Cari Blog Ini

Sabtu, 06 Februari 2010

PERBEDAAN ADALAH RAHMAT

PERBEDAAN ADALAH RAHMAT
Yayan Musthofa

Ikhtilafu ummati rahmatun, sebuah hadits yang dianggap masyhur, tenar dalam pembahasan lisan oleh al-Hafidz ibn Khajr dan mungkin oleh kita semua. Akan tetapiAl-Ajulani dalam kitabnya, kasyfu al-khafa’, menuturkan bahwa hadits ini sanadnya terputus (munqathi’) seperti yang diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dari ibn Abbas dalam kitab al-madkhal dengan menggunakan lafadz “ikhtilaafu ashkhaabii lakum rahmatun”, al-Thabari dan al-Dailami juga meriwayatkan yang selafadz. Al-Zarkasyi dan al-Iraqi mencoba mengangkat derajat hadits tersebut dengan sanad marfu’ (tersandar pada Nabi SAW, tapi belum tentu mutawattir) akan tetapi sayang tidak ada keterangan yang menguatkan hal itu.
Hampir semua hadits yang semakna seperti “ikhtilaafu ashkhaabi Muhammad SAW rahmatun li ‘ibadillah”, dari al-Qasim ibn Muhammad, “kana ikhtilafu ashkhaabi rasulillah SAW rahmatun li haula al-naas” yang diriwayatkan oleh Abu Nu’im, dst. mempunyai derajat yang tidak lebih dari marfu’ (disandarkan pada Nabi SAW, tapi belum tentu mutawattir) dan mursal (terputus sanad setelah tabi’innya), bahkan kebanyakan ulama’ melemahkan (mendlaifkan) hadits ini dan menganggapnya tidak ada ujung pangkalnya (la ashla lahu).
Dalam penafsiran matan hadits, ulama mempunyai pandangan tersendiri tentang hal ini. Ishaq al-Maushili dan Umar bin Bahr al-Jakhidz berpandangan, jikalau memang perbedaan (ikhtilaaf) adalah sebuah rahmat maka sebaliknya kesepakatan adalah sebuah adzab. Khalifah Harun al-Rasyid pun pernah ingin menyatukan pandangan kaum muslimin pada zamannya dalam pemahaman Imam Malik, akan tetapi ditolak oleh Imam Malik.
Al-Khuthabi berusaha memilah perbedaan dalam agama menjadi tiga kategori. Perbedaan akan wujud dan keesaan Tuhan, maka dihukumi kafir, perbedaan akan sifat-sifat dan kehendak Tuhan, dihukumi bid’ah dan perbedaan dalam masalah far’iyah (praktek peribadatan, atau cabang), yang terakhir inilah yang mengandung rahmat.
Imam Nawawi lebih rasional lagi dalam menanggapi pendapat ulama yang mengatakan adzab bagi kebalikan rahmat. Beliau berpendapat bahwa sesuatu yang membawa rahmat, kebalikannya tidak harus membawa adzab, misalnya begini, dalam firman Allah Ta’ala “wa min rahmatihi ja’ala lakum al-llaila litaskunuu fiihi”, malam disini digambarkan menjadi rahmat bagi manusia, bukan berarti siang (yang kebalikan dari malam) mengandung adzab bukan?. Wallahu a’lam bil al-shawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar