Cari Blog Ini

Kamis, 22 Maret 2012

MEMET HARIYANTO DAN RANDU GEMBUNG

Di Mojokerto, jalur menuju wisata Pacet dari arah Brangkal atau Pacing pasti akan melewati Kecamatan Dlanggu, area agraris khas pebukitan yang penuh dengan tumbuhan, tanaman, dan semacamnya dengan segala kesegarannya plus warung kopi khas arsitektur desa dengan anyaman bambu, bagus buat melepas suntuk dan merefresh pikiran yang lagi penat.

Nah, dari sekian desa yang ada di kecamatan Dlanggu ada yang namanya desa, atau lebih tepatnya dusun Randu Gembung, yang masih bisa dikatakan daerah agraris yang terletak ditengah sawah, hampir mirip dengan geografis Pondok Pacul Gowang. Hanya saja, lebih daerah itu lebih luas sedikit dan lebih segar, karena memang terletak di pebukitan atau kaki gunung pacet.

Selaras dengan daerahnya, penduduk yang menetap di sana bisa dikatakan bersifat lambat dalam semangat perubahan, apalagi dalam pendalaman keilmuan. Lebih senang dengan ketenangan, adem ayem. Bagaimana tidak, kalau hanya tinggal tanam bisa memenuhi kebutuhan perut, masalah yang lain tidak terlalu menggoda. Yang menarik adalah kumpul ngrumpi khas penduduk desa, sebagian di rumah tetangga, ada sebagian di warung kopi, sebagian lagi di gladak (tempat yang di bangun dari anyaman bambu untuk nongkrong, layaknya tempat ronda), sebagian yang lain sesuai dengan yang mereka senangi, bahkan buk (jembatan sungai) juga bisa di pakai nongkrong. Yang terakhir ini yang paling diminati para pemuda. Pagi, sore, dan malem hampir selalu ramai dengan kedamaian dan ngrumpi. Adem ayem.

Sebuah kebanggaan, khususnya bagi saya, mempunyai teman yang bisa keluar dari besutan kesantaian menuju pergerakan makna hidup, namanya Memet Harianto, seorang yang mungkin sudah banyak yang kenal, mahasiswa ma’had aly yang mengambil sambilan kerja di rental pengetikan fifa dekat gerbang samping Pondok Tebuireng, jalur ke makam sementara. Di sini akan saya putar ulang sedikit track record kehidupannya.

Setahu saya selama mengenal desa Randu Gembung tentang para pemuda generasi selanjutnya mayoritas berhenti sekolah, atau sudah wegah untuk menyambung pendidikan lebih lanjut. Bisa dikata, 99,99% maksimal berhenti pada jenjang SMA sederajat, itu pun terkesan hanya sekedar mengikuti formalitas yang ada bahwa untuk umur segitu setidaknya bersekolah dan belum pada penikmatan mencari atau mengetahui orientasi ilmu sendiri. bahkan, tidak sedikit setelah SMP sudah emoh untuk melanjut studi. Mereka lebih tertarik pada pergulatan kerja, baik membantu orang tua bertani, membuat sepatu, atau kerja di luar daerah.

Memet adalah salah satu generasi yang bisa mendobrak itu, yang selalu dibanggakan dalam setiap pelepasan wisuda MI Nurul Huda di desanya, sebagai contoh teladan kebanggaan para guru dan motivasi belajar bagi para wisudawan/ti. Seorang yang bisa mewakili daerah Randu Gembung melawan sekian banyak pelajar Dlanggu dan menjadi utusan daerah Dlanggu untuk melanjut studi di Mts-MA al-Amin dengan beasiswa penuh. Salah satu sekolah swasta favorit di Mojokerto dirian ulama NU dan cendekiawan Mojokerto yang menggunakan sistem perpaduan salaf dan modern serta pernah tenar pada zamannya.

Karir keilmuan tidak berhenti di persaingan pelajar Dlanggu, di al-Amin yang notabenenya kumpulan dari pelajar pilihan lewat Lomba Tahunan yang diadakan Mojokerto, per-kelas hanya dihuni tidak lebih dari 25, kalau kelas saya dulu jumlahnya 15 siswa, yang merupakan cerminan dari perwakilan kecamatan yang ada di Mojokerto. Itu, Memet bisa mendapat peringkat 5 dan pernah mendapat peringkat 4. Karir yang menakjubkan jika dilihat dari lingkungan dia hidup dan berkembang.
Itu, terobosan awal, sekarang dia mengambil kuliah adalah terobosan lanjutan. Pernah iseng saya hitung dari teman-teman se-desa yang ia kenalkan, hanya 2-3 orang yang melanjutkan kuliah, termasuk Memet. Itupun, kapasistas keseriusannya dalam belajar masih jauh dibawah Memet dan mereka dari keluarga yang berekonomi mampu.

Berbeda dengan Memet, awal dia mengajukan kuliah saja sudah dilarang keluarga, tidak ada keluarga yang mendukung dia kuliah awalnya, karena memang tidak ada finance untuk membayar bulanan lembaga. Seandainya dulu di al-Amin dia juga dipungut biaya, mungkin sudah putus belajar.

Akhirnya, sekarang orang tua merestui juga melanjut kuliah sebab tidak hanya dapat beasiswa dari kampus Ma’had aly (terima kasih kami haturkan pada KH. Salahuddin Wahid), tapi dia juga bisa mendapat penghasilan dari rental pengetikan dimana ia kerja sekarang, bahkan, untuk mengridit sepeda motor dan membantu renovasi rumah dan terkadang pesangon untuk orang tua tatkala pulang ke rumah. Prestisius bukan dengan latar belakang yang seperti itu?

Tidak jarang mendapat undangan mengisi acara ritual agamis, semacam ceramah desa, khotbah jum’at, bilal, imam tahlil, imam shalat ramadhan dengan sedikit tausyiyah, dst. Yang lebih membikin saya melongo ketika ia menjadi moderator pelepasan wisuda sekolah di desa, disampaikannya dengan bahasa arab dengan penerjemah dari salah satu wisudawati bahasa inggris dan wisudawan dengan bahasa indonesia yang naskah adalah buatannya.

Sempat terkesima juga manakala menemani dia pulang, salam sambut dari berbagai arah selalu terlontarkan, kayak artis menerima fans.

Nah, sekarang, dia sudah mempunyai jodoh yang dipilih untuk melantunkan kehidupan lebih dewasa, berkeluarga. Insya Allah, tahun depan dia akan menikah dengan gadis Jombang. Mohon doa restu teman-teman agar keluarga yang ia bina selanjutnya bisa menjadi atap dan pondasi bagi penduduk sekitar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar