Cari Blog Ini

Kamis, 22 Maret 2012

TOLERANSI BERAGAMA, PLURALISME DAN NEGARA KESATUAN Oleh: Yayan Musthofa

Karakter dasar manusia yang diciptakan oleh Allah dan tidak bisa dipungkiri kebenarannya adalah hidup secara bersama (makhluk sosial), yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lain, karena manusia tidak akan mungkin menyelesaikan semua kendalanya tanpa bantuan sesama.

Hal itu, Seperti yang pernah ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab al-Tibyan (dalam bab qonun asasiy), walaupun sebenarnya karya itu ditujukan untuk Nahdlatul Ulama’ menurut pengakuan kalangan Nahdliyyin sebab terlahirnya karya tersebut adalah untuk mereka, akan tetapi yang mengagumkan dalam karya itu, beliau lebih memakai rangkaian kata yang lebih global. Sehingga semakin banyak dikaji, semakin banyak arti yang tersirat. Sedikit cuplikan mungkin bisa menggambarkan asyiknya rangkaian kata beliau:

ومن المعلوم ان الناس لابد لهم من الاجتماع والمخالطة، لان الفرد الواحد لايمكن ان يستقل بجميع حاجته، فهو مضطر بكم الضرورة الى الاجتماع الذي يجلب الى امته الخير ويدفع عنها الشر والضير، فالاتحاد وارتباط القلوب ببعضها، وتضافرها على امر واحد، واجتماعها على كلمة واحدة من اهم اسباب السعادة، وأقوى دواعى المحبة والمودة، وكم به عمرت البلاد، وسادت العباد، وانتشر العمران، وتقدمت الاوطان، واسست المالك، وسهلت المسالك، وكثرت التواصل الى غير ذلك من فوائد الاتحاد الذي هو اعظم الفضائل وامتن الاسباب والوسائل.

Di sini yang lebih ditekankan adalah persatuan “al-ittihad” antar sesama manusia (annas) demi ketentraman (imron), dan kebahagiaan (sa’adah). Dan yang menarik adalah bukan kata yang partikuler, menggunakan muslimin, atau kelompok tertentu melainkan manusia secara umum.

Ada semacam kesadaran instrik ketika bersikukuh mendirikan sebuah kesatuan Negara, maka di dalamnya pasti terkandung manusia yang mempunyai karakter plural (majmu’), baik perbedaan agama, ras, suku, dan lain sebagainya yang tentunya pasti mempunyai perbedaan. Dan yang meletakakkan kesamaan di antara semuanya adalah bahwa semua adalah “manusia” yang mempunyai kesamaan tujuan, yakni makmur dan bahagia.

Di sisi lain, manusia terbagi secara geografis (dalam politik) yang melahirkan sifat kebersamaan dalam ranah mana mereka berkelompok atau berkoloni sehingga mempunyai satu tujuan khusus atas nama kebersamaan sehingga terbentuklah “Negara”. Kita tidak bahas lebih jauh masalah ini, akan lebih menarik jika difokuskan pada rasa “persatuan” yang mereka tanamkan pada kelompok dimana mereka tinggal sehingga bisa mengayomi semua yang di dalamnya.

Permulaan untuk mewujudkan “persatuan” mempertahankan “Negara” sebagai rumah tinggal bersama adalah saling memahami dan mengerti tentang keberagaman yang ada. Oleh karenanya, tidak seharusnya ada semacam kekerasan dalam rumah tangga yang di mana mereka yang tinggal adalah masih saudara kita sendiri. Bahkan sebaliknya, yang dibutuhkan adalah sifat rasa kasih sayang (al-rifqoh) terhadap saudara. Di sini Khadratus Syaikh pernah mengemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Sayyidah ‘Aisyah: “sesungguhnya siapa yang diberi sifat belas kasih maka dia benar-benar diberi bagian dari kebaikan dunia dan akhirat. Silatur rahim, berbaik dengan tetangga, dan berakhlak baik, akan meramaikan rumah dan menambah umur”. Belas kasih dan kebaikan tanpa adanya “kekerasan” itulah yang bisa menentramkan rumah.
Toleransi Beragama Sebagai Kunci Persatuan

Dari berbagai kericuhan yang sering terjadi banyak yang digaungkan bahwa kendala dasarnya adalah masalah keyakinan beragama, walaupun sudah tidak sedikit tulisan yang beredar membahas perdamaian dan saling menghormati antar keyakinan.

Islam pun, sebagai agama mayoritas sebenarnya sudah selayaknya tidak berbuat ricuh untuk masalah keyakinan. Baik antar sesama pemeluk Islam ataupun dengan non-Islam. Karena Nabi kita pada masa awal pun yang dilakukan adalah mempersatukan atau membangun keharmonisan antara kaum muhajirin dan anshor, dijadikan sebagai saudara. Begitupun dengan non-Muslim, Nabi membangun keharmonisan dengan kaum nasrani, yahudi, bani aush dan khazraj yang termaktub dalam piagam madinah. Maka sudah tak seperlunya lagi ada pertengkaran “jahiliyah” lagi.

Kalaupun dasarnya adalah surat al-Baqarah ayat 120 yang berbunyi “dan orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran akidah mereka”, maka ada penafsiran menarik yang sudah dipaparkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tulisannya yang berjudul “Islam Dan Dialog Antar Agama” beberapa tahun silam. Yakni selama keyakinan kita adalah Allah satu dan Muhammad utusan-Nya, maka selama itu pula mereka tidak ridlo, seperti halnya kita tidak ridlo mereka berkeyakinan bahwa Yesus adalah anak Tuhan dalam Kristen dan yahudi adalah umat pilihan Tuhan. Dalam artian, kita dan mereka sama-sama tidak menerima ajaran yang ditawarkan itu.

Dan kalau itu kemudian dijadikan sikap untuk saling bermusuhan, maka niscaya sampai hari akhir tidak ada kedamaian, bahkan yang adalah kekerasan dan hidup tidak tentram karena masing-masing merasa ter-teror.

Alangkah baiknya, jika yang dilihat adalah sisi positif dari keberagaman yang bersifat membangun kesatuan Negara (rumah tinggal), kalau dalam ajaran kita adalah “mu’amalah”, hubungan sosial-ekonomi. Tanpa harus menanyakan terlebih dahulu KTP mereka. Saling bekerja sama demi kebaikan.

Bahkan ada kaidah fiqh menarik yang dipaparkan juga oleh Gus Dur, cucu Khadratus Syaikh, mengenai masalah diatas “ma laa yatimmul wajib illa bihi fahua wajib” sesuatu yang wajib tidak akan tercapai tanpa adanya hal tersebut, maka hal itu menjadi wajib pula. Dalam artian, ketika kesatuan Negara dan kerjasama “rumah tangga” untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman merupakan suatu kewajiban, maka hal saling menghormati, toleransi beragama, dan pemicunya yang lain juga menjadi perangkat yang wajib dijalankan pula.

Contoh kasus misalnya, permasalahan sepele yang pernah ditulis Gus Dur tentang penggantian “salam” dengan ucapan “selamat sore” yang sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Soalnya, ada yang lebih menarik dalam kisah 2 sahabat Nabi yang diancam oleh kaum kafir pada masa awal penyebaran Islam, yang satu tetap mempertahankan keimanannya dalam deraan kaum kafir sehingga wafat, dan yang satu mengaku mengikuti mereka dengan melepas keimanannya. Dan akhirnya menghadap Nabi dan menjelaskan bahwa dia sebenarnya masih beriman dalam naungan Nabi, sedangkan pengakuan yang diucapkan pada kaum itu adalah usahanya untuk tetap hidup. Dan beliau membenarkan hal tersebut.
Ada kaidah fiqih yang menarik dalam hal ini, “al-umuru bi maqosidiha”, sebuah perkara tergantung pada niatannya. Maksudnya, karena dia menginginkan hidup dan bersama Nabi, maka dia berbohong. Tidak ada niatan keluar dari islam, walaupun yang diucapkan dalam keadaan itu adalah lafadz yang mengakibatkan dia yang seharusnya sudah dihukumi murtad.

Bahkan, kalau di tarik ke masa kita yang sekarang, pengucapan “selamat hari raya” adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan, karena hal itu adalah salah satu pemicu untuk mencipkatan keharmonisan hidup antar umat beragama dan membentuk kesatuan bernegara. Tanpa ada niatan kita mengimani atau meyakini akan kebenaran iman agama masing-masing. Setidaknya demikian.

Yang tak habis pikir adalah perbedaan di kalangan muslim sendiri. Kenapa sampai ada anarkis seperti yang tidak lama adalah kasus pembumihangusan warga Syi’ah di Madura. Sesuatu yang kekanak-kanakan. Bukankah para pendahulu kita sudah lama mempunyai perbedaan itu? Dan bukankah adegium dalam kalangan kita “ikhtilaful a’imti rahmatun lil umam” perbedaan di kalangan pemimpin umat adalah rahmat bagi umat. Atau “ikhtilafu ummati rahmatun” perbedaan dalam umatku adalah rahmat. Perbedaan adalah sebuah kewajaran, yang tidak diperkenankan adalah perpecahan dan permusuhan atau bahkan sampai berbuat ricuh sampai bunuh-membunuh.

Oleh karenanya dan setidaknya, toleransi (al-tasamuh), saling pengertian, berbelas kasih, dan nilai-nilai kemesraan yang lain harus tertanam dalam diri kita agar tidak terkesan semacam cultur shock. Dulu waktu Ulil lahir dengan Islam Liberalismenya, geger. Muncul Ahmadiyah, perang. Timbul Syi’ah, rame. Sholawat wahidiyah, debat lagi. Dan seterusnya yang tidak selayaknya menjadi karakter dalam diri kita. Apa tidak capek?? Semoga bermanfaat!

TUANGKAN “VODKA”, DAN MARI BERSULANG!

Dalam film “hertstring” episode pertama sampai tiga digambarkan dua fakultas yang selalu bersaing dengan karakter pemain sendiri-sendiri, yakni fakultas music tradisional dan fakultas music terapan/modern. Sampai suatu ketika mereka mengadakan taruhan untuk membuktikan fakultas music mana yang paling banyak digemari oleh banyak mahasiswa.

Yang menegangkan ketika music tradisional bisa dikatakan sangat menarik dan kemungkinan besar menang, tapi senar gitar yang dipakai putus, sehingga music yang dimainkan belum tuntas. Indahnya alat music tradisional yang dimodivikasi sedemikian rupa sehingga menemukan keasyikan paduan suara antar alat music. Tapi memang nasib belum beruntung sehingga music tradisional dinyakatan kalah karena memang belum tuntas termainkan.

Sekilas tentang film diatas yang ingin diflourkan adalah pertarungan “pencitraan” antar fakultas. Secara tidak langsung, ketika fakultas yang mereka tekuni berhasil menunjukkan taringnya di hadapan massa, maka akan semakin banyak penggemar dan pengikut yang akan menekuni fakultas tersebut. Dalam artian, semakin banyak mahasiswa yang akan mengambil jurusan yang berhasil menampakkan citranya di hadapan public. Karena dirasa berhasil, dan sanggup merebut hati massa.

Dalam tataran yang lebih luas sedikit adalah kampus. Pertarungan “pencitraan” antar kampus untuk menunjukkan yang lebih unggul sangatlah dimungkinkan, walaupun itu bukanlah tujuan utama, tapi tidak bisa dipungkiri akan adanya hal tersebut demi kemajuan kampus untuk berusaha menjawab tantangan zaman dan mendampingi masyarakat sekitarnya.

Sebenarnya, banyak kaitan ketika membicarakan tentang kemampuan kampus atau mahasiswa yang berperan penting dalam dunia akademika dan masyarakat sekitar di sisi lain. Maksudnya, antara kampus, mahasiswa, dan masyarakat sekitar setidaknya ada atau berusaha membangun sebuah hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Labih rincinya, ketika hubungan antara mahasiswa dengan pihak kampus berjalan mesrah dan saling mensupport untuk kemajuan mahasiswa dalam perkembangannya di ilmu pengetahuan yang digeluti sehingga bisa tanding antar kampus dan merebut citra, maka semakin banyak mahasiswa yang akan terpincut untuk masuk pada kampus tersebut. Sehingga yang terjadi adalah banyaknya respon dari kalangan yang lebih luas baik itu instansi yang siap membantu pembangunan kampus untuk lebih besar lagi, atau dari income mahasiswa yang semakin membludak yang juga bisa mempercepat pembangunan fasilitas kampus. Oleh karenanya, sangat dimungkinkan untuk pemunahan kebutuhan bersama dalam dunia academia seringan memblik tangan.

Tidak berhenti dalam kehidupan kampus, karena pada realitanya, ketika kampus berhasil merekut sedemikian besar mahasiswa, maka yang terjadi adalah perkembangan ekonomi di wilayah sekitar yang juga menguntungkan bagi mereka. Katakatanlah pembangunan kos atau kontrakan, warung, tempat hiburan mahasiswa, taman bacaan, warung mahasiswa, dst yang juga melengkapi kebutuhan mahasiswa. Maka secara tidak langsung, kampus telah memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar. Itu dalam ranah materiil, yang ranah kemajuan lain seperti pengetahuan, tatanan masyarakat, dst masih butuh perjuangan lebih lanjut dan pemikiran bersama.

Tidak sesulit yang diresahkan sebenarnya untuk melihat kampus terlihat lebih maju (pencitraan), karena di era abad kita ini, ranah perjuangan tidak sesempit yang dibayangkan. Makanya, butuh kerjasama antara pihak kampus dan mahasiswa demi kebersamaan yang lebih maju. Kalau saya boleh mempersingkat, ya seperti yang ada dalam judul “tuangkan vodka, dan mari bersulang”, sebagai symbol persetujuan dan kebersamaan dalam memperjuangkan sesuatu. Bukankah demikian? hehehehe

SIBAK TIRAI-MU YA RASUL

Mereka bercerita tentang gurun sahara kepadaku
Kering kerontang dengan setetes oase fatamorgana penghias imajinasi
Hidup di tengara, kumpulan setengah manusia saling menghujam
Pedang, panah, tombak menyisihkan anyir darah menyengat hidung
Selalu, bantai membantai
Mengidam aufklarung yang tak kunjung datang
Mereka bercerita, percayakah kau?
Semua ingin hidup kekal menguasai gurun gersang
Berabad-abad hidup, di dunia yang ku tak mau hidup di dalamnya
Sungguh!
Tak ditemukan tetesan surga, kata mereka
Ntah kenapa, utusan pencipta itu setia hidup di sana denga risalah yang diemban
Taukah kau?
Mereka bercerita, utusan itu menderakan hujan dalam kalbu mereka
Tetesan ruhani, menyuburkan gurun
Setelah berabad-abad
Gersang gurun, berubah rimbun dengan desiran angin sepoi
Dalam kalbu, dalam imaji
Ya Rasul!
Mereka bercerita, itu adalah engkau yang berjuang menanam benih hutan kedamaian
Ya Rasul!
Mereka bercerita, pernah menangis dalam dekapan-mu
Ya Rasul!
Mereka bercerita, surga ada dalam pelukan-mu
Ya Rasul!
Taukah Engkau?
Ku ingin pula menangis dalam dekapan-mu
Sibakkan tirai-mu, dekap tubuh jiwaku

Jombang, 04 Februari 2012
Dalam Rangka Maulid Nabi SAW

MEMET HARIYANTO DAN RANDU GEMBUNG

Di Mojokerto, jalur menuju wisata Pacet dari arah Brangkal atau Pacing pasti akan melewati Kecamatan Dlanggu, area agraris khas pebukitan yang penuh dengan tumbuhan, tanaman, dan semacamnya dengan segala kesegarannya plus warung kopi khas arsitektur desa dengan anyaman bambu, bagus buat melepas suntuk dan merefresh pikiran yang lagi penat.

Nah, dari sekian desa yang ada di kecamatan Dlanggu ada yang namanya desa, atau lebih tepatnya dusun Randu Gembung, yang masih bisa dikatakan daerah agraris yang terletak ditengah sawah, hampir mirip dengan geografis Pondok Pacul Gowang. Hanya saja, lebih daerah itu lebih luas sedikit dan lebih segar, karena memang terletak di pebukitan atau kaki gunung pacet.

Selaras dengan daerahnya, penduduk yang menetap di sana bisa dikatakan bersifat lambat dalam semangat perubahan, apalagi dalam pendalaman keilmuan. Lebih senang dengan ketenangan, adem ayem. Bagaimana tidak, kalau hanya tinggal tanam bisa memenuhi kebutuhan perut, masalah yang lain tidak terlalu menggoda. Yang menarik adalah kumpul ngrumpi khas penduduk desa, sebagian di rumah tetangga, ada sebagian di warung kopi, sebagian lagi di gladak (tempat yang di bangun dari anyaman bambu untuk nongkrong, layaknya tempat ronda), sebagian yang lain sesuai dengan yang mereka senangi, bahkan buk (jembatan sungai) juga bisa di pakai nongkrong. Yang terakhir ini yang paling diminati para pemuda. Pagi, sore, dan malem hampir selalu ramai dengan kedamaian dan ngrumpi. Adem ayem.

Sebuah kebanggaan, khususnya bagi saya, mempunyai teman yang bisa keluar dari besutan kesantaian menuju pergerakan makna hidup, namanya Memet Harianto, seorang yang mungkin sudah banyak yang kenal, mahasiswa ma’had aly yang mengambil sambilan kerja di rental pengetikan fifa dekat gerbang samping Pondok Tebuireng, jalur ke makam sementara. Di sini akan saya putar ulang sedikit track record kehidupannya.

Setahu saya selama mengenal desa Randu Gembung tentang para pemuda generasi selanjutnya mayoritas berhenti sekolah, atau sudah wegah untuk menyambung pendidikan lebih lanjut. Bisa dikata, 99,99% maksimal berhenti pada jenjang SMA sederajat, itu pun terkesan hanya sekedar mengikuti formalitas yang ada bahwa untuk umur segitu setidaknya bersekolah dan belum pada penikmatan mencari atau mengetahui orientasi ilmu sendiri. bahkan, tidak sedikit setelah SMP sudah emoh untuk melanjut studi. Mereka lebih tertarik pada pergulatan kerja, baik membantu orang tua bertani, membuat sepatu, atau kerja di luar daerah.

Memet adalah salah satu generasi yang bisa mendobrak itu, yang selalu dibanggakan dalam setiap pelepasan wisuda MI Nurul Huda di desanya, sebagai contoh teladan kebanggaan para guru dan motivasi belajar bagi para wisudawan/ti. Seorang yang bisa mewakili daerah Randu Gembung melawan sekian banyak pelajar Dlanggu dan menjadi utusan daerah Dlanggu untuk melanjut studi di Mts-MA al-Amin dengan beasiswa penuh. Salah satu sekolah swasta favorit di Mojokerto dirian ulama NU dan cendekiawan Mojokerto yang menggunakan sistem perpaduan salaf dan modern serta pernah tenar pada zamannya.

Karir keilmuan tidak berhenti di persaingan pelajar Dlanggu, di al-Amin yang notabenenya kumpulan dari pelajar pilihan lewat Lomba Tahunan yang diadakan Mojokerto, per-kelas hanya dihuni tidak lebih dari 25, kalau kelas saya dulu jumlahnya 15 siswa, yang merupakan cerminan dari perwakilan kecamatan yang ada di Mojokerto. Itu, Memet bisa mendapat peringkat 5 dan pernah mendapat peringkat 4. Karir yang menakjubkan jika dilihat dari lingkungan dia hidup dan berkembang.
Itu, terobosan awal, sekarang dia mengambil kuliah adalah terobosan lanjutan. Pernah iseng saya hitung dari teman-teman se-desa yang ia kenalkan, hanya 2-3 orang yang melanjutkan kuliah, termasuk Memet. Itupun, kapasistas keseriusannya dalam belajar masih jauh dibawah Memet dan mereka dari keluarga yang berekonomi mampu.

Berbeda dengan Memet, awal dia mengajukan kuliah saja sudah dilarang keluarga, tidak ada keluarga yang mendukung dia kuliah awalnya, karena memang tidak ada finance untuk membayar bulanan lembaga. Seandainya dulu di al-Amin dia juga dipungut biaya, mungkin sudah putus belajar.

Akhirnya, sekarang orang tua merestui juga melanjut kuliah sebab tidak hanya dapat beasiswa dari kampus Ma’had aly (terima kasih kami haturkan pada KH. Salahuddin Wahid), tapi dia juga bisa mendapat penghasilan dari rental pengetikan dimana ia kerja sekarang, bahkan, untuk mengridit sepeda motor dan membantu renovasi rumah dan terkadang pesangon untuk orang tua tatkala pulang ke rumah. Prestisius bukan dengan latar belakang yang seperti itu?

Tidak jarang mendapat undangan mengisi acara ritual agamis, semacam ceramah desa, khotbah jum’at, bilal, imam tahlil, imam shalat ramadhan dengan sedikit tausyiyah, dst. Yang lebih membikin saya melongo ketika ia menjadi moderator pelepasan wisuda sekolah di desa, disampaikannya dengan bahasa arab dengan penerjemah dari salah satu wisudawati bahasa inggris dan wisudawan dengan bahasa indonesia yang naskah adalah buatannya.

Sempat terkesima juga manakala menemani dia pulang, salam sambut dari berbagai arah selalu terlontarkan, kayak artis menerima fans.

Nah, sekarang, dia sudah mempunyai jodoh yang dipilih untuk melantunkan kehidupan lebih dewasa, berkeluarga. Insya Allah, tahun depan dia akan menikah dengan gadis Jombang. Mohon doa restu teman-teman agar keluarga yang ia bina selanjutnya bisa menjadi atap dan pondasi bagi penduduk sekitar!

DAN PEREMPUAN PUN BERHAK MEMILIH


Ada tulisan menarik tentang pacaran yang diflourkan oleh Fauz Noor dalam novel legendarisnya “Tapak Sabda” yang membahas tetang filsafat isalam yang disampaikan dalam bentuk karya fiksi, lumayan menarik untuk dikonsumsi.
Dia berusaha menarik akar kata “khithbah” yang pada umumnya berarti “lamaran/melamar” pada penalaran epistemic. Dari segi bahasa, kata “khithbah” berakar dari kata “khothoba” atau “kho’, tho’, dan ba’” yang mempunyai arti “berbicara, berdialog, atau interaksi”. Nah, dari sini, ditarik pada pengertian bahwa proses berbicara, berdialog, berinteraksi dan saling mengenal lebih jauh antar  lawan jenis pada zaman ini adalah berbentuk pacaran.
Ada pergeseran makna yang semakin elastis pada kata “khithbah” dari yang pada mulanya berbentuk semacam formalistic menuju arena lebih lanjut (pernikahan) menuju makna pacaran yang sebenarnya pada ranah tertentu juga mempunyai tujuan untuk hubungan lebih lanjut/rumah tangga. Hanya saja, prosesnya agak berbeda, kalau dulu terkesan formal, tapi dengan makna ini terkesan fleksibel.
Kalaupun ada pendapat lain tentang ketidaksetujuan pacaran, itu terserah. Yang jelas, kalau memang sepakat dengan tarik ulur pengertian diatas maka secara tidak langsung kita sepakati bahwa pacaran memang sudah dibahas dari sejak awal munculnya Islam. Hanya saja ada perbedaan bentuk jika diaplikasikan pada zaman sekarang mengingat penafsiran makna “Khithbah: lamaran”.
Yang lebih menarik, proses khithbah tidak lah monoton seperti pemahaman awal kita bahwa perempuan cenderung “terpaksa/bisa dipaksa” dalam melaksanakan pernikahan. Dalam proses khithbah (baca: pacaran), perempuan berhak untuk memilih pasangan yang sholih atau cakap dalam tataran tertentu.
Ada kasus menarik tentang hal diatas pada zaman Nabi SAW yang dialami oleh Fathimah binti Qais ra. Ketika beliau dilamar oleh Aba Jahm bin Hudzaifah dan Mu’amiwiyah, dia minta pendapat tentang keduanya pada Nabi Saw agar mendapat pencerahan. Analoginya dengan zaman kita adalah ketika si perempuan ada yang menaksir/menembak dari beberapa macam cowok yang ada, maka diperbolehkan curhat pada yang lebih alim tentang pemuda yang memacarinya. Dan cewek boleh memilih mana yang terbaik bagi dia.
Persaingan antar lelaki dalam merebutkan perempuan adalah sebuah kewajaran, dan pillihan perempuan adalah sebuah ketentuannya yang mengetuk. Itu sudah menjadi sebuah kebolehan. Maka tak ayal dan setidaknya tidak perlu diolok-olok jika ada seseorang yang lagi mencari pasangan hidup, karena memang begitulah prosesnya.
Kembali ke kisah, bahwa Nabi Saw pun memberikan pendapatnya tersendiri pada Fathimah dengan ungkapannya bahwa si Aba Jahm adalah orang yang pemarah dan si Mu’awiyah adalah orang yang kurang mampu. Lantas Nabi menganjurkan Fathimah untuk memilih Usamah yang sebelumnya tidak menembak/melamarnya.
Nah, dari sini, sebagai temanpun ketika mendengarkan curhat teman tentang lika-liku kisah kisah cinta diharapkan memberikan sebuah titik terang yang bisa membantu proses kedepan.
Proses percintaan seseorang boleh saja, wajar, dan pemutusan pacaran adalah resiko yang harus ditanggung, semua (lelaki dan perempuan) mempunyai hak untuk memilih pasangannya. Maka, silahkan pacaran, silahkan tanggung resiko, silahkan putuskan, dan satu yang perlu diingat, jangan putuskan hubungan kemanusiaan antar sesama, boleh putus sebagai pacar, tapi jangan putus hubungan untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Karena, itu adalah pantangan bagi kaum muslim seperti yang telah digariskan Nabi kita! Allahu A’lam.

Yayan, dalam rangka menghibur Hamam!

Minggu, 01 Januari 2012

BELAJAR “KELUAR DARI ENTITAS KATA” PADA MBAH KIAI IRFAN (7)

Sedikit cuplikan yang Mbah Kiai Irfan lontarkan adalah ungkapan kesombongan Nabi SAW ditinjau dari struktur kata manusia adalah “ana asyraful anbiya’ wal mursalin: saya orang yang paling mulia dari beberapa nabi dan rasul”. Ada lagi kata yang lebih rendah dari sisi kemanusiaan dilihat dari struktur kata: “ana al-faqir wa ukhibbul fuqara’ wa ana al-miskin, ukhibbul masakin: saya orang fakir dan suka pada fukoro’, saya orang miskin dan suka pada para masakin”. Terkadang mengunggulkan diri melampaui batas kemanusiaan (sombong) dan terkadang merendah melampaui batas kemanusiaan (hina). Keduanya secara syar’i tidak diperbolehkan oleh syari’ (Allah dan rasul-Nya), akan tetapi kenapa Nabi mengucapkan kedua hal tersebut? Disini lah letak essensial ketika manusia keluar dari hakikat kata. Hal serupa juga pernah dipaparkan oleh EMHA Ainun Najib atau yang akrab disapa dengan Cak Nun, di daerah kita (baca: jawa) terkenal istilah “jancok” untuk peluapan istilah kekesalan atau kata yang bermakna kotor/mengumpat. Akan tetapi ketika manusia melepas pada makna asal dan menggapai maksud, maka bisa menangkap hakikat ungkapan tanpa melihat struktur kata itu sendiri. “Jancok”, ketika dinadakan dengan akrab dan mesrah bersama teman yang sedang bergurau bersama maka essensi kata itu lenyap tanpa efek yang melekat, dan sebaliknya yang tergapai adalah kemesraan dan kehangatan suasana yang sedang ada. Berbeda dengan ketika diluapkan dengan emosi pada yang lain dengan nada emosi, maka hal itu bisa membawa efek negatif. Kecuali masih keduanya sudah berusaha keluar dari efek kata. Kesombongan dan kehinaan seseorang tidaklah bisa diukur dari kata yang dilontarkan seseorang, karena keduanya adalah fi’lul qalbi (pekerjaan hati) bukan pada luapan kata yang terlontarkan dari mulut si pengucap. Oleh karenanya, diri ini, yang mengetahui kesombongan bukanlah orang lain, atau sebaliknya, kita tidaklah bisa mengukur kesombongan orang lain atau kerendahan mereka dari sebuah ungkapan kata atau tindakan. Karena yang tahu kesombongan dan kehinaan seseorang adalah hubungan mereka sendiri dengan Tuhannya.