Cari Blog Ini

Kamis, 06 Mei 2010

BERBUAT BAIK ITU GAMPANG!

Banyak kawan sebenarnya yang berbicara panjang lebar, baik yang berada di lembaga formal tingkat tinggi (Kampus), menengah (SMP/SMA sederajat), atau yang di Pondok ketika mulai mengedarkan media diskusi kita ini (MAHA MEDIA) tentang eksistensinya untuk selalu menawarkan wacana-wacana baru terhadap sebuah kejadian-kejadian yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Secara garis besar, mereka sudah pernah melahirkan sebuah media diskusi tertulis semacam ini. Hanya saja, terkadang mati suri dan bahkan tidak diketahui wujudnya lagi kecuali arsip, itupun kalau masih tersimpan. Hampir sama keadaannya dengan pengalaman mereka, media ini kurang lebih 5 bulan sudah tidak terbit.
Nah, dari sini ada pembahasan menarik tentang istiqomah (kontinuitas) yang masih ada korelasinya dengan kejadian diatas. Istiqomah adalah menajalankan perintah agama dengan benar serta tidak berbelok-belok (teguh dalam perintah). Dalam al-qur’an kebanyakan berkaitan dengan masalah ketakwaan/keimanan pada Allah swt. Seperti dalam ayat “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah padamu (al-fushilat:30)
Takwa sendiri berarti menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dari pengertian ini, sebenarnya banyak sekali jalan yang bisa menuju pada pengertian takwa karena perintah Allah (agama) sangat luas hanya terangkum pada takwa: amar ma’ruf (berbuat baik) dan nahi munkar (melerai kemunkaran).
Oleh karenanya perbuatan baik itu sendiri ada hampir dalam tiap langka kita, semisal belajar, membaca, sholat, puasa, membantu teman, atau dakwa dengan menghidup-hidupi media diskusi seperti ini, (tukar wacana), tidak mencuri, tidak mendlolimi sesama, dst yang tidak terhitung tangan. Sangat mudah sekali bukan untuk berbuat baik? Karena memang kebaikan itu selalu ada di sekitar kita.
Yang sulit adalah “tsummastaqamu”, dan kemudian beristiqamah (kontinu). Teguh dalam taqwa (berbuat baik dan melerai kemungkaran), melahirkan media diskusi itu gampang, yang sulit adalah continue untuk terbit, sholat tepat waktu itu gampang, yang susah adalah continue untuk tepat waktu, tidak mencuri “waktu mengajar” itu mudah, yang susah adalah istiqomahnya, dst.
Oleh karena memang berat untuk bisa istiqamah, maka ada ayat yang bisa memotivasi untuk bisa bangkit lagi “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Maka yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah dijalan yang lurus.
Sedangkan taubat yang baik adalah selain menyesali kesalahan dan kekurangan juga berusaha membuat frame kebaikan kedepan yang bisa menutupi jalan kesalahan dan kekurangan dimasa lalu agar tidak terjadi lagi. Terbitnya edisi ini adalah dalam rangka taubat dan berusaha istiqamah walaupun dengan terseok-seok untuk menjalaninya demi menjalankan secuil dari perintah-Nya. Semoga bermanfaat!

Sabtu, 01 Mei 2010

SEJARAH TERBENTUKNYA TAHUN DELEGASI

Sebuah buku terjemahan yang diberi judul “Negara Madinah, Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab”. Mengupas sejarah 70 delegasi dari suku arab yang menyerahkan diri/takluk pada Nabi Muhammad SAW dan berbai’at setia.
Karya Khalil Abdul Karim, 1999 dengan judul asli “Daulah Yatsrib: Basa’ir Fi ‘Am al-Wufud berusaha menggali lebih jauh suku yang takluk pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW serta mengkritisi sebab takluknya. Sehingga pada saatnya membentuk sebuah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan “’Am al-Wafd/tahun delegasi” dan piagam madinah.
Banyak sekali pengetahuan baru yang kita dapat ketika berusaha mengetahui sejarah Nabi SAW dari buku ini, khususnya pada sisi politik kepemimpinan Nabi SAW, kecerdasan, dan bimbingan Nabi SAW pada umat yang dipimpinnya, bahkan doktrinnya masih bisa bertahan sampai detik ini dengan umat terbanyak di dunia.
Pembahasan yang sangat berani dalam mengkritisi kelebihan dan kekurangan para sahabat dan mempertanyakan banyak hal sejarah yang telah ditorehkan Nabi SAW dan para sahabat.
Harus butuh kehati-hatian dalam membaca buku ini, tidak harus diterima semua apa yang terdiskribsikan dalam buku, karena bisa menggoyahkan pemahaman kita pada kesetiaan para sahabat Nabi SAW.
Seperti yang sudah kita dengar kebanyakan, bahwa para sahabat Nabi SAW terkenal dengan ketaatan mereka. akan tetapi dalam buku ini digambarkan dengan pemahaman baru tentang delegasi dari yaman misalnya, salah satu dari 70 delegasi yang ada dibuku ini.
Dari delegasi yaman, pernah terjadi sebuah pemberontakan dan ketidak puasan atas kepemimpinan kaum Quraisy (Nabi Muhammad). Hal ini dipimpin oleh al-Aswad bin Ka’ab al-Madzhaji al-Unsi yang berusaha memimpin revolusi. Mereka mengusir semua aparatur yang dibangun Nabi SAW, yakni Khalid bin Sa’id dan Amru bin Hazm. Dilatar belakangi oleh rasa peradaban sejarah yaman yang lebih tinggi dari pada peradaban bani Adnan. Walaupun pemberontakan ini hanya berlangsung selama dua bulan dan berhasil ditaklukkan. Bahkan menurut sebagian sejarahwan, ada beberapa yang sempat murtad pada zaman Nabi SAW.
Selain kecerdasan Nabi dalam memimpin dalam membentuk piagam madinah, kesakralan al-qur’an yang diturunkan dengan tujuh dialek (sab’atu akhruf) yang ada juga sangat berpengaruh kuat, yakni empat bahasa milik kabilah hawazun dan tiga bahasa lainnya milik kabilah quraisy. Ada yang berpendapat bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Yaman, Tamim, Jurhum, Hawazun, Qudha’ah, dan Thayyi’.
Dengan pengikut sertaan dialek mereka, maka menjadikan semangat mereka dalam pembangunan semakin cepat, apalagi ketujuh bahasa itu dimiliki oleh kabilah yang tidak bisa dianggap remeh, sehingga banyak delegasi yang menyerahkan diri secara cepat. Walaupun ketundukan mereka juga dipertanyakan oleh Khalil Abdul Karim, dikarenakan masih mengajukan berbagai macam syarat sebelum baiat dan atau sikap yang belum ditunjukkan secara totalitas seperti yang dilakukan oleh delegasi yaman. Walaupun kelebihannya diakui Nabi, dan bahkan penyambutannya diberi kehormatan oleh Nabi dengan jubah beliau seketika itu juga.
Buku ini berusaha memaparkan sejarah yang bagus, kronologis, serta kritis. selain juga asyik dibaca dan banyak kelebihan seperti pemahaman baru, akan tetapi juga tak lepas dari kekurangan seperti kesopanan yang kurang di jaga dalam penyebutan nama Nabi SAW hanya ditulis dengan “Muhammad’, dll. Allahu a’lam bissawab!

SYUKUR DALAM PRESPEKTIF TASAWUF MODERN

Hampir semua gerak kita yang didasarkan atas perintah Allah sebagai bentuk  ketaatan adalah bentuk syukur aplikatif atas nikmat yang Ia berikan.

Banyak pendefinisian tetang tasawuf dari para sufi sebenarnya, akan tetapi yang lebih sering terdengar oleh kita adalah berasal dari kata “shofa” yang berarti “jernih”. Hal ini menggambarkan kedudukan para sufi yang berhati jernih.
Dalam makna lain berarti “suffah: emperan masjid Nabawi” yang berasal dari sebutan tempat tinggal sebagian shahabat nabi yang bertempat tinggal di emperan masjid nabi. Mereka disebut sufi. Selain mempunyai hati yang baik juga meniru sifat kezuhudan Nabi Muhammad SAW.
Dan masih banyak diskribsi lain yang dipaparkan oleh para sufi seperti Imam Junaid al-Baghdadi (297 H), Imam Yazid al-Busthomi, dan sufi yang lain. Hampir semua  mempunyai diskribsi tersendiri dalam pemahamannya terhadap tasawuf.
Pada awal kelahiran islam, tasawuf belumlah terdokumen menjadi diskursus kajian yang berdiri sendiri seperti sekarang, layaknya fiqh, ushul fiqh, aqidah dan berbagai kajian ilmu lain. Masih bersifat aplikatif, dan belum menjadi diskursus ilmu tersendiri.
Pada abad pertama dan kedua hijriyah, lebih dikenal dengan fase zuhud (asketisme). Perjalanan pertama tasawuf terfokus pada penyucian diri, menjauhi dunia, tahta, wanita, dan lain-lain yang terfokus pada garis vertikal (hablun min allah) dan mengendorkan gerakan horizontal (hablun min al-annas). Hal ini terlahir ketika zaman akhir kepemimpinan sahabat utsman sampai umawiyah dan puncaknya pada pembunuhan cucu Nabi SAW, Husain bin ‘Ali yang menggambarkan sebuah paradigma yang gandrung akan kekuasaan, politik dan harta. Sehingga lahir dari golongan sebagian sahabat yang masih hidup pada waktu itu, seperti Abu Dzar al-Ghifari dan sebagian tabi’in yang berusaha mengembilakan moral mereka mengikut Nabi, yakni zuhud. Diantara 'ulama sufi salafi (masa awal) yang terkenal di masa itu adalah Hasan Al-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabi'atul Adawiyah (wafat 185 H), kedua sufi ini dijuluki sebagai Zahid.
Pada abad ketiga ini terlihat perkembangan tasawuf sangat pesat, hal ini sesuai dengan pemaparan Abu al-Wafa dalam karyanya, Madkhal Ila Tasawuf al-Islami. Kalau pada abad pertama dan kedua hanya dipahami sebagai implementasi dari zuhud, maka pada abad ketiga ini terjadi pergeseran yang sangat mengagumkan. Karena tasawuf dijadikan sebuah paradigma, gerakan, dan olah rasa pada penggiatnya.
Dilain sisi, mulai muncul berbagai macam teori dalam diskursus ilmu tasawuf, melahirkan berbagai kajian subtema tersendiri, seperti hulul, tauhid, fana, dll. Hal ini dipelopori oleh ulama besar Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi (297H/910 M). Tak ada sumber yang bisa memastikan kapan tokoh sufi fenomenal ini dilahirkan. Namun, berdasarkan sejumlah data, Imam Junaid lahir pada tahun 210 H di Kota Baghdad. Kalau imam junaid ini adalah salah seorang dari ulama tasawuf modern, maka bisa disimpulkan bahwa tasawuf modern lahirnya tidak jauh dari abad ketiga ini.
***
Pada mulanya, pemahaman tentang syukur hanya pada aplikasi ibadah individual (personal), antara hamba dengan tuhannya saja. Banyak cuplikan-cuplikan yang menerangkan akan pemahaman seperti ini. Karena memang belum terdiskribsikannya tasawuf dalam diskursus ilmu tersendiri, sehingga awal munculnya pemahaman syukur hanya bersifat vertikal belum ke arah horizontal, walaupun dalam aplikasinya mereka sudah banyak yang menerapkannya.
Kita ambil contoh misalnya hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh siti Aisyah r.a. Mendapati beliau senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Kenapa engkau berbuat seperti ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).
Refleksi syukur yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dipahami oleh umatnya dengan cara selain dalam ucapan juga dalam bentuk sholat, puasa, dan tingkah laku yang personal belum pada pemahaman yang bersifat sosial.
Dalam perkembangannya, syukur mempunyai pemahaman yang lebih luas, dengan kajian tafsir yang semakin mendalam pada ayat-ayat al-qur’an dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Dalam surat saba’ ayat 13 misalnya, : “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”, berkenaan dengan rasa syukur Nabi Daud as. Padahal dalam beberapa ayat yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. (Al-Baqarah: 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.
Redaksi dalam surat saba’ ini menunjukkan pada esensi yang lebih menjurus pada perbuatan nyata sehari-hari, semisal bekerja. Imam Ghazali merumuskan syukur pada 3 komponen:
Ilmu: menunjukkan kesadaran kita akan nikmat-nikmat allah yang dianugerahkan kepada kita.
Hal: menggambarkan sikap kita akan nikmat Allah, Rasulullah saw bersabda: hendaklah kamu berbahagia bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir dan istri mu’minah yang membantu dalam segala urusannya.
Amal: diwujudkan dalam seluruh anggota badan kita. Imam Ghazali berkata: “menggunakan nikmat-nikmat allah ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat kepada-Nya”.
Dari sini, implementasi syukur bisa menjadi lebih luas lagi, bisa berbentuk ucapan secara lisan, shalat, puasa. Atau yang berbentuk sosial seperti shadaqah, infaq, dan zakat, dst. Bahkan hampir semua gerak kita yang didasarkan atas perintah Allah sebagai bentuk ketaatan adalah bentuk syukur aplikatif atas nikmat yang Ia berikan.
Nah, Dalam prespektif tasawuf modern, syukur, selain mengarah ke-vertical (hablun min allah) maka diharapkan juga mengarah pada gerakan horizontal (hablun min al-annas). Hal ini adalah bentuk dari rasa syukur yang kedua yang perlu dilakukan oleh umat Nabi saw. Yang pertama adalah rasa syukur atas nikmat syukur yang diberikan oleh Allah.
Dalam salah satu riwayat dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa Nabi Daud as pernah mengadu kepada Allah. Beliau bertanya: “Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah berfirman, “Sekarang engkau telah benar-benar bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal daripada-Ku”. Allahu a’lam bisshawab!

Yayan M