Cari Blog Ini

Kamis, 22 Maret 2012

TOLERANSI BERAGAMA, PLURALISME DAN NEGARA KESATUAN Oleh: Yayan Musthofa

Karakter dasar manusia yang diciptakan oleh Allah dan tidak bisa dipungkiri kebenarannya adalah hidup secara bersama (makhluk sosial), yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lain, karena manusia tidak akan mungkin menyelesaikan semua kendalanya tanpa bantuan sesama.

Hal itu, Seperti yang pernah ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab al-Tibyan (dalam bab qonun asasiy), walaupun sebenarnya karya itu ditujukan untuk Nahdlatul Ulama’ menurut pengakuan kalangan Nahdliyyin sebab terlahirnya karya tersebut adalah untuk mereka, akan tetapi yang mengagumkan dalam karya itu, beliau lebih memakai rangkaian kata yang lebih global. Sehingga semakin banyak dikaji, semakin banyak arti yang tersirat. Sedikit cuplikan mungkin bisa menggambarkan asyiknya rangkaian kata beliau:

ومن المعلوم ان الناس لابد لهم من الاجتماع والمخالطة، لان الفرد الواحد لايمكن ان يستقل بجميع حاجته، فهو مضطر بكم الضرورة الى الاجتماع الذي يجلب الى امته الخير ويدفع عنها الشر والضير، فالاتحاد وارتباط القلوب ببعضها، وتضافرها على امر واحد، واجتماعها على كلمة واحدة من اهم اسباب السعادة، وأقوى دواعى المحبة والمودة، وكم به عمرت البلاد، وسادت العباد، وانتشر العمران، وتقدمت الاوطان، واسست المالك، وسهلت المسالك، وكثرت التواصل الى غير ذلك من فوائد الاتحاد الذي هو اعظم الفضائل وامتن الاسباب والوسائل.

Di sini yang lebih ditekankan adalah persatuan “al-ittihad” antar sesama manusia (annas) demi ketentraman (imron), dan kebahagiaan (sa’adah). Dan yang menarik adalah bukan kata yang partikuler, menggunakan muslimin, atau kelompok tertentu melainkan manusia secara umum.

Ada semacam kesadaran instrik ketika bersikukuh mendirikan sebuah kesatuan Negara, maka di dalamnya pasti terkandung manusia yang mempunyai karakter plural (majmu’), baik perbedaan agama, ras, suku, dan lain sebagainya yang tentunya pasti mempunyai perbedaan. Dan yang meletakakkan kesamaan di antara semuanya adalah bahwa semua adalah “manusia” yang mempunyai kesamaan tujuan, yakni makmur dan bahagia.

Di sisi lain, manusia terbagi secara geografis (dalam politik) yang melahirkan sifat kebersamaan dalam ranah mana mereka berkelompok atau berkoloni sehingga mempunyai satu tujuan khusus atas nama kebersamaan sehingga terbentuklah “Negara”. Kita tidak bahas lebih jauh masalah ini, akan lebih menarik jika difokuskan pada rasa “persatuan” yang mereka tanamkan pada kelompok dimana mereka tinggal sehingga bisa mengayomi semua yang di dalamnya.

Permulaan untuk mewujudkan “persatuan” mempertahankan “Negara” sebagai rumah tinggal bersama adalah saling memahami dan mengerti tentang keberagaman yang ada. Oleh karenanya, tidak seharusnya ada semacam kekerasan dalam rumah tangga yang di mana mereka yang tinggal adalah masih saudara kita sendiri. Bahkan sebaliknya, yang dibutuhkan adalah sifat rasa kasih sayang (al-rifqoh) terhadap saudara. Di sini Khadratus Syaikh pernah mengemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Sayyidah ‘Aisyah: “sesungguhnya siapa yang diberi sifat belas kasih maka dia benar-benar diberi bagian dari kebaikan dunia dan akhirat. Silatur rahim, berbaik dengan tetangga, dan berakhlak baik, akan meramaikan rumah dan menambah umur”. Belas kasih dan kebaikan tanpa adanya “kekerasan” itulah yang bisa menentramkan rumah.
Toleransi Beragama Sebagai Kunci Persatuan

Dari berbagai kericuhan yang sering terjadi banyak yang digaungkan bahwa kendala dasarnya adalah masalah keyakinan beragama, walaupun sudah tidak sedikit tulisan yang beredar membahas perdamaian dan saling menghormati antar keyakinan.

Islam pun, sebagai agama mayoritas sebenarnya sudah selayaknya tidak berbuat ricuh untuk masalah keyakinan. Baik antar sesama pemeluk Islam ataupun dengan non-Islam. Karena Nabi kita pada masa awal pun yang dilakukan adalah mempersatukan atau membangun keharmonisan antara kaum muhajirin dan anshor, dijadikan sebagai saudara. Begitupun dengan non-Muslim, Nabi membangun keharmonisan dengan kaum nasrani, yahudi, bani aush dan khazraj yang termaktub dalam piagam madinah. Maka sudah tak seperlunya lagi ada pertengkaran “jahiliyah” lagi.

