Cari Blog Ini

Selasa, 27 Juli 2010

Hubungan Antara Syari’ah Islamiah dengan Maslahah

A. Perhatian Syari’ah Islam terhadap Maslahah
Lepas dari perbedaan pendapat tentang apakah ‘illat itu berperan (mu’tsir) di dalam syari’ah, sebagai pendorong (al-baits) atau tanda (mu’arraf) saja yang jelas jumhur ulama sepakat bahwa semua hukum Allah SWT mengandung maslahah di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana kesepakatan mereka tentang tujuan syari’ah adalah mewujudkan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia.

Selain itu tinjauan maslahah membentuk sebagian besar dari petunjuk yang dimana seorang mujtahid akan mendapatkan titik terang dalam mengetahui hukum-hukum maslahah yang tidak di nash oleh Allah SWT.
Bukti-bukti bahwa syari’ah sangat memperhatikan maslahah dapat kita temukan dalam al-Qur’an, al-Hadits, dan kaidah-kaidah para fuqaha.

1. Dalil al-Qur’an
a. “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya:107)

Risalah kenabian baru bisa dikatakan rahmat bagi seluruh manusia ketika yang di sampaikan itu selaras dengan kemaslahatan, membawa kebahagiaan hakiki bagi mereka. Karena jikalau tidak demikian, maka bukanlah rahmat, akan tetapi siksa.

Sebenarnya ayat ini akan lebih detail dalam menawarkan kebahagiaan yang dimaksud jikalau disambung dengan ayat setelahnya, yang menjelaskan tentang keimanan. Yakni, kebahagiaan itu akan tergapai dengan melalui tangga keimanan. Sekaligus membuktikan bahwa maslahah dalam pandangan islam tidak bernilai profan, tapi juga mengandung nilai keagamaan.

b. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seuan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. Al-anfal:24)

Ayat ini menjelaskan dengan gamblang hubungan antara taat dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul dengan kehidupan. Bukan sekedar kehidupan, akan tetapi kehidupan yang mengaju pada ideal, bahagia dunia dan akhirat. Jelasnya, bagi orang yang ingin hidup ideal, bahagia dunia akhirat maka hendaknya mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya.

Ini menyatakan bahwa maslahah dalam islam tidak hanya dalam masalah kesenangan yang tidak bernilai dan keduniawiaan saja, akan tetapi mengaitkan dua sisi sekaligus, yakni maslahah dalam dunia yang bersifat horisontal (antar makhluk) dan sisi vertikal (dengan Tuhan)

c. Masih banyak ayat-ayat lain yang menerangkan alasan sebuah hukum secara parsial, seperti: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-baqarah:185), Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal. (QS. Al- baqarah: 179), Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyenpurnakan nikmat-Nya. (QS. Al-maidah: 91), dll”

2. Dalil al-Hadits
a. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Iman terdiri lebih dari tujuh puluh cabang, paling utama adalah La ilaha illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (penyakit) dari jalan. (HR. al-Nasa’i)
Hadits ini sangat mendukung dalil-dalil al-qur’an diatas, bahkan sangat jelas.

Ternyata kesempurnaan iman seseorang bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, bahkan yang spele sekaligus, seperti yang dicontohkan hadits diatas, yakni menyingkirkan duri (penyakit) di jalan. Ini menunjukkan bahwa keimanan seseorang akan semakin sempurna ketika ia tidak hanya memfokuskan hubungannya dengan Allah semata, tapi juga terhadap sosialnya.

b. Seluruh makhluk adalah keluarga Allah, sedang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya. (HR. Abu Ya’la dan Ibn Abi Syaibah)
Disini Rasulullah menjelaskan bahwa kedekatan manusia kepada allah SWT diukur dari kemanfaatan dan pengabdiannya pada hamba-Nya, hal itu akan terlaksana dengan maslahah dan pelimpahan kebahgiaan hakiki kepada mereka

Dan apabila timbangan kedekatan manusia dengan tuhaannya dalam pengamalan adalah pengabdian kebaikan (maslahah) hamba, maka eksistensinya adalah bahwa timbangan ini termasuk syari’at islam itu sendiri.

c. Dari Ibn ‘Abbas RA. Ia berkata, Rasulullah bersabda: tidak boleh mendatangkan madlarat dan tidak boleh saling mendatangkan madlarat. (HR. Ibn Majah dan al-Daru Quthni dari Abu Sa’id al-Khudri)

Dlarar dalam bahasa arab berarti mendatangkan madlarat kepada diri sendiri atau orang lain, sedangkan dlirar adalah mendatangkan bahaya pada orang yang telah menyakiti kita, atau saling mendatangkan bahaya antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, secara tegas menjelaskan bahwa islam tidak memperkenankan mafsadah.

3. Dalil Kaidah Fikih
a. Pembagian Dosa Besar dan Kecil
Pembagian dosa besar dan kecil sudah ditetapkan dalam al-qur’an dan al-hadits (al-Nisa’:31, al-Najm: 32), pembagian tersebut bukan dilihat dari besar kecilnya maksiat, karena dihadapan allah tidak berpengaruh apapun.

Bahkan, Izzu al-Din bin Abdi al-Salam menjelaskan bahwa perintah Allah tidaklah berbeda dipandang dari segi esensinya, maksudnya, kekuatan perintah Allah untuk melakukan sesuatu yang paling utama sama dengan kekuatan perintah untuk melakukan sesuatu yang terendah. Begitu juga dengan larangan-Nya, kekuatan larangan pada dosa besar sama dengan kekuatan larangan terhadap dosa kecil. Perbedaan pembagiaanya adalah dipandang dari sudut besar kecilnya maslahah yang dihasilkan dalam perintah dan besar kecilnya maafsadah yang dihasilkan dalam larangan-Nya.

b. Penetapan Hukum Wadl’i
Maksudnya, penggantungan hukum taklif itu bersandar pada orang yang berakal dan baligh. Jikalau demikian maka akan mengalami kemuskilan ketika bertabrakan dengan maslahah antar manusia, misalnya, ketika anak kecil merusak sepeda motor orang, maka secara hukum taklif anak kecil tersebut bebas dari tanggung jawab karena dia belum baligh, dan tentunya akan merugikan pihak lain (yang dirusak). Disinilah letak peran hukum wadl’i, menyempurnakan kekurangan dari hukum taklif. Dengan hukum wadl’i, anak tersebut tidak bebas dari tanggung jawab perbuatannya. Karena sudut pandang hukum wadl’i adalah sebab akibat (klausal, dll), yakni sebab anak kecil tersebut telah merusak maka harus mengganti (tanggung jawab)1 . Ini berbeda dengan hukum taklifi, karena sudut pandang hukum taklifi adalah subjeknya. Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa syari’at sangat memperhatikan maslahah manusia

c.Mempertimbangkan Kebiasaan yang Berlaku
Bukti nyata pertimbangan maslahah dalam adat diantaranya adalah bahwa syari’ menetapkan beberapa hukum yang diambil dari kebiasaan orang arab jahiliyah seperti sumpah, diyat, kesepadanan suami istri (prinsip kafa’ah), baju ka’bah, dll yang dipandang baik dan sesuai dengan akhlaq mulia. Karena Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak “innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq”

Disinilah kehebatan agama islam, yakni bukan sebagai penghancur budaya dan peradaban masyarakat setempat, tetapi sebagai penuntun manusia menuju hidup yang sempurna dan ideal serta mewujudkan maslahah. Bukan berarti islam mendukung atau terpengaruh oleh budaya dan adat yang berlaku akan tetapi memang dipandang baik dan mempunyai maslahah yang tidak bertabrakan dengan tujuan agama islam sendiri.

B. Pembagian maslahah pada dunia dan akhirat
Berbicara tentang syari’ah maka yang terkandung didalamnya adalah masalah akidah, ibadah, dan muamalah. Pertahanan maslahah hanyalah dibidang muamalah.
Banyak ulama yang mengklasifikasikan maslahah pada dua permasalahan yakni ukhrawiyah yang terdiri dari akidah dan ibadah. kedua adalah dunyawiyah yang terdiri dari muamalah

Pada mulanya pembagian seperti ini tidaklah terdapat pada awal berdirinya islam, dan hakikatnya semua yang ada dalam syari’ah baik akidah, ibadah dan muamalah semua mengandung maslahah didunia dan akhirat. Orang islam yang bermuamalah (interaksi) dengan sesamanya sesuai apa yang diajarkan oleh islam maka ia dihukumi melaksanakan perintah ilahi, ia dapatkan maslahah dunia dan akan mendapat surga di akhirat kelak.

Adapun orang yang ahli ibadah, memperbanyak dzikir, dsb. Akan mendapat pahala dan mendapatkan ridlo-Nya di akhirat serta akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan di dunia.

Terbaginya maslahah pada dunia dan akhirat disini bukan berarti maslahah sendiri-sendiri. Dalam artian maslahah di dunia dan di akhirat tidak atau sebaliknya. Islam menjelaskan tentang maslahah yang dimaksud adalah maslahah di dunia dan akhirat. Yakni keduanya.

Dalam al-qur’an sangat jelas keterkaitan maslahah dunia dan akhirat tersebut, surat al-zilzalah ayat: 7 misalnya: “barang siapa yang mengerjakan kebaikan walaupun sebiji sawi akan diperlihatkan dan barang siapa yang berbuat kejelekan walau sebiji sawai juga akan diperlihatkan”. Dari sini bisa dipahami bahwasanya perbuatan yang dilakukan sekarang, baik mengandung maslahah ataupun mafsadah, akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. jadi secara tidak langsung ayat ini menerangkan tentang keselamatan (maslahah) tidak hanya berhenti pada dunia saja, akan tetapi sampai akhirat masih berlanjut. Yang bisa memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Atau surat lain misalnya al-ankabut: 45 “sesungguhnya shalat mencegah dari kemungkaran” yang apabila kita melakukan perbuatan ubudiya seperti shalat juga akan berpengaruh pada perbuatan dunia kita seperti terjauh dari kemungkaran dan akan memperbagus akhlaq interaksi kita sesama manusia

Jelaslah sudah bahwa unsur maslahah yang terbagi menjadi tiga, ubudiyah, akidah dan mu’amalah pada dasarnya mempunyai orientasi yang sama yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat tanpa menafikan salah satunya.

C. Kontradiksi Illat dalam Tubuh Ahlu al-Sunnah dan penyelesaiannya
Pada dasarnya ulama ushul fikh sepakat menamakan mashlahah sebagai tujuan Allah menurunkan syari’at (qashdu syari’), jadi secara tidak langsung mereka berpendapat bahwa tuhan mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan-Nya.

Dari tujuan syari’at tersebut akan bisa diketahui illat diturunkannya hukum dan mencetuskan hukum baru yang belum termaktub dalam nash berdasarkan mashlahah umat, intinya sebuah hukum itu bisa dipahami dari illat diturunkannya hukum tersebut.
Ini berseberangan dengan paham filsafat yang dikembangkan oleh ulama ahlu sunnah (baca: asy’ariyah dan maturidiyah) yang dasar pemikirannya memandang bahwa Allah sebagai penguasa langit dan bumi, segala kemauan-Nya tidak bisa ditolak dan dijangkau oleh nalar manusia. Dia bisa berbuat tanpa tujuan tertentu. Semua yang di alam semesta kehendak muthlaq Allah.

Al-amidi berpendapat: pendapat golongan yang benar (ahl al-haq) adalah tuhan mencipta alam tanpa berdasar pada suatu tujuan tertentu, tidak pula pada suatu kebijakan yang bergantung atasnya makhluq, tetapi segala yang diciptakan oleh-Nya berupa kebaikan dan keburukan yang mendorong tuhan melakukannya, justru berbuat atau tidak adalah boleh dan itu sama saja bagi-Nya.2

Tapi ternyata kontradiksi tersebut masih bisa ditarik benang merah. Illat dalam pandangan ahlu sunnah adalah sebagai penanda hukum, bukan pencetus hukum atau pencetus mashlahah. Pencipta hukum dan mashlahah sesuatu adalah Allah. Ini sesuai denangan paham okkasionalisme yang dikembangkan asy’ariyah.3

Walaupun pencipta tunggal dan segala kemuthlakan kekuasaan adalah Allah yang bebas berbuat tanpa tujuan, tapi Allah menentukan sunnah-Nya (hukum ‘adi/ kebiasaan) yang darinya manusia bisa memahami karakteristik ciptaan-Nya. Seperti hukum api dan panas, dalam pemahaman teologi ahl sunnah, dua hal tersebut tidaklah berkaitan. Api tidak wajib menyebabkan panas dan sebaliknya. Allah lah yang menyebabkan api itu panas.

Dari hukum kebiasaan inilah, manusia mengerti dan memberi tanda bahwa api itu panas, begitu juga tentang illat hukum dan hukum yang menimbulkan mashlahah, karean kebiasaannya mengandung mashlahah maka dari situlah bisa dipaham dan diberi tanda (sebagai tanda)

Para pakar ushul fikih hanya memfokuskan pada pembahasan hukum sunnatullah atau yang tampak bagi manusia. Bukan pada penyebab sejati. Allahu ‘alam!
____________________________
1 Tanggung jawab disini bukan digantungkan pada sifat anak kecil tersebut (subjeknya), akan tetapi digantungkan pada harta dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini tanggung jawab dipegang penuh oleh walinya sampai ia baligh. Jika sudah baligh maka hukum tersebut digantungkan pada subjeknya (orangnya), karena dia sudah bisa memahami khitab. Begitu juga dengan orang gila atau kemunduran akal, tanggungan diserahkan penuh pada wali sampai mereka sembuh dari gilanya. (lihat ushul fikh wahbah zuhaili bab makhkum ‘alaih)
2Hamka Haq, al-Syathibi Aspek Teologi Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, hal.79. thn. 2007 PT. Gelora Aksara Pratama
3 aliran ini muncul dikalangan sekte cartesia, yang kemudian dikembangkan oleh geulin (1632-2669 M) yang berpendapat bahwa manusia hanyalah penonton terhadap gerakan-gerakan jasmani yang digerakkan sepenuhnya oleh tuhan. Selanjutnya paham ini dikembangkan pula oleh malebranche (1638-1715) yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara dua peristiwa yang tampaknya merupakan rantai sebab akibat. Tuhanlah satu-satunya penyebab. (lihat Hamka Haq, alsyathibi, hal.126)


Daftar pustaka:
1. Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, Dlawabith al-Mashlahah Fi al-Syari’at al-Islamiyah, -cet.6- 2001, Bairut-Libanon
2. Dr. wahbah zuhaili, ushul fiqh al-islami, jld 1, 2006 M, damaskus: dar al-fikr
3. Redaksi (M. masrukhan), Buah Pikiran untuk Umat Telaah Fiqh Holistik, lirboyo kediri, 2008: kasturi
4. Hamka Haq, al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, 2007, PT. gelora aksara pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar