Cari Blog Ini

Selasa, 27 Juli 2010

Hubungan Antara Syari’ah Islamiah dengan Maslahah

A. Perhatian Syari’ah Islam terhadap Maslahah
Lepas dari perbedaan pendapat tentang apakah ‘illat itu berperan (mu’tsir) di dalam syari’ah, sebagai pendorong (al-baits) atau tanda (mu’arraf) saja yang jelas jumhur ulama sepakat bahwa semua hukum Allah SWT mengandung maslahah di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana kesepakatan mereka tentang tujuan syari’ah adalah mewujudkan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia.

Selain itu tinjauan maslahah membentuk sebagian besar dari petunjuk yang dimana seorang mujtahid akan mendapatkan titik terang dalam mengetahui hukum-hukum maslahah yang tidak di nash oleh Allah SWT.
Bukti-bukti bahwa syari’ah sangat memperhatikan maslahah dapat kita temukan dalam al-Qur’an, al-Hadits, dan kaidah-kaidah para fuqaha.

1. Dalil al-Qur’an
a. “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya:107)

Risalah kenabian baru bisa dikatakan rahmat bagi seluruh manusia ketika yang di sampaikan itu selaras dengan kemaslahatan, membawa kebahagiaan hakiki bagi mereka. Karena jikalau tidak demikian, maka bukanlah rahmat, akan tetapi siksa.

Sebenarnya ayat ini akan lebih detail dalam menawarkan kebahagiaan yang dimaksud jikalau disambung dengan ayat setelahnya, yang menjelaskan tentang keimanan. Yakni, kebahagiaan itu akan tergapai dengan melalui tangga keimanan. Sekaligus membuktikan bahwa maslahah dalam pandangan islam tidak bernilai profan, tapi juga mengandung nilai keagamaan.

b. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seuan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. Al-anfal:24)

Ayat ini menjelaskan dengan gamblang hubungan antara taat dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul dengan kehidupan. Bukan sekedar kehidupan, akan tetapi kehidupan yang mengaju pada ideal, bahagia dunia dan akhirat. Jelasnya, bagi orang yang ingin hidup ideal, bahagia dunia akhirat maka hendaknya mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya.

Ini menyatakan bahwa maslahah dalam islam tidak hanya dalam masalah kesenangan yang tidak bernilai dan keduniawiaan saja, akan tetapi mengaitkan dua sisi sekaligus, yakni maslahah dalam dunia yang bersifat horisontal (antar makhluk) dan sisi vertikal (dengan Tuhan)

c. Masih banyak ayat-ayat lain yang menerangkan alasan sebuah hukum secara parsial, seperti: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-baqarah:185), Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal. (QS. Al- baqarah: 179), Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyenpurnakan nikmat-Nya. (QS. Al-maidah: 91), dll”

2. Dalil al-Hadits
a. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Iman terdiri lebih dari tujuh puluh cabang, paling utama adalah La ilaha illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (penyakit) dari jalan. (HR. al-Nasa’i)
Hadits ini sangat mendukung dalil-dalil al-qur’an diatas, bahkan sangat jelas.

Ternyata kesempurnaan iman seseorang bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, bahkan yang spele sekaligus, seperti yang dicontohkan hadits diatas, yakni menyingkirkan duri (penyakit) di jalan. Ini menunjukkan bahwa keimanan seseorang akan semakin sempurna ketika ia tidak hanya memfokuskan hubungannya dengan Allah semata, tapi juga terhadap sosialnya.

b. Seluruh makhluk adalah keluarga Allah, sedang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya. (HR. Abu Ya’la dan Ibn Abi Syaibah)
Disini Rasulullah menjelaskan bahwa kedekatan manusia kepada allah SWT diukur dari kemanfaatan dan pengabdiannya pada hamba-Nya, hal itu akan terlaksana dengan maslahah dan pelimpahan kebahgiaan hakiki kepada mereka

Dan apabila timbangan kedekatan manusia dengan tuhaannya dalam pengamalan adalah pengabdian kebaikan (maslahah) hamba, maka eksistensinya adalah bahwa timbangan ini termasuk syari’at islam itu sendiri.

c. Dari Ibn ‘Abbas RA. Ia berkata, Rasulullah bersabda: tidak boleh mendatangkan madlarat dan tidak boleh saling mendatangkan madlarat. (HR. Ibn Majah dan al-Daru Quthni dari Abu Sa’id al-Khudri)

Dlarar dalam bahasa arab berarti mendatangkan madlarat kepada diri sendiri atau orang lain, sedangkan dlirar adalah mendatangkan bahaya pada orang yang telah menyakiti kita, atau saling mendatangkan bahaya antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, secara tegas menjelaskan bahwa islam tidak memperkenankan mafsadah.

3. Dalil Kaidah Fikih
a. Pembagian Dosa Besar dan Kecil
Pembagian dosa besar dan kecil sudah ditetapkan dalam al-qur’an dan al-hadits (al-Nisa’:31, al-Najm: 32), pembagian tersebut bukan dilihat dari besar kecilnya maksiat, karena dihadapan allah tidak berpengaruh apapun.

Bahkan, Izzu al-Din bin Abdi al-Salam menjelaskan bahwa perintah Allah tidaklah berbeda dipandang dari segi esensinya, maksudnya, kekuatan perintah Allah untuk melakukan sesuatu yang paling utama sama dengan kekuatan perintah untuk melakukan sesuatu yang terendah. Begitu juga dengan larangan-Nya, kekuatan larangan pada dosa besar sama dengan kekuatan larangan terhadap dosa kecil. Perbedaan pembagiaanya adalah dipandang dari sudut besar kecilnya maslahah yang dihasilkan dalam perintah dan besar kecilnya maafsadah yang dihasilkan dalam larangan-Nya.

b. Penetapan Hukum Wadl’i
Maksudnya, penggantungan hukum taklif itu bersandar pada orang yang berakal dan baligh. Jikalau demikian maka akan mengalami kemuskilan ketika bertabrakan dengan maslahah antar manusia, misalnya, ketika anak kecil merusak sepeda motor orang, maka secara hukum taklif anak kecil tersebut bebas dari tanggung jawab karena dia belum baligh, dan tentunya akan merugikan pihak lain (yang dirusak). Disinilah letak peran hukum wadl’i, menyempurnakan kekurangan dari hukum taklif. Dengan hukum wadl’i, anak tersebut tidak bebas dari tanggung jawab perbuatannya. Karena sudut pandang hukum wadl’i adalah sebab akibat (klausal, dll), yakni sebab anak kecil tersebut telah merusak maka harus mengganti (tanggung jawab)1 . Ini berbeda dengan hukum taklifi, karena sudut pandang hukum taklifi adalah subjeknya. Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa syari’at sangat memperhatikan maslahah manusia

c.Mempertimbangkan Kebiasaan yang Berlaku
Bukti nyata pertimbangan maslahah dalam adat diantaranya adalah bahwa syari’ menetapkan beberapa hukum yang diambil dari kebiasaan orang arab jahiliyah seperti sumpah, diyat, kesepadanan suami istri (prinsip kafa’ah), baju ka’bah, dll yang dipandang baik dan sesuai dengan akhlaq mulia. Karena Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak “innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq”

Disinilah kehebatan agama islam, yakni bukan sebagai penghancur budaya dan peradaban masyarakat setempat, tetapi sebagai penuntun manusia menuju hidup yang sempurna dan ideal serta mewujudkan maslahah. Bukan berarti islam mendukung atau terpengaruh oleh budaya dan adat yang berlaku akan tetapi memang dipandang baik dan mempunyai maslahah yang tidak bertabrakan dengan tujuan agama islam sendiri.

B. Pembagian maslahah pada dunia dan akhirat
Berbicara tentang syari’ah maka yang terkandung didalamnya adalah masalah akidah, ibadah, dan muamalah. Pertahanan maslahah hanyalah dibidang muamalah.
Banyak ulama yang mengklasifikasikan maslahah pada dua permasalahan yakni ukhrawiyah yang terdiri dari akidah dan ibadah. kedua adalah dunyawiyah yang terdiri dari muamalah

Pada mulanya pembagian seperti ini tidaklah terdapat pada awal berdirinya islam, dan hakikatnya semua yang ada dalam syari’ah baik akidah, ibadah dan muamalah semua mengandung maslahah didunia dan akhirat. Orang islam yang bermuamalah (interaksi) dengan sesamanya sesuai apa yang diajarkan oleh islam maka ia dihukumi melaksanakan perintah ilahi, ia dapatkan maslahah dunia dan akan mendapat surga di akhirat kelak.

Adapun orang yang ahli ibadah, memperbanyak dzikir, dsb. Akan mendapat pahala dan mendapatkan ridlo-Nya di akhirat serta akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan di dunia.

Terbaginya maslahah pada dunia dan akhirat disini bukan berarti maslahah sendiri-sendiri. Dalam artian maslahah di dunia dan di akhirat tidak atau sebaliknya. Islam menjelaskan tentang maslahah yang dimaksud adalah maslahah di dunia dan akhirat. Yakni keduanya.

Dalam al-qur’an sangat jelas keterkaitan maslahah dunia dan akhirat tersebut, surat al-zilzalah ayat: 7 misalnya: “barang siapa yang mengerjakan kebaikan walaupun sebiji sawi akan diperlihatkan dan barang siapa yang berbuat kejelekan walau sebiji sawai juga akan diperlihatkan”. Dari sini bisa dipahami bahwasanya perbuatan yang dilakukan sekarang, baik mengandung maslahah ataupun mafsadah, akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. jadi secara tidak langsung ayat ini menerangkan tentang keselamatan (maslahah) tidak hanya berhenti pada dunia saja, akan tetapi sampai akhirat masih berlanjut. Yang bisa memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Atau surat lain misalnya al-ankabut: 45 “sesungguhnya shalat mencegah dari kemungkaran” yang apabila kita melakukan perbuatan ubudiya seperti shalat juga akan berpengaruh pada perbuatan dunia kita seperti terjauh dari kemungkaran dan akan memperbagus akhlaq interaksi kita sesama manusia

Jelaslah sudah bahwa unsur maslahah yang terbagi menjadi tiga, ubudiyah, akidah dan mu’amalah pada dasarnya mempunyai orientasi yang sama yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat tanpa menafikan salah satunya.

C. Kontradiksi Illat dalam Tubuh Ahlu al-Sunnah dan penyelesaiannya
Pada dasarnya ulama ushul fikh sepakat menamakan mashlahah sebagai tujuan Allah menurunkan syari’at (qashdu syari’), jadi secara tidak langsung mereka berpendapat bahwa tuhan mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan-Nya.

Dari tujuan syari’at tersebut akan bisa diketahui illat diturunkannya hukum dan mencetuskan hukum baru yang belum termaktub dalam nash berdasarkan mashlahah umat, intinya sebuah hukum itu bisa dipahami dari illat diturunkannya hukum tersebut.
Ini berseberangan dengan paham filsafat yang dikembangkan oleh ulama ahlu sunnah (baca: asy’ariyah dan maturidiyah) yang dasar pemikirannya memandang bahwa Allah sebagai penguasa langit dan bumi, segala kemauan-Nya tidak bisa ditolak dan dijangkau oleh nalar manusia. Dia bisa berbuat tanpa tujuan tertentu. Semua yang di alam semesta kehendak muthlaq Allah.

Al-amidi berpendapat: pendapat golongan yang benar (ahl al-haq) adalah tuhan mencipta alam tanpa berdasar pada suatu tujuan tertentu, tidak pula pada suatu kebijakan yang bergantung atasnya makhluq, tetapi segala yang diciptakan oleh-Nya berupa kebaikan dan keburukan yang mendorong tuhan melakukannya, justru berbuat atau tidak adalah boleh dan itu sama saja bagi-Nya.2

Tapi ternyata kontradiksi tersebut masih bisa ditarik benang merah. Illat dalam pandangan ahlu sunnah adalah sebagai penanda hukum, bukan pencetus hukum atau pencetus mashlahah. Pencipta hukum dan mashlahah sesuatu adalah Allah. Ini sesuai denangan paham okkasionalisme yang dikembangkan asy’ariyah.3

Walaupun pencipta tunggal dan segala kemuthlakan kekuasaan adalah Allah yang bebas berbuat tanpa tujuan, tapi Allah menentukan sunnah-Nya (hukum ‘adi/ kebiasaan) yang darinya manusia bisa memahami karakteristik ciptaan-Nya. Seperti hukum api dan panas, dalam pemahaman teologi ahl sunnah, dua hal tersebut tidaklah berkaitan. Api tidak wajib menyebabkan panas dan sebaliknya. Allah lah yang menyebabkan api itu panas.

Dari hukum kebiasaan inilah, manusia mengerti dan memberi tanda bahwa api itu panas, begitu juga tentang illat hukum dan hukum yang menimbulkan mashlahah, karean kebiasaannya mengandung mashlahah maka dari situlah bisa dipaham dan diberi tanda (sebagai tanda)

Para pakar ushul fikih hanya memfokuskan pada pembahasan hukum sunnatullah atau yang tampak bagi manusia. Bukan pada penyebab sejati. Allahu ‘alam!
____________________________
1 Tanggung jawab disini bukan digantungkan pada sifat anak kecil tersebut (subjeknya), akan tetapi digantungkan pada harta dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini tanggung jawab dipegang penuh oleh walinya sampai ia baligh. Jika sudah baligh maka hukum tersebut digantungkan pada subjeknya (orangnya), karena dia sudah bisa memahami khitab. Begitu juga dengan orang gila atau kemunduran akal, tanggungan diserahkan penuh pada wali sampai mereka sembuh dari gilanya. (lihat ushul fikh wahbah zuhaili bab makhkum ‘alaih)
2Hamka Haq, al-Syathibi Aspek Teologi Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, hal.79. thn. 2007 PT. Gelora Aksara Pratama
3 aliran ini muncul dikalangan sekte cartesia, yang kemudian dikembangkan oleh geulin (1632-2669 M) yang berpendapat bahwa manusia hanyalah penonton terhadap gerakan-gerakan jasmani yang digerakkan sepenuhnya oleh tuhan. Selanjutnya paham ini dikembangkan pula oleh malebranche (1638-1715) yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara dua peristiwa yang tampaknya merupakan rantai sebab akibat. Tuhanlah satu-satunya penyebab. (lihat Hamka Haq, alsyathibi, hal.126)


Daftar pustaka:
1. Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, Dlawabith al-Mashlahah Fi al-Syari’at al-Islamiyah, -cet.6- 2001, Bairut-Libanon
2. Dr. wahbah zuhaili, ushul fiqh al-islami, jld 1, 2006 M, damaskus: dar al-fikr
3. Redaksi (M. masrukhan), Buah Pikiran untuk Umat Telaah Fiqh Holistik, lirboyo kediri, 2008: kasturi
4. Hamka Haq, al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, 2007, PT. gelora aksara pratama

Minggu, 25 Juli 2010

LEGASITAS IJAZAH PONDOK, PERLUKAH?

Tahukah anda bila nama-nama besar seperti pendiri Microsoft, Bill Gates, pendiri Apple Steve Jobs, dan Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg meraih sukses tanpa berbekal ijazah dari tempat kuliah masing-masing.

Ijazah dalam kamus besar bahasa Indonesia 2003 berarti surat tanda tamat belajar atau izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid dari gurunya. Pengertian yang pertama cenderung lebih menjurus pada konteks lembaga formal, sedangkan yang kedua lebih menjurus pada konteks kepondokan, ijazah sang guru pada muridnya.
Sejauh sejarah pondok sebagai lembaga pendidikan tertua, maka sejauh itu pula makna ijazah yang kedua itu ada. Karena dalam pewarisan ilmu, jika dinisbatkan pada sejarah islam, maka dikenal juga istilah sanad. Restu dari sang guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang telah dilahapnya.
Akan tetapi, makna ijazah sudah mengalami pergeseran makna sedikit demi sedikit ke pengertian yang pertama, yakni surat tanda tamat belajar. Karena ijazah dari lembaga formal mempunyai pengakuan dari Negara sehingga mempunyai kekuatan hukum. Sehingga ketika orang berucap ijazah maka secara spontan yang terbayang dalam benak mereka adalah ijazah surat tanda tamat belajar sekolah.
Selain ijazah dalam makna kedua sendiri mempunyai peran penting dalam kebanyakan pandangan pelajar sekarang untuk mencari lapangan pekerjaan, melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai jaminan dalam pabrik (pasal 1320 KUHPer), dll karena mempuai legalitas/kekuatan hukum.
Orientasi Pendidikan Pondok
Sekilas pondok tidak ada data resmi tentang kapan berdirinya pondok pertama kali, Akan tetapi dalam catatan sejarahwan, pondok telah dikenal sejak abad 18-an ketika islam masuk indonesia atau bisa ditaksirkan umur pondok sekitar 300-400 tahun sebagai lembaga pendidikan keagamaan masyarakat indonesia. Bahkan, pergerakan pondok tidak hanya dalam bidang pengajaran dakwa islamiyah saja. Akan tetapi lebih dari itu, selain sebagai lembaga pendidikan, sosial keagamaan, lembaga penyiaran agama islam, juga sebagai pusat gerakan pengebangan islam, dan pengambil peran dalam mengiringi perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.
Hanya saja pergerakan pondok sangat halus, yakni dalam pendampingan moral dan emosional masyarakat yang berbasis agama maka pada zaman kolonial Belanda dipandang sebelah mata, pondok tidak mempunyai sistem yang bagus, tujuan pendidikan tidak jelas dan bahasa yang digunakan bukan Bahasa Latin (Bahasa Arab), sehingga pondok yang juga berperan dalam masalah pendidikan tidak dimasukkan pada perencanaan pendidikan umum kolonial belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia yang semula bermasyarakat pedesaan agraris menjadi masyarakat kota industri dan perdagangan mengakibatkan lahirnya beraneka ragam lembaga pendidikan Islam. Lembaga Islam modern tumbuh dengan cepat menyesuaikan kurikulum, sistem pendidikan, organisasi, dll.
Sebenarnya berkaca pada pendidikan pondok yang dimana santri didampingi oleh sang guru selama sehari penuh. Maka muncul pula sekolah bersistem full day school, kemudian berkembang lagi, berstandar nasional, dan berstandar internasional lantas akan muncul apalagi? Perbedaannya, kalau pendidikan islam modern ada ijazah yang legal dari pemerintah sedangkan pondok tidaklah ada ijazahnya, kecuali kalau pondok itu telah mengkolaborasikan sistem pondok dengan pendidikan umum maka ada ijazahnya, itupun atas nama ijazah sekolah bukan ijazah pondok.
Keberhasilan pendidikan pondok dalam mendidik santri-santrinya yang tercatat dalam sejarah tidaklah keluar dari orientasi pondok sendiri sebagai wadah pendidikan ajaran islam, pengembangan ajaran islam, sosial keagamaan, dan bahkan pergerakan sehingga menanamkan beberapa karakter pada anak didiknya antara lain:
1.      Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mempunyai karakter juang untuk islam yang tinggi.
2.      Mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesalehan (moralitas) pada diri para santri.
3.     Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat.
4.     Menjadi benteng terakhir/penyaring dari serangan kebudayaan asing. Dll
Keberhasilan itu semua diraih tanpa adanya ijazah tidak seperti yang diharapkan para kebanyakan siswa atau mahasiswa sekarang ini.
Legalitas Ijazah Pondok, Perlukah?
Ijazah memang penting, tapi bukanlah yang terpenting. Oleh karenanya ada sebagian besar pondok yang mengkolaborasikan antara pendidikan keagamaan pondok dengan pendidikan umum. Diharapkan bisa mencapai keduanya secara maksimal.
Kalau pendidikan umum berorientasi pada pembinaan duniawi atau material, maka dengan adanya pengkolaborasian pendidikan pondok yang berorientasi pada pembinaan moral dan ukhrawiyah yang berfungsi sebagai benteng pertahanan akhlaq para ilmuan dan intelek. Sehingga ada keseimbangan (balance) antara intelektual dan moralitas para peserta didik.
Para santri yang lulus dari jenjang pendidikan yang ada di pondok bersistem ini bisa melanjutkan studinya di jenjang berikutnya luar pondok, katakan lembaga pendidikan umum baik setingkat SMA atau Perguruan Tinggi karena menggunakan ijazah formal yang sudah diakui legalitasnya oleh Negara.
Itu bagi pondok yang mengawinkan dualisme pendidikan, akan tetapi tidak semua podok yang demikian, karena masih ada pondok yang tetap berdiri pada baground salafi tanpa adanya perkawinan sistem.
Nah, bagaimana melanjutkan ke pendidikan tingkat lanjut semacam Perguruan Tinggi seperti IAIN, STAIN, UIN, dll? Ternyata ada tawaran ujian persamaan setingkat SMP, SMA sederajat bagi mereka yang menginginkan ijazah. Atau bagi mereka yang tidak menginginkan hal itu bisa langsung melanjutkan pendidikannya di Ma’had ‘Aly yang selevel S1 baru bisa melanjutkan ke S2 atau perguruan tinggi lain di luar negeri mungkin. Seperti yang pernah dipaparkan oleh Gus Sholah. Hanya saja masih dalam satu jalur, khusus dalam pendalaman agama.
Bapak Suryadarma MPA PhD, Direktur Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Depdiknas memang pernah mengatakan kalau sekolah bukanlah tempat mencari ijazah, akan tetapi tempat mencari ilmu dan pendidikan.
Namun, jauh dari hal itu dengan mengingat peranan ijazah, hampir segala lini lowongan pekerjaan/lembaga pendidikan umum atau formal membutuhkan peranan ijazah yang dijadikan tolok ukur dengan bentuk angka (nilai-nilai) terhadap kemampuan seseorang. Baik dari pekerja pabrik/industri, guru, PNS, melanjutkan sekolah, dll.
Bukan berarti tertutup bagi mereka yang tidak punya ijazah untuk mengembangkan kreativitasnya dalam ranah materiil (duniawi). Seperti untuk menjadi pedagang, pengusaha, penulis, dll.
Ijazah memang penting dan mempermudah gerak kreativitas akan tetapi bukan lah jalan satu-satunya untuk menggapai kesuksesan. Seperti yang telah dilakukan oleh pondok dalam sejarah, bisa mengkader santri menjadi ulama’, zua’ama’, pahlawan nasional, dst. Allahu a’lam bishowab!

Tahun Syamsiyah Dan Qamariyah: Pemufakatan Dan Penyambutannya


Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).QS al-Kahfi: 25

Salah satu ayat al-qur’an yang menakjubkan, pelopor konversi astronomik antara dua macam kalender yang paling banyak digunakan oleh umat manusia.

Dr. Quraisy Shihab mengkategorikan ayat ini sebagai mukjizat ilmiah dari al-Qur'an.  Karena secara akurat telah melakukan pemufakatan kalender Syamsiyah-qomariyah sebelum dikenalnya ilmu falak di Arab, bahkan Rasul yang membawanya adalah seorang yang buta huruf. Dalam hitungan falak, bila tiga ratus tahun Syamsiyah dikonversi ke dalam qamariyah, maka akan terjadi selisih sembilan tahun (300 dan 309). Tahun syamsiyah berjumlah 366 hari sedang qamariyah 355. Terjadi selisih 11 hari. 300 dikalikan 11 menjadi 3300 (9 tahun).

Pilihan terhadap tahun qamariyah banyak ditegaskan dalam hadits, diataranya adalah: Rasulullah SAW bersabda: Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan jangan berpuasa (berhari raya) karena melihat bulan. Apabila kalian terhalang oleh awan, maka sempurnakan jumlah bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhori).

Jelas sekali dalam hadits ini, Rasulullah SAW menetapkan dasar kalender Islam pada peredaran bulan qamariyah. Dan, Islam bukan yang pertama kali menggunakan peredaran bulan dalam sistem penanggalan. Muhammad Ridha dalam al-Faruq Umar ibn al-Khatthab mencatat bahwa sistem kalender yang digunakan Arab kuna hanyalah qamariyah. Namun, pada masa-masa menjelang diutusnya Rasulullah SAW mereka menggunakan dua kalender syamsiyah-qamariyah sekaligus. qamariyah digunakan sebagai kalender keagamaan, sedangkan syamsiyah untuk urusan politik dan lain sebagainya.

Memang benar kalau ada anggapan adanya masalah yang ada dalam kalender syamsiyah, tapi masalah itu lahir setelah kalender itu ada. Permasalahan ini bermula dari kebijakan Julius Caesar setelah dinobatkan sebagai kaisar Roma, dia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, ahli astronomi dari Aleksandria, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Karena tujuan awal dari pembuatan kalender ini adalah menentukan jadual kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan. Termasuk untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia, maka kemungkinan besar dalam rekayasa pastilah sangat rawan. Karena kalender yang menyesuaikan keinginan mereka, bukan ilmu yang menetapkan kebenarannya seperti pada awal lahirnya syamsiyah itu sendiri.

Beralih dari sejarah tahun keduanya menuju perayaan penyambutan tahun baru yang pada tahun ini hampir bersamaan. Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwasanya tahun baru baik syamsiyah maupun qamariyah hanyalah sebuah wadah, mau ditambah agar menjadi setiap hari berkumpul juga tidak ada masalah, mau setiap hari merayakan hari juga monggo, karena hari itu hanyalah sebuah wadah, masalah pengisian dengan tanggapan baik atau buruk maka itu sudah kembali pada individu masing-masing. Jadi, bidang garap yang ada adalah bagaimana mengajak saudara-saudara kita dalam memaknai tahun baru baik syamsiyah maupun qamariyah yang lebih manfaat dan beralih ke yang lebih baik.

Kalau biasanya hanya pesta kembang api, maka mari ditambah didalamnya sebuah refleksi renungan bersama menuju hari esok agar lebih terang, kalau penyambutan biasanya hanya foya-foya, sekarang silahkan ditambah dengan refleksi bersyukur bersama dalam keramaian yang ada. Tidak harus dihilangkan acara kumpul dalam tahun baru itu, acara kumpul hanyalah sebuah wadah yang tidak harus dihilangkan dan ditiadakan, tapi isinya jika tak berkenan dengan ajaran agama, mari diganti dengan yang lebih bermanfaat dalam menuju ridho-Nya. Selamat berhijrah dalam tahun baru!

Mahkum ‘Alaih


Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang titah allah digantungkan pada perbuatannya, atau disebut juga mukallaf. Mahkumalaih mempunyai dua syarat yang harus dipenuhi:

1)      Hendaknya mukallaf mampu untukmemahami dalil taklif.
Kepahaman akan dalil taklif atau titah allah diukur dari segi kesempurnaan akal seseoraang itu dan baligh. Jadi, orang yang kurang sempurna akalnya tidaklah terkena hukum taklif seperti orang gila, tidur dan mabuk, begitu juga bagi yang belum baligh, seperti bocah yang belum mumayiz dan baligh. Kesimpulan jelasnya ada 3 kreteria:
  1. Paham dalil disini dipandang sama bagi mereka yang paham dengan dirinya sendiri atau dengan perantara orang lain (istifadah: menarik kesimpulan), yakni cukup sampai mengetahui dalil, tidak perlu pembuktian kebenaran dalilnya (tasdiq). Berdasarkan dengan ini, maka orang kafir tergolong sebagai mukhatab, karena mereka mampu mengetahui dan memahami dalil-dalil syari’at. Inilah madzhab jumhur al-ulama
  2. Orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz bukan termasuk mukallaf karena tidak mampu memahami pokok khitab. Adapun anak kecil yang mumayiz, walaupun ia paham sesuatu yang tidak dipaham orang yang belum tamyiz (ghairu mumayiz), akan tetapi pemahamannya belumlah sesempurna orang yang sudah sempurna nalarnya (akalnya) misalnya mengetahui tentang eksistensi allah swt, keberadaan dia sebagai mukhatab, mukallaf, dll, yang mengacu pada makna taklif
  3. Begitu juga orang tidur, lupa dan mabuk. Tidak terkena hukum taklif. Berdasarkan hadits Nabi:

رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أحمد وأبو داوود والحاكم عن علي وعمرو رضي الله عنهما)
*) kontradiksi 3 syarat diatas dengan 3 hal:
  1. Jika seorang bocah dan orang gila bukan mukalaf maka kenapa zakat, nafaqah, dan tanggungan diwajibkan atas mereka? Dan kenapa bocah mumayiz diperintah shalat? Maka jawabnya adalah: kewajiban-kewajiban itu tidaklah berhubungan dengan perbuatan orang gila dan bocah, akan tetapi berhubungan dengan harta dan tanggung jawabnya. Digantungkan dengan perbuatannya ketika mereka sadar dari mabuk atau ketika sudah baligh (bagi anak kecil) karena mereka bisa memahami khitab nantinya. Sedangkan sebelum itu maka yang bertanggung jawab atas mereka adalah wali mereka karena ini bukan termasuk bab taklif, tetapi pada hukum wadl’I (hukum klausalitas). Adapun perintah shalat terhadap bocah kecil, bukanlah secara langsung dari syari’ tetapi dari walinya. Berdasarkan hadits Nabi:

مروهم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين (رواه أحمد وأبو داوود والحاكم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما)

Menurut sebagian ulama syafi’iyah, inflasi thalaq orang mabuk bukan dari bab taklif tapi sesuatu yang sudah ditetapkan dalam hukum wadl’i, maksudnya, ucapan thalaq menjadi tanda (sebab) jatuhnya talaq, sebagai hukuman baginya. seperti halnya terbenamnya matahari menjadi tanda diwajibkannya ibadah shlalat.
  1. Kenapa dalam surat al-nisa Allah SWT mengkhitabi orang-orang mabuk?

ياأيها الذين أمنوا لاتقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون  (al-nisa: 34)

Maka jawabnya: ini bukanlah maksud dari khitab. Larangan disini bukanlah larangan shalat ketika mabuk, tetapi larangan mabuk ketika akan menunaikan shalat saat tersadar “ibaratnya begini: لا تقرب التهجد وأنت شبعا maksudnya jangan kenyang kalau ingin melaksanakan tahajud, supaya tahajud tidak susah bagi kamu. Sama halnya dengan itu “ketika akan shalat maka jangan mabuk”
  1. sesungguhnya syari’at itu global dan universal dan ditujukan umtuk seluruh umat manusia. Berdasarkan firman allah swt dalam surat saba’:27 dan al-anbiya’:107

وما ارسلناك إلا كافة للناس بشيرا ونذيرا (سبأ: 27) وما أرسلناك إلارحمة للعالمين (الأنبيأ: 107)

akan tetapi permasalahannya adalah sebagian manusia tidak paham bahasa arab, bahasa al-qur’an. Lantas kenapa memberikan titah pada orang yang tidak paham akan bahasa titah tersebut? Ini adalah salah satu faktor sebab hilangnya syarat taklif (mampu mamahami dalil takllif)
jawabnya adalah syarat taklif juga berlaku bagi orang ajam (non arab), mungkin dengan belajar bahasa arab atau dengan belajar agama melalui bahasa lokal, itu kalau dirasa belajar bahasa arab susah dan berat.
Secara umum akan mempunyai 2 syarat bagi penduduk setempat:
  1. penerjemahan hukum syari’ah ke dalam bahasa lokal (asing)
  2. spesialisasi golongan untuk belajar syari’at sampai matang dan belajar bahasa lokal (asing) kemudian menerjemahkan dan menyebarnya keseluruh pelosok negara ini termasuk fardlu kifayah.

ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون (العمران: 104)


2)      Hendaknya mukallaf adalah orang yang berkompeten/ layak dalam menanggung hukum taklif (ahlun li al-taklif).
  • Kelayakan tersebut di ukur dari akal dan pemahaman, karena akal adalah komponen pokok dalam memahami sesuatu bagi masing-masing individu.

الإسراء

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنْ المَسْجِدِ الحَرَامِ إِلَي المَسْجِدِ الأَقْصَا الَّذِي بَرَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ (1)
(سبحان الذي أسرى بعبده ليلاً) سبحان هو اسم للتسبيح ومعناه تنزيه الله تعالى من كل سوء ونقص وهو خاص به سبحانه وله ثلاثة معان, الأول: أن التسبيح بذكر بمعني الصلاة, ومنه قوله تعالي (فلولا أنه كان من المسبحين) أي من المصلين, والسبحة: الصلاة النافلة, وإنما قيل للمصلي: مسبح لأنه معظم لله بالصلاة ومنزه له عما لاينبغي والثاني بمعني الإستثناء في قوله تعالي (قال أوسطهم الم أقل لكم لولاتسبحون) أي تستثنون وتأويله أيضا يعود الي تعظيم الله تعالي في الإستثناءعشيئته. الثالث جاء في الحديث (لآحرقت سبحات وجهه ما أدركت من شيء) قيل معناه نور وجهه وقيل سبحات وجهه, نور وجهه الذي إذا رآه الرائي قال: سبحان الله.
 أسرى من اللفظ السير ليلاً يقال: أسرى وسرى لغتان. سرى وأسرى فعلان لازمان, أما أسرى بزيادة حرف "بــ" فيكون متعدياً. لفظ "بعبده" مفعول يدل على أن العبد (محمد) سلبيٌّ وليس له القدرة والإجابي هو الفاعل يعني الله الذي انتقل بعبده ونبيه محمد صلى الله عليه وسلم في جزء من الليل بهدايته وتوفيقه. لذلك, لايجوز السؤال بــ "كيف يحدث هذا؟" ويجوز بـ "لماذا يحدث هذا؟" ولايجوز السؤال "هل أسرى روحه فقط أو مع جسمه؟" لآن إبتداء الأية واضح بلفظ "سبحان" يدل على شيء عجيبٌ.
(من المسجد الحرام إلي المسجد الأقصا) أي من مكة المكرمة (اختلفوا في المكان الذي أسري به منه, وقيل هوالمسجد الحرام بعينه. وهو الذي يدل عليه ظاهر اللفظ القرأن, وروي عن النبي أنه قال: (بينا أنا في المسجد الحرام في الحجر عند البيت بين النائم واليقظان إذ أتي جبريل بالبراق) وقيل أسري به من دار أم هانيء بنب أبي طالب. والمراد علي هذ القول بالمسجد الحرام: الحرم لإحاطته بالمسجد والتباسه به, وعن ابن عباس: الحرم كله مسجد, وهذا قول الأكثرين.
الى بيت المقدس, وسمي بالأقصى لبعد المسافة بينه وبين المسجد الحرام قال المفسرون: وإنما قال "ليلاً" بلفظ التنكير لتقليل مدة الإسراء, وأنه قطع به المسافات الشاسعة البعيدة في جزء من الليل وكانت مسيرة أربعين ليلة, وذلك أبلغ في القدرة والإعجاز ولهذا كان بدء السورة بلفظ "سبحان" الدال على كمال القدرة.
(الذي بركنا حوله) أي بأنواع البركات الحسية المعنوية وقيل بالثمار والأزهار وقيل بسبب أنه مقرالأنبياء ومهبط الملائكة.
فإن قالوا: قوله (لنريه من آيتنا) يدل علي أنه تعالي ما أراه إلاّ بعض الأيات, لآن كلمة "من" تفيد التبعيض وقال في حق إبراهيم (وكذلك نري إبراهيم ملكوت السموات والأرض) فيلزم أن يكون معراج إبراهيم عليه السلام أفضل من معراج محمد صلي الله عليه والسلام. وقلنا: الذي رأه إبراهيم ملكوت السموات والأرض, والذي رأه محمد بعض أيات الله تعالي. ولاشك أن أيات الله أفضل.
(إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ) أي إنه تعالي هو السميع لأقوال مجمد, البصير بأفعاله, فلهذا خصه بهذه الكرامات والمعجزات إجتفاء

اساليب الدعوة

نظرا من جهة المعني فالاسلوب هو المنهج، الطريقة، الخطوة, السلوك وغيرها. والدعوة هي النداء، طلب الاستعانة، التعبد، التربوي، الاقبال، وغيرها. فالمعني هو الطرق التي يسلكها الداعي في دعوته او كيفيات تطبيق مناهج الدعوة المتعلقة بما يدعي المتعلق.
          فعلي الداعي ان يدعو غيره علي سبيل الرشد تحت اساس القران، كالمنبع الاساسي للسلوك الي سبيل الحق. قال الله تعالي: ادعوا الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن (النحل: 125).  نستنبط من هذه الأية ثلاثة معاني نحصل بها نجاح الدعوة، يعني الحكمة، و الموعظة الحسنة و المجادلة بالتي هي الأحسن.
·        الحكمة
اذا نبحث عن الحكمة، فنرتجع الي النواحي الشتي، يعني الحكمة المتعلقة بالداعي، والدعوة، وبما يدعي به، وباسلوب الدعوة. الداعي الحكيم هو الذي ذوشخصية الكريمة و يستفيده كثيرا ما من المجتمع وهم يحبونه، وما الذي بلغه اليهم ليس ما إلا وهي الذرة وصفات المحمودة كالصدق، العمل الحق، والتواضع، والمعاشرة الجيدة.
التعميق بما علم الداعي في العلم وخصوصا في الشريعة من أهم ما يجب عليه القدرة. والعلم الواسع سيساعد الداعي كثيرا في شرحه وتفهيما للمدعوات. كذلك في تطبيق العلم فينبغي عليه ليكون قدوة لهم. ياأيها الذين أمنوا لم تقولون مالاتفعلون كبر مقتا عند الله أن تقولون ما لاتفعلون(سورة الأنعام:90). الداعي الحكيم يتعلق بالقدوة أعني الدعوة بالحال، فالقدوة تزيد همة الإقتداء في المدعو به، فطبعا تساعد الداعي في دعوته. فينبغي علي الداعي أن يعمل ما علمه بالإستقامة
والحكمة من اسلوب الدعوة كذلك أن يكون خفيفا وسهول الفهم لما يدعي به، منسجما وموافقا بعقلهم، واختيار الكلمة السهلة والموضوعات العصرية الحادثة فتكون وجيبا حتي يفهمون جيدا ولايسؤون في الفهم ولايتساءمون.
والداعي أن ينظر طبقات ما يدعي به، لان ليس كلهم من الماهرين، الاذكياء، كذلك هناك من الجاهلين وغيرهم متنوة شتي.
·        الموعظة الحسنة
علي الداعي ان يبلغ بطريقة حسنة، علي ما شاء منهجه، فالمهم ليس هناك العنف وغيرها وحصول نجاح الدعوة كالقصة، نصيحة علي طريقة مقارنة وغيرها. فعلي الداعي أيضا كالطبيب الذي يفهم من مراض المرض ليحل لهم مسئلتهم.
·        المجادلة بالتي هي الأحسن
نظرا من خلفية المدعو به، فنجد منهم الفرق بين واحد واخر، فمن الممكن هناك من الإعتراض، والتساءم، فعلي الداعي ان يجادلهم بالتي هي أحسن، فربما بالمحاورة العلمية او تساؤلات وغيرها.

Rabu, 21 Juli 2010

PENEBANGAN POHON ‘ALA MODERN

Salah satu hadits tentang penebangan pohon adalah “man qatha’a sidratan shawaba allahu ra’sahu fi al-nar”, barang siapa yang menebang pohon sidr, maka allah akan mengucurkan kepalanya kedalam api neraka.

Hadits ini, dalam kitab kasyfu al-khafa’ karya Imam al-‘Ajulani, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Baihaqi dari Abdillah bin Khabsy r.a yang me-marfu’-kannya (menyandarkannya pada nabi saw) begitu juga sahabat Jabir. Dari Siti Aisyah r.a mempunyai lafadz yang berbeda “alladzina yaqtha’una al-sidra yushabbuna fi al-nar‘ala ru’usihim shabba”. Dari sahabat Ali k.w juga mempunyai matan yang berbeda “la’ana allahu qathi’ia al-shidra”. Dari ‘Amr bin Aus al-Tsaqafi “man qatha’a al-shidra illa min al-zar’I shabba allahu ‘alaihi al-adzabu shabba”. ‘Urwah dari Ibnu Zubair menaruhnya di derajat mursal (terputus akhir sanadnya setelah tabi’i) dengan lafadz yang sama dari Siti ‘Aisyah. Kesemuanya dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi akan tetapi beliau menaruh semuanya dalam derajat munqathi’(terputus) dan dla’if (lemah) kecuali yang pertama, yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah.

Sedangkan masalah esensi hadits, Imam Baihaqi memberikan pandangan sendiri yang unik, yakni tidak semua penebang pohon mendapat laknat rasulullah Saw, akan tetapi penebang pohon yang biasanya dipergunakan berteduh bagi ibnu sabil.

Abu Tsur pernah bertanya juga masalah ini pada Imam Syafi’I dan beliu menjawab tidak ada masalah dalam penebangan pohon sidr, kalau memang itu adalah larangan secara pasti maka rasul tidak akan memerintahkan untuk memandikan mayit dengan daun pohon sidr. Yang dilarang dan dilaknat adalah penebangan pohon tanpa adanya intifa’(memanfaatkan).

Bila ditarik ke garis yang lebih universal, maka penebangan adalah salah satu cara untuk mengurangi, menghabiskan, atau mendholimi tumbuhan dan pohon akan tetapi masih dalam tanda kutip, tanpa adanya pendaya gunaan terhadap apa yang telah ditebang atau dihancurkan.

Di zaman teknologi canggih seperti sekarang ini, pemusnahan tumbuhan atau katakanlah penghancuran lingkungan lebih bersensasi lagi. Dari penebangan ala tradisional (kapak dst), sampai yang melalui rekayasa pencemaran air dan udara dari limbah-limbah pabrik industry sehingga mengakibatkan kurang bagusnya lingkungan disekitar, baik postur tanah, air, atau udara yang terinveksi olehnya yang mengakibatkan kurang menunjangnya tumbuhan atau pepohonan tumbuh dilingkungan sekitar.

Nah, kalau di Jombang akhir-akhir ini ada penggalian minyak disembilan titik daerah maka harus ada pemikiran ulang masalah limbah yang dihasilkan, jangan sampai kita termasuk orang yang menebang pohon (dalam esensi) secara dlolim, tanpa adanya intifa’. Solusi penanganan limbah diharapkan tidak terlalu lama agar tidak menghancurkan daerah sekitar. Ini yang menjadi PR kita sekarang!!