Kalaupun dasarnya adalah surat al-Baqarah ayat 120 yang berbunyi “dan orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran akidah mereka”, maka ada penafsiran menarik yang sudah dipaparkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tulisannya yang berjudul “Islam Dan Dialog Antar Agama” beberapa tahun silam. Yakni selama keyakinan kita adalah Allah satu dan Muhammad utusan-Nya, maka selama itu pula mereka tidak ridlo, seperti halnya kita tidak ridlo mereka berkeyakinan bahwa Yesus adalah anak Tuhan dalam Kristen dan yahudi adalah umat pilihan Tuhan. Dalam artian, kita dan mereka sama-sama tidak menerima ajaran yang ditawarkan itu.

Dan kalau itu kemudian dijadikan sikap untuk saling bermusuhan, maka niscaya sampai hari akhir tidak ada kedamaian, bahkan yang adalah kekerasan dan hidup tidak tentram karena masing-masing merasa ter-teror.

Alangkah baiknya, jika yang dilihat adalah sisi positif dari keberagaman yang bersifat membangun kesatuan Negara (rumah tinggal), kalau dalam ajaran kita adalah “mu’amalah”, hubungan sosial-ekonomi. Tanpa harus menanyakan terlebih dahulu KTP mereka. Saling bekerja sama demi kebaikan.

Bahkan ada kaidah fiqh menarik yang dipaparkan juga oleh Gus Dur, cucu Khadratus Syaikh, mengenai masalah diatas “ma laa yatimmul wajib illa bihi fahua wajib” sesuatu yang wajib tidak akan tercapai tanpa adanya hal tersebut, maka hal itu menjadi wajib pula. Dalam artian, ketika kesatuan Negara dan kerjasama “rumah tangga” untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman merupakan suatu kewajiban, maka hal saling menghormati, toleransi beragama, dan pemicunya yang lain juga menjadi perangkat yang wajib dijalankan pula.

Contoh kasus misalnya, permasalahan sepele yang pernah ditulis Gus Dur tentang penggantian “salam” dengan ucapan “selamat sore” yang sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Soalnya, ada yang lebih menarik dalam kisah 2 sahabat Nabi yang diancam oleh kaum kafir pada masa awal penyebaran Islam, yang satu tetap mempertahankan keimanannya dalam deraan kaum kafir sehingga wafat, dan yang satu mengaku mengikuti mereka dengan melepas keimanannya. Dan akhirnya menghadap Nabi dan menjelaskan bahwa dia sebenarnya masih beriman dalam naungan Nabi, sedangkan pengakuan yang diucapkan pada kaum itu adalah usahanya untuk tetap hidup. Dan beliau membenarkan hal tersebut.
Ada kaidah fiqih yang menarik dalam hal ini, “al-umuru bi maqosidiha”, sebuah perkara tergantung pada niatannya. Maksudnya, karena dia menginginkan hidup dan bersama Nabi, maka dia berbohong. Tidak ada niatan keluar dari islam, walaupun yang diucapkan dalam keadaan itu adalah lafadz yang mengakibatkan dia yang seharusnya sudah dihukumi murtad.

Bahkan, kalau di tarik ke masa kita yang sekarang, pengucapan “selamat hari raya” adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan, karena hal itu adalah salah satu pemicu untuk mencipkatan keharmonisan hidup antar umat beragama dan membentuk kesatuan bernegara. Tanpa ada niatan kita mengimani atau meyakini akan kebenaran iman agama masing-masing. Setidaknya demikian.

Yang tak habis pikir adalah perbedaan di kalangan muslim sendiri. Kenapa sampai ada anarkis seperti yang tidak lama adalah kasus pembumihangusan warga Syi’ah di Madura. Sesuatu yang kekanak-kanakan. Bukankah para pendahulu kita sudah lama mempunyai perbedaan itu? Dan bukankah adegium dalam kalangan kita “ikhtilaful a’imti rahmatun lil umam” perbedaan di kalangan pemimpin umat adalah rahmat bagi umat. Atau “ikhtilafu ummati rahmatun” perbedaan dalam umatku adalah rahmat. Perbedaan adalah sebuah kewajaran, yang tidak diperkenankan adalah perpecahan dan permusuhan atau bahkan sampai berbuat ricuh sampai bunuh-membunuh.

Oleh karenanya dan setidaknya, toleransi (al-tasamuh), saling pengertian, berbelas kasih, dan nilai-nilai kemesraan yang lain harus tertanam dalam diri kita agar tidak terkesan semacam cultur shock. Dulu waktu Ulil lahir dengan Islam Liberalismenya, geger. Muncul Ahmadiyah, perang. Timbul Syi’ah, rame. Sholawat wahidiyah, debat lagi. Dan seterusnya yang tidak selayaknya menjadi karakter dalam diri kita. Apa tidak capek?? Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar