Cari Blog Ini

Sabtu, 01 Mei 2010

SYUKUR DALAM PRESPEKTIF TASAWUF MODERN

Hampir semua gerak kita yang didasarkan atas perintah Allah sebagai bentuk  ketaatan adalah bentuk syukur aplikatif atas nikmat yang Ia berikan.

Banyak pendefinisian tetang tasawuf dari para sufi sebenarnya, akan tetapi yang lebih sering terdengar oleh kita adalah berasal dari kata “shofa” yang berarti “jernih”. Hal ini menggambarkan kedudukan para sufi yang berhati jernih.
Dalam makna lain berarti “suffah: emperan masjid Nabawi” yang berasal dari sebutan tempat tinggal sebagian shahabat nabi yang bertempat tinggal di emperan masjid nabi. Mereka disebut sufi. Selain mempunyai hati yang baik juga meniru sifat kezuhudan Nabi Muhammad SAW.
Dan masih banyak diskribsi lain yang dipaparkan oleh para sufi seperti Imam Junaid al-Baghdadi (297 H), Imam Yazid al-Busthomi, dan sufi yang lain. Hampir semua  mempunyai diskribsi tersendiri dalam pemahamannya terhadap tasawuf.
Pada awal kelahiran islam, tasawuf belumlah terdokumen menjadi diskursus kajian yang berdiri sendiri seperti sekarang, layaknya fiqh, ushul fiqh, aqidah dan berbagai kajian ilmu lain. Masih bersifat aplikatif, dan belum menjadi diskursus ilmu tersendiri.
Pada abad pertama dan kedua hijriyah, lebih dikenal dengan fase zuhud (asketisme). Perjalanan pertama tasawuf terfokus pada penyucian diri, menjauhi dunia, tahta, wanita, dan lain-lain yang terfokus pada garis vertikal (hablun min allah) dan mengendorkan gerakan horizontal (hablun min al-annas). Hal ini terlahir ketika zaman akhir kepemimpinan sahabat utsman sampai umawiyah dan puncaknya pada pembunuhan cucu Nabi SAW, Husain bin ‘Ali yang menggambarkan sebuah paradigma yang gandrung akan kekuasaan, politik dan harta. Sehingga lahir dari golongan sebagian sahabat yang masih hidup pada waktu itu, seperti Abu Dzar al-Ghifari dan sebagian tabi’in yang berusaha mengembilakan moral mereka mengikut Nabi, yakni zuhud. Diantara 'ulama sufi salafi (masa awal) yang terkenal di masa itu adalah Hasan Al-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabi'atul Adawiyah (wafat 185 H), kedua sufi ini dijuluki sebagai Zahid.
Pada abad ketiga ini terlihat perkembangan tasawuf sangat pesat, hal ini sesuai dengan pemaparan Abu al-Wafa dalam karyanya, Madkhal Ila Tasawuf al-Islami. Kalau pada abad pertama dan kedua hanya dipahami sebagai implementasi dari zuhud, maka pada abad ketiga ini terjadi pergeseran yang sangat mengagumkan. Karena tasawuf dijadikan sebuah paradigma, gerakan, dan olah rasa pada penggiatnya.
Dilain sisi, mulai muncul berbagai macam teori dalam diskursus ilmu tasawuf, melahirkan berbagai kajian subtema tersendiri, seperti hulul, tauhid, fana, dll. Hal ini dipelopori oleh ulama besar Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi (297H/910 M). Tak ada sumber yang bisa memastikan kapan tokoh sufi fenomenal ini dilahirkan. Namun, berdasarkan sejumlah data, Imam Junaid lahir pada tahun 210 H di Kota Baghdad. Kalau imam junaid ini adalah salah seorang dari ulama tasawuf modern, maka bisa disimpulkan bahwa tasawuf modern lahirnya tidak jauh dari abad ketiga ini.
***
Pada mulanya, pemahaman tentang syukur hanya pada aplikasi ibadah individual (personal), antara hamba dengan tuhannya saja. Banyak cuplikan-cuplikan yang menerangkan akan pemahaman seperti ini. Karena memang belum terdiskribsikannya tasawuf dalam diskursus ilmu tersendiri, sehingga awal munculnya pemahaman syukur hanya bersifat vertikal belum ke arah horizontal, walaupun dalam aplikasinya mereka sudah banyak yang menerapkannya.
Kita ambil contoh misalnya hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh siti Aisyah r.a. Mendapati beliau senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Kenapa engkau berbuat seperti ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).
Refleksi syukur yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dipahami oleh umatnya dengan cara selain dalam ucapan juga dalam bentuk sholat, puasa, dan tingkah laku yang personal belum pada pemahaman yang bersifat sosial.
Dalam perkembangannya, syukur mempunyai pemahaman yang lebih luas, dengan kajian tafsir yang semakin mendalam pada ayat-ayat al-qur’an dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Dalam surat saba’ ayat 13 misalnya, : “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”, berkenaan dengan rasa syukur Nabi Daud as. Padahal dalam beberapa ayat yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. (Al-Baqarah: 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.
Redaksi dalam surat saba’ ini menunjukkan pada esensi yang lebih menjurus pada perbuatan nyata sehari-hari, semisal bekerja. Imam Ghazali merumuskan syukur pada 3 komponen:
Ilmu: menunjukkan kesadaran kita akan nikmat-nikmat allah yang dianugerahkan kepada kita.
Hal: menggambarkan sikap kita akan nikmat Allah, Rasulullah saw bersabda: hendaklah kamu berbahagia bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir dan istri mu’minah yang membantu dalam segala urusannya.
Amal: diwujudkan dalam seluruh anggota badan kita. Imam Ghazali berkata: “menggunakan nikmat-nikmat allah ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat kepada-Nya”.
Dari sini, implementasi syukur bisa menjadi lebih luas lagi, bisa berbentuk ucapan secara lisan, shalat, puasa. Atau yang berbentuk sosial seperti shadaqah, infaq, dan zakat, dst. Bahkan hampir semua gerak kita yang didasarkan atas perintah Allah sebagai bentuk ketaatan adalah bentuk syukur aplikatif atas nikmat yang Ia berikan.
Nah, Dalam prespektif tasawuf modern, syukur, selain mengarah ke-vertical (hablun min allah) maka diharapkan juga mengarah pada gerakan horizontal (hablun min al-annas). Hal ini adalah bentuk dari rasa syukur yang kedua yang perlu dilakukan oleh umat Nabi saw. Yang pertama adalah rasa syukur atas nikmat syukur yang diberikan oleh Allah.
Dalam salah satu riwayat dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa Nabi Daud as pernah mengadu kepada Allah. Beliau bertanya: “Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah berfirman, “Sekarang engkau telah benar-benar bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal daripada-Ku”. Allahu a’lam bisshawab!

Yayan M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar