalam dekapan-mu
Ya Rasul!
Mereka bercerita, surga ada dalam pelukan-mu
Ya Rasul!
Taukah Engkau?
Ku ingin pula menangis dalam dekapan-mu
Sibakkan tirai-mu, dekap tubuh jiwaku

Jombang, 04 Februari 2012
Dalam Rangka Maulid Nabi SAW

MEMET HARIYANTO DAN RANDU GEMBUNG

Di Mojokerto, jalur menuju wisata Pacet dari arah Brangkal atau Pacing pasti akan melewati Kecamatan Dlanggu, area agraris khas pebukitan yang penuh dengan tumbuhan, tanaman, dan semacamnya dengan segala kesegarannya plus warung kopi khas arsitektur desa dengan anyaman bambu, bagus buat melepas suntuk dan merefresh pikiran yang lagi penat.

Nah, dari sekian desa yang ada di kecamatan Dlanggu ada yang namanya desa, atau lebih tepatnya dusun Randu Gembung, yang masih bisa dikatakan daerah agraris yang terletak ditengah sawah, hampir mirip dengan geografis Pondok Pacul Gowang. Hanya saja, lebih daerah itu lebih luas sedikit dan lebih segar, karena memang terletak di pebukitan atau kaki gunung pacet.

Selaras dengan daerahnya, penduduk yang menetap di sana bisa dikatakan bersifat lambat dalam semangat perubahan, apalagi dalam pendalaman keilmuan. Lebih senang dengan ketenangan, adem ayem. Bagaimana tidak, kalau hanya tinggal tanam bisa memenuhi kebutuhan perut, masalah yang lain tidak terlalu menggoda. Yang menarik adalah kumpul ngrumpi khas penduduk desa, sebagian di rumah tetangga, ada sebagian di warung kopi, sebagian lagi di gladak (tempat yang di bangun dari anyaman bambu untuk nongkrong, layaknya tempat ronda), sebagian yang lain sesuai dengan yang mereka senangi, bahkan buk (jembatan sungai) juga bisa di pakai nongkrong. Yang terakhir ini yang paling diminati para pemuda. Pagi, sore, dan malem hampir selalu ramai dengan kedamaian dan ngrumpi. Adem ayem.

Sebuah kebanggaan, khususnya bagi saya, mempunyai teman yang bisa keluar dari besutan kesantaian menuju pergerakan makna hidup, namanya Memet Harianto, seorang yang mungkin sudah banyak yang kenal, mahasiswa ma’had aly yang mengambil sambilan kerja di rental pengetikan fifa dekat gerbang samping Pondok Tebuireng, jalur ke makam sementara. Di sini akan saya putar ulang sedikit track record kehidupannya.

Setahu saya selama mengenal desa Randu Gembung tentang para pemuda generasi selanjutnya mayoritas berhenti sekolah, atau sudah wegah untuk menyambung pendidikan lebih lanjut. Bisa dikata, 99,99% maksimal berhenti pada jenjang SMA sederajat, itu pun terkesan hanya sekedar mengikuti formalitas yang ada bahwa untuk umur segitu setidaknya bersekolah dan belum pada penikmatan mencari atau mengetahui orientasi ilmu sendiri. bahkan, tidak sedikit setelah SMP sudah emoh untuk melanjut studi. Mereka lebih tertarik pada pergulatan kerja, baik membantu orang tua bertani, membuat sepatu, atau kerja di luar daerah.

Memet adalah salah satu generasi yang bisa mendobrak itu, yang selalu dibanggakan dalam setiap pelepasan wisuda MI Nurul Huda di desanya, sebagai contoh teladan kebanggaan para guru dan motivasi belajar bagi para wisudawan/ti. Seorang yang bisa mewakili daerah Randu Gembung melawan sekian banyak pelajar Dlanggu dan menjadi utusan daerah Dlanggu untuk melanjut studi di Mts-MA al-Amin dengan beasiswa penuh. Salah satu sekolah swasta favorit di Mojokerto dirian ulama NU dan cendekiawan Mojokerto yang menggunakan sistem perpaduan salaf dan modern serta pernah tenar pada zamannya.

Karir keilmuan tidak berhenti di persaingan pelajar Dlanggu, di al-Amin yang notabenenya kumpulan dari pelajar pilihan lewat Lomba Tahunan yang diadakan Mojokerto, per-kelas hanya dihuni tidak lebih dari 25, kalau kelas saya dulu jumlahnya 15 siswa, yang merupakan cerminan dari perwakilan kecamatan yang ada di Mojokerto. Itu, Memet bisa mendapat peringkat 5 dan pernah mendapat peringkat 4. Karir yang menakjubkan jika dilihat dari lingkungan dia hidup dan berkembang.
Itu, terobosan awal, sekarang dia mengambil kuliah adalah terobosan lanjutan. Pernah iseng saya hitung dari teman-teman se-desa yang ia kenalkan, hanya 2-3 orang yang melanjutkan kuliah, termasuk Memet. Itupun, kapasistas keseriusannya dalam belajar masih jauh dibawah Memet dan mereka dari keluarga yang berekonomi mampu.

Berbeda dengan Memet, awal dia mengajukan kuliah saja sudah dilarang keluarga, tidak ada keluarga yang mendukung dia kuliah awalnya, karena memang tidak ada finance untuk membayar bulanan lembaga. Seandainya dulu di al-Amin dia juga dipungut biaya, mungkin sudah putus belajar.

Akhirnya, sekarang orang tua merestui juga melanjut kuliah sebab tidak hanya dapat beasiswa dari kampus Ma’had aly (terima kasih kami haturkan pada KH. Salahuddin Wahid), tapi dia juga bisa mendapat penghasilan dari rental pengetikan dimana ia kerja sekarang, bahkan, untuk mengridit sepeda motor dan membantu renovasi rumah dan terkadang pesangon untuk orang tua tatkala pulang ke rumah. Prestisius bukan dengan latar belakang yang seperti itu?

Tidak jarang mendapat undangan mengisi acara ritual agamis, semacam ceramah desa, khotbah jum’at, bilal, imam tahlil, imam shalat ramadhan dengan sedikit tausyiyah, dst. Yang lebih membikin saya melongo ketika ia menjadi moderator pelepasan wisuda sekolah di desa, disampaikannya dengan bahasa arab dengan penerjemah dari salah satu wisudawati bahasa inggris dan wisudawan dengan bahasa indonesia yang naskah adalah buatannya.

Sempat terkesima juga manakala menemani dia pulang, salam sambut dari berbagai arah selalu terlontarkan, kayak artis menerima fans.

Nah, sekarang, dia sudah mempunyai jodoh yang dipilih untuk melantunkan kehidupan lebih dewasa, berkeluarga. Insya Allah, tahun depan dia akan menikah dengan gadis Jombang. Mohon doa restu teman-teman agar keluarga yang ia bina selanjutnya bisa menjadi atap dan pondasi bagi penduduk sekitar!

DAN PEREMPUAN PUN BERHAK MEMILIH


Ada tulisan menarik tentang pacaran yang diflourkan oleh Fauz Noor dalam novel legendarisnya “Tapak Sabda” yang membahas tetang filsafat isalam yang disampaikan dalam bentuk karya fiksi, lumayan menarik untuk dikonsumsi.
Dia berusaha menarik akar kata “khithbah” yang pada umumnya berarti “lamaran/melamar” pada penalaran epistemic. Dari segi bahasa, kata “khithbah” berakar dari kata “khothoba” atau “kho’, tho’, dan ba’” yang mempunyai arti “berbicara, berdialog, atau interaksi”. Nah, dari sini, ditarik pada pengertian bahwa proses berbicara, berdialog, berinteraksi dan saling mengenal lebih jauh antar  lawan jenis pada zaman ini adalah berbentuk pacaran.
Ada pergeseran makna yang semakin elastis pada kata “khithbah” dari yang pada mulanya berbentuk semacam formalistic menuju arena lebih lanjut (pernikahan) menuju makna pacaran yang sebenarnya pada ranah tertentu juga mempunyai tujuan untuk hubungan lebih lanjut/rumah tangga. Hanya saja, prosesnya agak berbeda, kalau dulu terkesan formal, tapi dengan makna ini terkesan fleksibel.
Kalaupun ada pendapat lain tentang ketidaksetujuan pacaran, itu terserah. Yang jelas, kalau memang sepakat dengan tarik ulur pengertian diatas maka secara tidak langsung kita sepakati bahwa pacaran memang sudah dibahas dari sejak awal munculnya Islam. Hanya saja ada perbedaan bentuk jika diaplikasikan pada zaman sekarang mengingat penafsiran makna “Khithbah: lamaran”.
Yang lebih menarik, proses khithbah tidak lah monoton seperti pemahaman awal kita bahwa perempuan cenderung “terpaksa/bisa dipaksa” dalam melaksanakan pernikahan. Dalam proses khithbah (baca: pacaran), perempuan berhak untuk memilih pasangan yang sholih atau cakap dalam tataran tertentu.
Ada kasus menarik tentang hal diatas pada zaman Nabi SAW yang dialami oleh Fathimah binti Qais ra. Ketika beliau dilamar oleh Aba Jahm bin Hudzaifah dan Mu’amiwiyah, dia minta pendapat tentang keduanya pada Nabi Saw agar mendapat pencerahan. Analoginya dengan zaman kita adalah ketika si perempuan ada yang menaksir/menembak dari beberapa macam cowok yang ada, maka diperbolehkan curhat pada yang lebih alim tentang pemuda yang memacarinya. Dan cewek boleh memilih mana yang terbaik bagi dia.
Persaingan antar lelaki dalam merebutkan perempuan adalah sebuah kewajaran, dan pillihan perempuan adalah sebuah ketentuannya yang mengetuk. Itu sudah menjadi sebuah kebolehan. Maka tak ayal dan setidaknya tidak perlu diolok-olok jika ada seseorang yang lagi mencari pasangan hidup, karena memang begitulah prosesnya.
Kembali ke kisah, bahwa Nabi Saw pun memberikan pendapatnya tersendiri pada Fathimah dengan ungkapannya bahwa si Aba Jahm adalah orang yang pemarah dan si Mu’awiyah adalah orang yang kurang mampu. Lantas Nabi menganjurkan Fathimah untuk memilih Usamah yang sebelumnya tidak menembak/melamarnya.
Nah, dari sini, sebagai temanpun ketika mendengarkan curhat teman tentang lika-liku kisah kisah cinta diharapkan memberikan sebuah titik terang yang bisa membantu proses kedepan.
Proses percintaan seseorang boleh saja, wajar, dan pemutusan pacaran adalah resiko yang harus ditanggung, semua (lelaki dan perempuan) mempunyai hak untuk memilih pasangannya. Maka, silahkan pacaran, silahkan tanggung resiko, silahkan putuskan, dan satu yang perlu diingat, jangan putuskan hubungan kemanusiaan antar sesama, boleh putus sebagai pacar, tapi jangan putus hubungan untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Karena, itu adalah pantangan bagi kaum muslim seperti yang telah digariskan Nabi kita! Allahu A’lam.

Yayan, dalam rangka menghibur Hamam!

Minggu, 01 Januari 2012

BELAJAR “KELUAR DARI ENTITAS KATA” PADA MBAH KIAI IRFAN (7)

Sedikit cuplikan yang Mbah Kiai Irfan lontarkan adalah ungkapan kesombongan Nabi SAW ditinjau dari struktur kata manusia adalah “ana asyraful anbiya’ wal mursalin: saya orang yang paling mulia dari beberapa nabi dan rasul”. Ada lagi kata yang lebih rendah dari sisi kemanusiaan dilihat dari struktur kata: “ana al-faqir wa ukhibbul fuqara’ wa ana al-miskin, ukhibbul masakin: saya orang fakir dan suka pada fukoro’, saya orang miskin dan suka pada para masakin”. Terkadang mengunggulkan diri melampaui batas kemanusiaan (sombong) dan terkadang merendah melampaui batas kemanusiaan (hina). Keduanya secara syar’i tidak diperbolehkan oleh syari’ (Allah dan rasul-Nya), akan tetapi kenapa Nabi mengucapkan kedua hal tersebut? Disini lah letak essensial ketika manusia keluar dari hakikat kata. Hal serupa juga pernah dipaparkan oleh EMHA Ainun Najib atau yang akrab disapa dengan Cak Nun, di daerah kita (baca: jawa) terkenal istilah “jancok” untuk peluapan istilah kekesalan atau kata yang bermakna kotor/mengumpat. Akan tetapi ketika manusia melepas pada makna asal dan menggapai maksud, maka bisa menangkap hakikat ungkapan tanpa melihat struktur kata itu sendiri. “Jancok”, ketika dinadakan dengan akrab dan mesrah bersama teman yang sedang bergurau bersama maka essensi kata itu lenyap tanpa efek yang melekat, dan sebaliknya yang tergapai adalah kemesraan dan kehangatan suasana yang sedang ada. Berbeda dengan ketika diluapkan dengan emosi pada yang lain dengan nada emosi, maka hal itu bisa membawa efek negatif. Kecuali masih keduanya sudah berusaha keluar dari efek kata. Kesombongan dan kehinaan seseorang tidaklah bisa diukur dari kata yang dilontarkan seseorang, karena keduanya adalah fi’lul qalbi (pekerjaan hati) bukan pada luapan kata yang terlontarkan dari mulut si pengucap. Oleh karenanya, diri ini, yang mengetahui kesombongan bukanlah orang lain, atau sebaliknya, kita tidaklah bisa mengukur kesombongan orang lain atau kerendahan mereka dari sebuah ungkapan kata atau tindakan. Karena yang tahu kesombongan dan kehinaan seseorang adalah hubungan mereka sendiri dengan Tuhannya.

Kamis, 15 Desember 2011

BELAJAR TEORI “BAINA” PADA MBAH KIAI IRFAN (6)

Ada sebuah riwayat yang menjelaskan salah satu manfaat ayat kursi sebagai pengusir setan dari abu hurairah ketika ditugasi oleh rasul untuk menjaga gudang gandum milik umat. Pertemuan pertama, ia didatangi orang tua menyamar tidak mampu dan minta sumbangan gandum ke Abu Hurairah, akhirnya dikasih sama beliau. Pagi harinya Abu Hurairah lapor ke Rasul, dan Rasul menjawab, ntar malam dia akan datang kembali.
Benar apa yang dikatakan oleh rasul, malam harinya dia datang lagi. Dan mengeluh seperti halnya hari pertama, akhirnya dikasih lagi oleh Abu Hurairah. Besok paginya beliau lapor kembali ke Rasul, dan dijawab seperti hari pertama. Alhasil, Abu Hurairah bertanya, sebenarnya yang datang itu siapa? Rasul menjawab, dia adalah setan. Baru, Abu Hurairah berkomitmen untuk menangkapnya.

Hari ketiga datang lagi dan ditangkap oleh Abu Hurairah seperti komitmen awal. Abu Hurairah bilang, saya akan menyerahkanmu kepada Rasul. Si setan merintih supaya tidak dilaporkan atau diserahkan ke Rasul dengan bujukannya, yakni mengajarkan sebuah ayat yang ditakuti oleh kalangan mereka, ayat kursih. Deal-dealan tersebut disepakati oleh beliau.

Contoh kedua, takmir masjid mengunci atau menggembok masjid juga belajar dari pencuri, karena sebuah pengalaman yang terus menerus akan seringnya kehilangan barang masjid. Maka si takmir belajar dari situ untuk akhirnya berperilaku untuk mengunci dan menggombok masjid.

Dari sini, pada hakikatnya, bukan masalah pelaku yang harus kita benci, karena mereka pada eksistensinya memberikan sebuah pengetahuan atau ilmu pada kita. Memberikan tafsir tersendiri pada al-qur’an (baca: wacana/realita) yang sangat bermanfaat untuk bertindak dalam menjalani kehidupan.

Makhluk Allah semua perlu kita rangkul, sayangi, dan kasihi. Karena mereka lah yang memberikan sebuah realita tentang kebaikan dan keburukan sehingga bagaimana kita bisa berbuat lebih bijak di dunia ini.

Sebuah kesalahan ketika kita menyekat-nyekat antara orang baik dan buruk untuk menjadikan tamu kita. Dan semua masih mempunyai kemungkinan untuk berubah-ubah sebelum ajal menjemput. Oleh karenanya, orang bijak akan menggauli semua makhluk tuhan dengan sikap toleransi, kasih sayang, dst. Masalah benar dan salah, itu masalah dirinya dengan Tuhannya, sedangkan masalah manusia adalah sebagai makhluk yang membumikan sikap rahmatan lil alamin.

Kesimpulannya, kita masih dalam ranah “baina”, diantara akan menjadi baik dan buruk. Tidak layaknya menyekat-nyekat makhluk ciptaan Allah dengan klaim baik dan buruk karena yang tahu hanya sang ilahi. Semua berpretensi pada dua kenyataan tersebut dan dalam perjalanannya semua menjadi pelajaran dan ilmu bagi pedoman untuk melangkah di dunia dengan bijak. Masih dan terus dalam ranah “baina”, dan

semua perlu dikasihi tanpa perlu ada sekat. Insya Allah!

BELAJAR DZIKIR PADA MBAH KIAI IRFAN (5)

Seorang salik dalam melakukan dzikir di sebuah thariqah tertentu khususnya, atau mereka yang berusaha melakukan dzikir dengan caranya sendiri yang “sok” khusu’ pada umumnya. Itu meletakkan atau lebih tepatnya memfokuskan konsentrasi dzikirnya melalui lathifah-lathifah sirrinya. Ada lathifah qolbi, lathifah sirri, lathifah khofi, akhfa, dst. Jadi berusaha menghidupkan lathifah-lathifah yang ada untuk berdzikir bersama mengingat Allah.

Hal itu tidak sepenuhnya benar, dan tidak pula salah. Dalam maqam drajat tertentu ketika sudah mendekati puncak, maka tidak diperlukan sebuah proposisi tersebut. Ibaratnya orang belajar berjalan, awal kali ketika belajar, maka masih ada proposisian kapan, bagaimana, atau kemana berjalan masih ada penempatan dalam hati ketika mulai berjalan, minimal ada semacam “niatan” berjalan.

Berbeda halnya ketika sudah lanyah berjalan, tanpa ada hal semacam itu. Langsung berjalan dan merasakan bahwa ia berjalan tanpa harus memosisikan kaki dan lain sebagainya terlebih dahulu baru kemudian berjalan. Langsung jalan,.

Atau diibaratkan orang belajar naik sepeda motor, awal kali mengendarai maka masih ada dalam angan-angan untuk akan memasukkan gigi berapa, masih ada angang-angan pengaturan gas sepeda, atau mengurangi gas, dst. Berbeda ketika sudah lanyah naik sepeda, maka hal semacam itu sudah tidak diperlukan lagi, tinggal naik dan mengendarai sepeda motor dan pasti merasakan rasa naik sepeda motor.

Analogi proposisi dalam thoriqah juga sama dengan demikian, kalau sudah lanyah dalam berdzikir, maka tidak diperlukan hal semacam itu, tinggal dzikir dan merasakan dzikir tersebut. Karena proposisi tempat dzikir tersebut hanya menambah beban atau mengganggu kenikmatan rasa dalam kemesraan berdzikir itu sendiri.

BELAJAR “THARIQAH” PADA MBAH KIAI IRFAN (4)

Dalam banyak kitab tasawuf sering diterangkan tentang trinitas syariah, thariqah dan haqiqah termasuk dalam kitab al-atqiya’ yang pernah penulis baca. Diibaratkan antara syariah adalah perahu, thariqah adalah perjalanan laut, dan haqiqah adalah intan dalam laut. Jadi untuk menempuh haqiqah butuh perjalanan via thariqah dengan kendaraan perahu syariah.

Ada sedikit pemahaman yang sebenarnya mempunyai inti penjalasan yang sama, tapi dalam rangkaian penjelasan lebih mengena adalah dari Mbah Kiai Irfan selaku pelaku yang bisa dikatakan telah menempuh seluruh dan menggapai kebenaran setelah mencari “al-haq” dalam perjalanan pribadinya.

Disini beliau mengibaratkan “thariqah” adalah jalan. Memaknai dengan asal lafadznya, dan mempertanyakan kalau thariqah adalah sebuah jalan, maka siapa yang berjalan (salik)? Beliau memberi penjelasan bahwa yang berjalan adalah syariah dan haqiqah secara bebarengan.

Syariah diibaratkan jism atau badan dhahir, apabila yang berjalan dalam thariqah hanya syari’at belaka, maka akan menimbulkan perjalanan hampa dan cenderung distruktif, karena tidak adanya ruh halus “latifah” yang mengisi dan menggerakkan.
Dan apabila yang berjalan adalah haqiqah, maka juga akan dipandang gila, bagaimana isi berjalan tanpa sebuah badan atau bungkus? Orang berjalan keluar dengan telanjang tanpa mengenakan busana bungkus, akan dipandang gila. Pakaian berjalan tanpa ada yang mengenakan isi juga akan pada lari yang melihat.

Jadi, antara syariah dan haqiqah harus bebarengan dalam melakukan perjalan panjang di jalur thariqah. Dan pos-pos sebagai singgah yang ada dalam perjalanan juga banyak, diantaranya adalah pos “ma’rifat” dalam pos ma’rifat juga banyak kamar yang akan dijelaskan beliau dalam pertemuan mendatang.

BELAJAR SIFAT ALLAH PADA MBAH KIAI IRFAN (3)

Dari apa yang sudah kita pelajari selama ini dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah ala asy’ariyah, ada dari sub babnya yang menerangkan 20 sifat wajib dan 20 sifat kebalikannya serta satu sifat mungkin.

Yang jadi ajaran Mbah Kiai Irfan cuman pertanyaan simple dari dua sifat wajib Allah, yakni sifat wujud dan sifat kalam Allah. Mana yang lebih dahulu antara “ada” atau “kalam/ucapan”? kalau misalnya kita menjawab sifat “ada” yang ada terlebih dahulu, maka bagaimana Dia menceritakan tentang ke-“ada”-annya tanpa “kalam” yang harus dulu ada, bagaimana mungkin bicara “ada” kalau “kalam” belum ada?
Kalau dijawab “kalam”, maka juga menjadi ricuh, bagaimana berkalam kalau belum “ada”? oleh karenanya runtutan dalam ajaran asy’ariyah itu bukanlah bersifat normatif yang harus runtut begitu susunannya (wujud, qidam, baqo’, dst).

Ketika mengalami kebungkaman dalam menjawab soal yang dilontarkan mbah kiai, beliu menjelaskan bahwa jawaban itu ada di sifat “al-awwalu wal akhiru”, Dia yang maha dahulu dan terakhir. Maksudnya, eksistensi entitas “Allah” itu adalah awal, tanpa ada yang lebih dahulu dan tanpa ada akhirnya.

BELAJAR FI’IL MUDLORI’ PADA MBAH KIAI IRFAN (1)

Secara garis besar fi’il yang kita ketahui dibagi menjadi tiga: pertama, fi’il madli; kedua fi’il mudlori’; dan ketiga fi’il amr. Yang pertama bermakna masa lampau “madli”, jelas. Disini singkronisasi dengan tasawuf cuman dua, yakni kebaikan dan keburukan. Dua itulah dari masa lampau itu, dan tidak lebih atau keluar dari itu.

Yang ketiga juga jelas, bermakna perintah “amr”. Ini juga tidak keluar dari dua area yakni perintah untuk melaksanakan dan perintah untuk meninggalkan suatu perkara. Baru yang ketiga, ini jarang diartikan oleh kalangan ketiga, melainkan langsung dibagi menjadi dua; “khal” sekarang dan “mustaqbal” yang akan datang.

Disini Mbah Irfan menyadarkan akan makna “mudlori’” pada penulis, yakni bermakna “samar-samar/remang-remang”. Jadi, mudlori’ itu status yang kita hadapi tidaklah jelas, remang-remang, yang terkadang salah dan terkadang benar dan belum tentu yang kita lakukan sekarang adalah benar menurut kita atau salah menurut kita, hanya allah yang tahu.

Sebuah kesalahan ketika merasa sudah menilai benar untuk diri pribadi dan orang lain di sisi yang salah ketika suatu hal. Dan begitu juga sebaliknya.

Dalam sebuah perjalanan “mudlori’” yang remang-remang perintah “tadlorru’” yang seakar dengan mudlori’ lah yang perlu kita pegang. Itu bermakna “ndepe-ndepe/andap asor”, jadi harus rendah diri pada keremang-remangan perjalanan pada allah semata. Tidak bisa memakai pegangan yang lain.

Tidak ada yang bisa kita katakan jelas pada mudlori’, karena semua hanya pada satu lafadz yang ada dalam al-qur’an, yakni “la’allakum” masih bermakna semoga. Jadi untuk semua hambah allah hanya ada satu lafadz, entah semoga dirahmati, semoga diberi petunjuk, semoga termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa, atau semoga-semoga yang lain.

Semoga, dalam ketidakjelasan perjalanan ini, kita termasuk dalam tuntunannya. Amin!

Selasa, 27 September 2011

LANDASAN BERPIKIR ‘ALA IBN ATHO’ILLAH ASSAKANDARI DAN ROKOK: REFLEKSI TULISAN MUJIB QODAR DI DINDING PENULIS

Sebuah konsep landasan berpikir yang indah ditawarkan oleh Ibn Atho’illah dalam karya magnumopusnya “Syarhul Hikam” juz 2. Disana beliau menggambarkan tentang nalar atau otak yang diibaratkan sebagai alat tumpangan hati dan nafsu sebagai pengemudi.

Nalar atau pikiran hanyalah sebuah alat untuk merasionalisasi atau berpikir tentang realita atau rumusan tentang keidealan. Pada dasarnya, pengemudinya adalah hati dan nafsu. Karena objek kajiannya adalah tasawuf, maka rumusan (konsepan) ini diaktualisasikan pada ranah sufistik (semitik).

Beliau mencontohkan tentang sholat dalam karyanya, bahwasanya sholat dalam kajian ilmu fiqh mempunyai temporer waktu sesuai yang telah ditentukan. Asal tidak keluar dari waktu itu maka masih dianggap sah sholat seseorang.

Nah, disinilah perang antara hati dan nafsu dalam mengendalikan akal/pikiran. Karena konsep fiqh bersifat dhonni, jadi berbagai alas an bisa dipaksakan untuk membenarkan perbuatan yang belum bisa dikatakan bagus. Contoh ketika asik ngobrol bersama teman dan adzan dikumandankan. Maka sepontan, kebiasaan yang sering terjadi adalah melanjutkan ngobrol, karena sholat masih ada tenggang waktu belum masuk akhir waktu “al-faut”.

Landasan berpikir disini karena nafsu memegang kendali pemikiran seseorang itu. Dengan dalih banyak yang diungkapkan dari konsep figh. Karena memang dalam ranah debatable.

Padahal, antara dikerjakan awal waktu dan ditunda, tempo kita mengerjakan sholat tidaklah lebih dari setengah jam baik berjamaah maupun sendiri. Jika, ditanyakan lebih jauh kedasar hati, maka pastilah akan mendukung yang awal waktu. Apalagi berjamaah.

Ketika yang menang adalah hati, maka nalar akan lebih bagus nilai dan manfaatnya pada sekitar dari pada ketika nafsu yang menang dalam landasan berpikir.

Intinya, nalar adalah alat berpikir yang pengendalinya adalah hati atau nafsu. Oleh karenanya, sebelum mengambil keputusan, lebih baik Tanya pada dasar hatimu “istafti qolbak”, ungkapan singkat nabi pada sahabat.

***

Dari konsep Ibn Atho’illah diatas penulis mencoba mengembangkan dalam konteks rokok sebagai refleksi tulisan dinding Mujib Qodar bahwasanya, para perokok, atau kebanyakan teman penulis yang merokok dalam keadaan tertentu, mereka berusaha untuk berhenti Karena memang dirasa kurang baik dalam merokok “dalam keadaan tertentu”.

Bahkan pernah beberapa teman penulis membuat kesepakatan untuk berhenti merekok dengan hukuman denda 50.000 jika terlihat melanggar atau paling ringan Dji Sam Su 1-3 bungkus. Akan tetapi tetap gagal.

Disini sebenarnya alas an para perokok bisa penulis katakan berlandasan dari nafsu dan nalar sebagai alat penguat dengan berbagai dalih yang ada. Karena bagaimanapun hati kalau didustai terus menerus maka akan timbul sebuah renungan dalam keadaan tertentu yang membuat si pelaku menyesal.

Bukan berarti semua perokok berlandasan dari nafsu yang dikuatkan pikiran, tapi dari beberapa realita yang dialami penulis atau beberapa teman penulis masih berlandasan pada nafsu.

Nah, penulis mengurangi rokok bukan berarti karena tidak ada rokok, Karena merokok tidak selalu butuh uang, tapi wadah pertemanan atau silaturrahim juga memungkinkan untuk merokok. Akan tetapi ada pertarungan antara hati dan nafsu dalam mengendarai akal nalar penulis. Setidaknya sampai hari ini, entah kemudian bagaimana! hehehehehe

Minggu, 18 September 2011

Waktunya Kembali ke Pondok!

Ada banyak hal sebenarnya dalam menyikapi keberadaan mahasiswa ma’had aly putra harus menetap di gedung UKP untuk dipertimbangkan. Yang pertama adalah orientasi dasar terbangunnya ma’had aly sebagai penggerak keagamaan baik dalam lingkup Pondok Tebuireng maupun kelak ketika hidup di masyarakat. Ketika mahasiswa bercecer tidak dalam satu pagar (kost, kontrak, atau pulang tidak menetap di pondok/asrama), maka untuk mengembangkan kajian menambah wacana keagamaan akan mengalami kendala yang berat, terutama dalam bidang koordinasi.

Yang kedua adalah tempat singgah dalam pondok. Harusnya jadi kewajaran, kontrak awal mahasiswa masuk ma’had aly adalah mendapat fasilitas tempat tidur (asrama). Sehingga ketika asrama di robohkan untuk diadakan pembangunan pondok yang lebih efisien dan progresif, mahasiswa ma’had aly putra mendapat ruang tinggal sementara sambil menunggu bangunan baru (bascamp: tempat pengungsian). Dan ini sudah ditentukan yakni masjid lantai 2 (atas).

Akan tetapi permasalahannya adalah berbenturan system dan fasilitas Mu’allimin yang dimana masjid lantai 2 itu adalah kelas tempat mereka belajar. Sehingga mu’allimin mengalami problema dalam belajar mengajar.

Di lain sisi, masjid tebuireng ini sudah berhukum masjid secara keseluruhan. Karena posisi tangga untuk menuju lantai 2 berada dibelakang, sehingga ketika tidak dihukum masjid, maka sholat musholli tidak sah. Oleh karenanya, baik lantai bawah maupun atas semua berlaku hokum masjid. Jadi tidak seyogyanya dibuat kamar tidur.

Yang ketiga, adalah gedung UKP. Ini alternative terakhir yang lebih memungkinkan. Akan tetapi juga mengalami kendala di tataran civitas ma’had aly yang notabenenya juga masih santri KH. Ishaq Latif tempat belajar. Doktrin salafi masih sangat melekat pada santri disini. Kalau dulu santri tidak berani menduduki tempat duduk guru/kiai, apalagi yang sekarang. Tempat mengajar sang kiai dijadikan kamar tidur santri. Jadi wajar kalau kebanyakan mahasiswa masih banyak berontak untuk ditempatkan digedung ini karena doktrin ini sudah melekat dalam diri santri sejak lama.

Perlu jadi perhatian sebenarnya, bahwa sebagai alternative, pengajian KH. Ishaq Latif tidak diberhentikan oleh pengasuh pondok atau pengurus-pengurus dengan banyak alas an “politik”. Akan tetapi sudah diberikan kelonggaran tempat yang boleh dipilih oleh KH. Ishaq Latif dimanapun dalam lingkup pondok yang beliu inginkan. Dan itupun hanya sementara waktu sambil menunggu pembangunan gedung baru selesai.

Yang keempat, tandatangan seluruh mahasiswa yang sekarang dipegang pengurus BEM. Kebanyakan (mayoritas mahasiswa) tidak mengharapkan bertempat di gedung UKP. Entah alas annya apa, yang jelas mereka pasti punya alas an dalam mengambil keputusan. Karena penulis yakin notabene mahasiswa Ma’had aly tidak hanya ikut arus angina.

Yang kelima, statemen yang diluncurkan oleh imam, anak buah KH. Ishaq Latif tentang pengambilan kebijakan mahasiswa ma’had aly tidak akan menempat di gedung UKP diacungi jempol dan diakui “cerdas” oleh KH. Ishaq Latif. Itu yang disampaikan imam pada teman-teman ma’had aly.

Yang keenam, keputusan mantab yang diluncurkan oleh Rektor Ma’had Aly Prof. Dr. Jamaluddin Mirri Lc. Santri itu harus ta’at pada kiai (pengasuh). Dan diberi waktu 2x24 jam bagi yang bertempat tinggal diluar pondok harus kembali kepondok tanpa pengecualian. Kalau tidak, maka akan dikeluarkan.

Dari banyak masukan yang penulis sebutkan diatas, banyak lagi dari kawan-kawan yang belum tertera. Akan tetapi, bagaimanapun kritis dan cerdasnya seorang anak, tidak seyognyanya buat melawan nalar dan kebijakan orang tua selagi tidak menyalahi aturan dan ketetapan ilahiyah.

Di kampus ini, rector dan pengasuh adalah orang tua kita yang bersedia menanggung minimal mendampingi resiko anak didiknya. Insya Allah!

Minggu, 14 Agustus 2011

KACA MATA TEMBUS PANDANG

Persaingan antara agama dengan sains memang berkelik sejak dulu. Katakan misalnya para ulama salafi dulu menggunakan dunia metafisika lewat wahana ajaran sufistik untuk berkomunikasi dengan sesama hamba Allah swt yang berada di daerah jauh yang tentunya dengan izin-Nya. Ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, hanya mereka yang mempunyai kedekatan khusus pada Rabbnya bisa menggunakan fasilitas ini.

Akan tetapi seiring perkembangan zaman, sains modern menciptakan telephon atau sekarang berubah menjadi lebih fleksibel (hand phone) yang dengan alat ini, semua orang bisa berkomunikasi dengan sesamanya walaupun jarak mereka relatif jauh. Ada juga yang menggunakan via internet dan semacamnya, semua produk sains yang menjawab kebutuhan manusia.

Kalau ulama (kiai) dulu bisa meramalkan bentuk tubuh manusia dibalik kain atau sesuatu yang masih terhalang dengan perhitungan falak seperti kata Makmuri Abdus Somad, Dosen Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) yang juga pernah membuktikannya. Maka sekarang (sudah sejak tahun 2005) sains modern menciptakan “kaca mata tembus pandang”.

Dvance Technologie Centre, sebuah laboratorium riset dari perusahaan BAE system di Inggris telah mengembangkan kacamata tembus pandang yang memanfaatkan teknologi spektrum kecil gelombang radio, yaitu gelombang Terahertz.

Ada juga yang menggunakan sensor infra merah atau transfer PCB sehingga didapatkan gambar yang jelas. Dengan adanya inframerah atau gelombang tetrahertz tersebut mata kita dapat melihat sesuatu yang disembunyikan dibaliknya. Selain itu, teknologi kacamata tembus pandang ini dapat melihat objek yang berada di kegelapan, kabut dan objek berada di balik jilatan api.

Meskipun menggunakan gelombang radio, tetap tidak mempunyai efek samping bagi mata penggunanya. Gelombang terahertz berada pada frekuensi antara gelombang mikro radar dan gelombang inframerah. Berada pada frekuensi 1 juta megahertz, tidak terlihat dan tidak mengganggu mata. Daya jangkau tembusnya lebih besar dari sinar X, membuat gelombang terahertz mampu mendeteksi benda pada jarak jauh yang disembunyikan di balik sesuatu.

Kacamata tembus pandang sebenarnya diciptakan untuk tentara militer sebagai alat deteksi senjata api, bahan peledak, senjata rahasia bahkan bahan kimia berbahaya, meski tersembunyi.

Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk bidang kedokteran seperti mendeteksi kanker kulit, kerusakan gigi, dan juga mengendus peradangan narkotika. Selanjutnya teknologi terahertz ini bisa juga diaplikasikan di bidang astronomi untuk meneliti kandungan kimia di Nebula dan Atmosfir planet.

Kaca mata tembus pandang ini (Spy Glasses Transparant) hanya bisa didapat dengan cara impor, salah satunya dari Melbourne Australia. Belum dijual bebas di Indonesia.

Sisi Negatif Kaca Mata Tembus Pandang (Spy Glasses Transparant)
Awalnya memang digunakan militer (peperangan) dalam mendeteksi keberadaan musuh yang bersembunyi dibalik dinding, gudang senjata, atau bom, dst, akan tetapi sudah menjadi karkater dasar manusia yang cenderung suka pada sisi sex. Tergantung manusia itu sendiri yang bisa mengendalikannya atau tidak dalam hal kebajikan atau keburukan.

Banyak yang menyalahgunakan untuk melihat tubuh manusia secara telanjang tanpa busana, khususnya lawan jenis. Dengan kaca mata tembus pandang, tubuh seseorang yang berbalut pakaian terlihat telanjang bulat.

Naasnya, tidak hanya kaca mata tembus pandang, bahkan sudah tercipta dalam kamera yang bisa merekam kondisi yang ia lihat dengan bantuan sinar infra merah atau gelombang terahetz itu.

Nah, disinilah tantangan para ulama, cendikiawan muslim, atau yang dipandang mempunyai kedalaman ilmu agama untuk menjadi benteng pertahanan akhlak penduduk Indonesia sebelum alat ini masuk ke dalam negeri tercinta ini. Sehingga jika memang produk ini masuk ke negara kita bisa dimanfaatkan dengan tepat.

PONDOK PESANTREN BERBASIS SOSIOAPLIKATIF

Pondok pesantren memiliki sekian banyak keunikan yang misterius. Hingga sulit rasanya untuk dirumuskan dalam sebuah teori. Semuanya masih menyimpan segudang pertanyaan. Mengapa dari gubuk sangat sederhana itu bisa berhasil melahirkan tokoh-tokoh hebat sepanjang sejarah?

Sejarah sudah mencatat bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan yang sejak lama dikenal sebagai wahana pengembangan masyarakat (community development). Dengan orientasi tersebut, pondok pesantren telah mampu menunjukkan partisipasi aktifnya bersama pemerintah dalam mewujudkan program-program pembangunan, lebih-lebih dalam hal kehidupan beragama dan pencerdasan kehidupan bangsa.

Pada mulanya pendidikan pesantren dikelola tanpa standar teknis dan manajemen yang baik, akan tetapi dalam perkembangan terakhir banyak pondok pesantren yang sudah memanaj lebih sistematis sesuai perkembangan zaman. Masing-masing berbeda dan punya ke-khasan tersendiri.

Walaupun berbeda tapi tujuan pondok pesantren tetap sama yang tercermin dalam tiga pondasi dasar yaitu ilmu, amal dan ikhlas. Tiga pokok lainnya; iman, islam dan ikhsan, atau dalam bahasa lain; akidah, syari’ah dan akhlak.

Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan untuk mencetak generasi bangsa dan umat. Tujuannya membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berbudi luhur, penerus ulama di masa mendatang.

Tidak sedikit orang pintar tetapi kurang perhatian dengan akhlakul karimah. Inilah yang sungguh disayangkan. Padahal misi utama Nabi Muhammad saw diutus kemuka bumi ini adalah untuk merubah akhlak manusia dari zaman ”dekadensi moral” menuju ke peradaban umat yang beretika luhur dan berperadaban tinggi. Karena akhlak yang mulia adalah suatu hiasan termulia dan terpuji di hadapan Allah swt. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.: “Aku diutus ke muka bumi ini hanya untuk menyempurnakan akhlak.”

Nah, dari sekian banyak pondok pesantren yang ada, Isyhar Ngejen kecamatan Prambon kabupaten Nganjuk adalah salah satu lembaga pendidikan yang turut berpartisipasi dalam mencetak kader bangsa lebih unggul dalam akhlak, kreativitas, serta pemikiran yang siap tanding.

***

a. Sejarah Pondok Pesantren Isyhar Ngejen

Berdirinya pondok “Isyhar” diawali dari bermukimnya seorang tokoh ulama yang berasal dari bumi Pasundan, Mbah KH. Arif. Beliau dilahirkan di desa Jasingan Banten Jawa Barat sekitar tahun 1814 yang bertepatan dengan gencarnya keinginan kolonial Belanda dan Jepang untuk menguasai dan memonopoli hasil tanah rakyat Banten.

Mbah KH. Arif adalah sosok kharismatik yang hidup di kalangan keluarga sederhana dengan dua adik perempuan yang bernama Nyai ‘Aliyah dan Nyai ‘Alimah.

Pada waktu Mbah KH. Arif beranjak remaja pada tahun 1825, di daerah beliau terjadi operasi pemerintah kolonial yang menguras habis hasil pertanian penduduk setempat. Dalam peristiwa itu seluruh rakyat mendapatkan deraan dan siksaan menyakitkan, sehingga dengan terpaksa Mbah KH. Arif dan kedua adik beliau meninggalkan kampung halaman dan bertekad untuk memperdalam khazanah ilmu agama di pondok pesantren.

Setelah berhari-hari melalui perjalanan yang melelahkan sampailah beliau di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Setelah bertahun-tahun beliau menuntut ilmu (thalabul ilmi) di pesantren itu, beliau meneruskan mondok ke pasantren daerah Boyolali. Kemudian timbul niat (himmah) untuk menuntut ilmu di daerah Jawa Timur. Disertai dengan niat yang ikhlas dan tekad yang kuat sampailah beliau dengan kedua adiknya, Nyai ‘Aliyah dan Nyai ‘Alimah di dusun Banjar Melati Kediri. Di tempat ini beliau meminta petunjuk “ngudi kaweruh” kepada Almagfurllah KH. Anwar Wardoyo yang kemudian beliau dijadikan mantu olehnya. (dinikahkan dengan Nyai Muthmainnah, putri KH. Anwar Wardoyo).

Setelah menikah, oleh Almaghfurlah KH. Anwar Wardoyo, beliau diamanati mendirikan masjid dan pondok pesantren untuk berjuang memperluas syari’at islam.
Sebelum menetap di dusun Grompol Barat, Mbah KH. Arif beserta keluarga pernah tinggal di desa Kedung Bajul tapi tidak begitu lama. Kemudian beliau pindah di dusun Grompol Barat dan mendirikan pondok pesantren pada tahun 1289 H/1868 M.
Pada usia sekitar 70 tahun Mbah KH. Arif berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima di Makkah al-Mukarrammah. Di tanah suci itu pula beliau mendapat panggilan untuk kembali ke rahmatullah dan dimakamkan di sana, ghafarallah wa rahimallah lahu. Amin!

Selanjutnya, perjuangan syiar Islam melalui pondok pesantren diteruskan oleh putra beliau yang bernama Mbah Kiai Imam Mubari dan sepeninggal Mbah Imam, tongkat estafet pondok selanjutnya dipegang oleh adiknya yaitu Mbah Ahmad Sakab.
Karena Mbah Sakab bertempat jauh (tidak dilingkungan pondok) maka kepengasuhan pesantren diamanatkan kepada adik beliau yang bernama Mbah Abdus Syakur dan Mbah Abdul Wahab dengan dibantu oleh pengganti pengasuh (Mbah Ahmad Sakab). Seterusnya adalah KH. Masruhin Syakur beserta saudara-saudaranya, di antaranya adalah Abah Afandi Husnan dan Abah Kiai Syamsuddin Syakur.

Pada generasi ini, berbagai perkembangan dan kemajuan tampak terlihat jelas. Maka dari kesemuanya itu timbul niat (himmah) para masyayikh untuk memberikan nama pesantren ini yang bertujuan untuk mengenang tokoh pendiri pesantren.
Akhirnya ditemukan nama yang di dalamnya terkandung nama tokoh dan juga madzhab yang dianut. Yakni pondok pesantren Islamiyah Syafi’iyah Haji Arif (PP. ISYHAR).
Pondok pesantren ini sampai saat ini diasuh oleh Abah KH. Masruhin Syakur beserta saudara-saudara beliau dengan jumlah santri putra-putri kurang-lebih 700 orang, dengan sarana dan fasilitas yang cukup memadai.

b. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Isyhar Ngejen

1. Sistem bandongan.

Aktivitas santri setelah shubuh adalah ngaji dengan sistem bandongan yang dipimpin oleh Mbah Kiai langsung sampai jam 8 wis (waktu istiwa’).
Dilanjut setelah sholat dhuhur mengaji kitab yang sudah ditentukan Mbah Kiai sedangkan setelah maghrib mengaji Tafsir Jalalain di Masjid pondok.
Jam setengah 2 - setengah 5 Wis para santri menempuh sekolah di Madrasa Diniyah.
Pendidikan di sekolah ini menggunakan sistem bandongan juga, walaupun terkadang para ustadz menjalankan sistem sorogan untuk mengetahui kemampuan santri dalam kajian mereka akan tetapi ini dilaksanakan secara temporal dan eksidental.
Dalam kajian kitab secara bandongan dengan Mbah Kiai selalu diikuti oleh seluruh santri (dari berbagai kelas yang menginginkan ngaji) tanpa ada tekanan dari pengurus pondok pesantren yang bersifat wajib.

2. Sistem sorogan.

Sistem ini dilaksanakan setelah sholat isya’ jam 20.30 – 23.00 Wis di kelas masing-masing tingkatan santri.

Di sini para santri bergantian membaca kitab, sedangkan santri yang lain melengkapi makna kitab yang tertinggal. Pengurus pondok merangkap menjadi pengurus sekolah diniyah dan menetap di pondok pesatren, menjadi dosen pembimbing. Pengurus inilah yang membenarkan, mengoreksi bacaan para santri ketika mereka menemukan kendala dalam membaca kitab. Bahkan menjelaskan pada poin-poin yang belum dipahami oleh santri setelah mereka menemukan titik buntu. Oleh karenanya, pengurus secara tidak langsung mempunyai kapasitas dan kapabelitas yang tidak diragukan dalam hal keilmuan agama.

3. Ekstrakurikuler.

Sebuah kebijakan yang tepat dan bagus dari pengasuh pondok pesantren Isyhar Ngejen dengan mengambil mata pelajaran gramatikal arab (nahwu-sharaf) sebagai prioritas yang utama.

Terlihat dari prosentase mata pelajaran yang sudah menjadi kebiasaan para santri. Tanpa meninggalkan bidang kajian yang lain seperti tafsir, tasawuf, akidah, dll.
Setiap malam selasa ba’da maghrib para santri mempunyai kegiatan komplek. Tiap komplek berbeda-beda kebijakan dalam mengambil aktivitas. Ini juga menjadi kegiatan hari kamis malam jum’at, bedanya, disini seluruh komplek memperdalam ilmu gramatikal arabnya.

Ada kegiatan lain seperti latihan pidato, perawatan jenazah, malam diba’iyah, pembacaan manaqib syaikh abdul qodir al-jilani, dst.

Selain kegiatan belajar mengajar di pondok, para santri mempunyai aktivitas lain. Ada yang mengambil sekolah jalur formal (santri hanya mengikuti kajian tidak sampai usai bersama Mbah Kiai di pagi hari), ada juga yang membantu Mbah Kiai dipeternakan, berjualan (buka warung), menjaga internet, bekerja di sawah dengan masyarakat dll.

Sosial masyarakat para santri terbentuk secara tidak langsung dari aktivitas yang terakhir disebut. Hubungan santri dan masyarakat terbentuk dengan harmonis dan bagus. Bukti riilnya, santri sering ada undangan dalam hal keagamaan dari masyarakat, diminta pendapat dalam kepengurusan desa serta kegiatannya, dan yang lebih disukai adalah lebihan makanan setelah ada warga desa mengadakan hajatan diberikan pada santri di pondok pesantren.

Walaupun tanpa ada teoritikal tentang ilmu sosial, tapi santri sudah mengaplikasikan ilmu itu dengan cara berinteraksi dengan masyarakat secara langsung.

Aktualisasi 5 nilai-nilai Pesantren

Pendidikan sebagai sebuah proses penanaman nilai-nilai merupakan entry point penting untuk dapat mencetak manusia yang seutuhnya. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan memiliki ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada saat ini pesantren Tebuireng sedang mengembangkan pendidikan berbasis nilai-nilai pesantren yang
terinspirasi dari nilai-nilai dari Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari. 5 nilai-nilai pesantren itu adalah;
• Ikhlas; Berbuat hanya mengharap ridha Allah Swt.
• Jujur; Perilaku (perkataan dan perbuatan) yang selalu dapat dipercaya.
• Tasamuh; Lapang hati, peduli dan menghargai perbedaan.
• Kerja Keras; Sungguh-sungguh, tekun dan tidak mudah putus asa.
• Tanggung jawab; Berani berbuat dan berani menerima akibatnya.
Dari lima nilai-nilai pesantren di atas diharapkan mampu menjadi pedoman terhadap segala aktivitas pendidikan yang ada di lingkungan pesantren Tebuireng, sehingga visi “Pesantren Terkemuka Penghasil Insan Pemimpin Berakhlak” dapat terwujud dengan baik dan lebih cepat. Ijtihad mulia ini harus kita apresiasi dengan aksi yang nyata, tentu
dapat dimulai dari diri sendiri dan juga dimulai dari pimpinan dari unit-unit yang ada dalam pesantren Tebuireng.

Selasa, 14 Juni 2011

MBAH KIAI HANAN

Pondok Kwagean Pare Kediri ini masih bersistem salaf layaknya pondok Lirboyo, Pacul Gowang, Isyhar Ngejen, al-Irsyad Gedongsari, Manbaul Hikam Udanawu Blitar, dll.

Pondok salaf seperti ini yang selalu mempunyai kedamaian tersendiri dengan karakternya masing-masing. Termasuk karakteristik para santri yang masih cenderung urakan. Kalau di Gedongsari menyambut santri baru dengan teriakan serentak “Jajane Kang.., tidak ada jajan sandal gratisan…” maka pondok kwagean ketika melihat lawan jenis sedang berlalu lalang di sekitar pondok bersorak secara serentak “swit swit.. hu…”. Terdengar menggema sampai yang disambut jadi salah tingkah.

Santri pondok Mojosari Nganjuk yang diasuh Mbah Kiai Zainal Musthofa berbeda lagi dalam penyambutan santri baru. Ketika tamu datang, tas dan segala perabotan langsung disambut oleh santri, dibawakan dan dimasukkan ke kamar beserta calon santri tersebut. Setelah duduk, maka langsung disodori pertanyaan “rokoknya kang? Atau jajane kang?”, kalau tidak siap dengan itu maka lantas tas dan segala perabotan langsung diangkut lagi dibawa ke WC sambil berucap “tempat njenengan disini kang”.

Masing-masing santri pondok salaf ini punya karakter yang unik dan mengesankan. Berbeda jauh dengan para kiai pengasuhnya yang lebih cenderung lemah lembut. Sifat itu menurun ke santri ketika mereka dalam keadaan sendiri-sendiri bukan dalam keadaan berkumpul. Sopan santun, tindak tanduk mereka baru kelihatan titik samanya.
Senakal-nakalnya santri, tetap merunduk ketika Mbah Kiai sedang berjalan di depan mereka, tetap sopan dan diam ketika sowan di kediaman beliau karena memang Mbah Kiai mempunyai teladan akhlak yang mereka kagumi.

Pernah suatu ketika penulis dibuat salah tingkah oleh Mbah Kiai Hanan pengasuh pondok Kwagean. Tidak selayaknya Kiai pada umumnya yang cenderung bertingkah leluasa ketika menghadapi tamu atau santri yang sowan, Mbah Kiai Hanan ini lebih menjaga sikap, sangat tawadlu’, bertutur kata halus, sopan, lembut, menundudukkan pandangan, mempersilahkan hidangan dengan ibu jari layaknya santri sedang memberikan petunjuk pada yang lebih tua.

Sangat bertolak belakang dengan karakter penulis yang cenderung urakan, grusah-grusuh, tutur kata seadanya dan kebanyakan kasar. Akhirnya tidak bisa berbicara panjang lebar dan cenderung diam, hanya sedikit yang diutarakan, cukup pada kepentingan yang ada.

Setidaknya, semoga dengan sowannya penulis pada beliau bisa tertular sedikit semakin banyak semakin mendekati harapan) sifat-sifat luhur beliau selain kepentingan yang sudah beliau selesaikan. Amin!

***

KEUNIKAN UJIAN PESANTREN

Keunikan pesantren memang tidak kunjung habis walau dikupas satu demi satu karena setiap pesantren mempunyai keunikan sendiri-sendiri yang menjadi tipologi pesantren tersebut. Tapi ada beberapa hal yang antara pesantren satu dengan lainnya hampir mempunyai kesamaan.

Katakanlah dalam hal ujian, dulu waktu penulis menempuh pendidikan di Pondok Pesantren al-Amin Mojokerto sekitar tahun 2001-2007 banyak ustadz yang mempunyai pemikiran sama dalam mengawasi ujian santri.

Pernah suatu ketika ada teman yang kepergok menyontek dalam ujian, yang dikeluarkan dari kelas justru yang memberikan contekan, bukan penyontek. Kalau ketahuan bawa buku atau kertas contekan alamat tidak akan ada nilai. Kebenaran tindakan ustadz baru terpikir beberapa hari setelah kejadian.

Kalau yang memberikan contekan, secara tidak langsung adalah mereka yang sudah dianggap mampu dalam hal yang diujikan oleh mereka yang mencontek. Ada pandangan nilai plus dalam diri penyumbang contekan dari penyontek sehingga ada sebuah kepercayaan. Jadi, tidak usah mengikuti ujian mata pelajaran tersebut termasuk sebuah kewajaran, yang ujian adalah mereka yang merasa kurang mampu dan lebih mempercayai orang lain dari pada dirinya sendiri.

Atau kemungkinan kedua, si penyumbang contekan tergolong dalam katagori tolong menolong dalam hal keburukan, mereka adalah orang yang tegah, kejam, sadis. Karena membiarkan teman yang tidak bisa mengerjekan soal masih dalam ketidaktahuan. Dalam artian, ketika seseorang menyonteki teman maka yang diconteki tidak akan ada usaha belajar lebih serius dan tetap pada kemalasan dan ketertinggalan. Wal hasil, yang diconteki tetap dalam kebodohan. Maka ustadz tidak menginginkan hal itu.

Kemungkinan selanjutnya, si penyontek merasa kurang percaya diri dengan jawaban mereka. Oleh karenanya pendidikan mental bisa dimulai dari kepercayaan diri dalam ujian tersebut. Bayangkan ketika orang yang memberikan contekan tidak ada, maka apa yang harus mereka perbuat? Hanya diam? Tidak akan menemukan kemajuan kalau hanya menunggu harapan semu, menunggu datangnya bantuan orang lain.

Dan masih banyak yang lain kemungkinan, tapi yang jelas yang dikeluarkan dari kelas adalah mereka yang memberikan contekan.

***

Di pondok Pacul Gowang dan Manbaul Hikam Udanawu Blitar hampir sama. Metode ujian yang digunakan adalah siasat waktu. Jangka waktu yang digunakan paling banyak 20 menit dalam 10-15 soal. Kebanyakn para ustadz penunggu ujian hanya memberikan waktu 10 menit dalam mengerjakan ujian.

Ada lagi, sebagian berbentuk soal dekte langsung dijawab oleh peserta ujian, jadi dekte selesai, jawaban juga harus selesai dan lembar jawaban harus dikumpulkan.

Pertimbangan kebijakan (rasionalisasinya) yang digunakan sangat sepele, mengapa harus berlama-lama dalam kelas? katakan 1 soal butuh waktu satu menit maka 10 soal hanya sepuluh menit, lebih dari itu hanya membuat sia-sia. Bahkan bisa dijadikan kesempatan yang tidak diinginkan seperti menyontek, ngobrol, melamun, atau yang lain.

Kalau memang belajar di waktu sebelum ujian, pasti bisa mengerjakan soal. Dan yang terpenting, ujian bukan jaminan orang itu akan menjadi sukses, dan bukan harus ditinggalkan. Karena ujian hanya salah satu wadah me-review apa yang sudah dipelajari dalam tempo tertentu agar bisa diingat kembali, segar kembali, serta bisa diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari. Singkatnya, ujian bukan menjamin kesuksesan seseorang, tapi ujian adalah salah satu batu loncatan untuk menuju sukses.

***

KEBIJAKAN ADA DITANGAN SENDIRI!!!