Cari Blog Ini

Minggu, 29 Mei 2011

KADO DARI NGANJUK

Sebuah jawaban dari ritual yang diajarkan bapak sejak kecil adalah ziarah kubur, sowan ke makam mbah kirim do’a, baru didapatkan ketika sudah umur lanjut (23), oleh-oleh dari mbah Kiai Masyrikhin Syakur, Prambon Nganjuk.

Kemarin waktu sowan Mbah Kiai Masyrukhin Syakur dalam rangka wawancara karena kelompok penulis yang sedang menjalankan KKNBP (berbasis pondok pesantren) membuat planning lounching buku profil pondok Ngejen Prambon Nganjuk serta Pendirinya sebagai kenang-kenangan kelompok pada Pondok ketika perpisahan kelak.

Tidak akan dimuat semua dalam tulisan ini semua hasil wawancara, karena akan dimuat dalam buku tersendiri. Disini hanya menorehkan sepercik syukur atas jawaban beliu (Mbah Kiai Masyrukhin Syakur) terhadap apa yang sudah menjadi ranah aplikatif keluarga penulis yang sebelumnya hanya bertendensi pada “itu adalah apa yang dilakukan nenek moyang kami, dan kami mempertahankannya” menjadi sesuatu yang berdasar pada ulama’ salaf, yakni kirim do’a pada mbah yang sudah mendahului kita dalam rangka ucapan rasa syukur dan mengharapkan berkah yang lebih.

Dalam wawancara, beliau memulai dengan menceritakan sesepuh beliu, kakek buyut beliu, dengan ingatan yang masih segar walaupun usianya sudah lanjut. Diruntut dari beliu, abahnya, kakeknya, sampai pada ujung, yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini beliu menegaskan bahwa tidak ada untungnya jika hanya mengklaim tanpa sebuah dasaran, malah menambah dosa. Maksud yang beliau tekankan hanya mengharap berkah dari kakek buyut yang sudah membesarkannya sampai menjadi sekarang ini.

“Justru dengan mengaku menjadi keturunan Nabi SAW, hidup menjadi tidak mudah karena ada larangan menerima zakat, shadaqah, dll yang sudah diNash oleh kanjeng Nabi SAW” tandasnya.

Sambil menunjukkan buku silsilah nasab keturunan yang menjadi pilar para kiai di Kediri, Nganjuk, Jombang yakni silsilah dari Romo Kiai Mursyad. Dalam sanad itu, tertera juga nasab yang menjalur ke Khadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Tebuireng, Mbah Kiai Abdul Karim, pendiri Pondok Lirboyo, sampai Mbah Kiai Arif, pendiri Pondok Ngejen, dan Mbah Mustajab, pendiri Pondok Gedong Sari, dst.
Nah, yang mengesankan bagi penulis adalah ritual kirim do’a pada kakek buyut tidak pernah putus, apalagi setelah sholat selalu dikhusus oleh beliau.

Yang kedua adalah Nadzam Alfiyah yang dicuplik beliu sebagai dasaran, sebelumnya tak pernah terlintas sampai sana adalah: wahuwa bisabqin khaizun tafdlilah-mustaujibun tsanaiyal jamilah. Wallahu yaqdli bi hibatin wafirah-li wa lahum fi darajatil akhirah.

Wahuma lan utawi mbah Arif (pendiri Pondok Ngejen) bisabqin sebab dilek khaizun tafdlilah kang aweh anugrah, mustaujibun tsaniyal jamilah setidaknya wajib mendapat penghargaan yang bagus. Dengan cara kirim do’a, tabarrukan, karena beliau sudah berbeda alam. Wallahu yaqdli bi hibatin wafirah semoga dengan amalan kirim do’a kita pada beliau yang sudah wafat dan melahirkan kita, Allah SWT memberikan barakah yang melimpah. Li untuk saya, wa lahu lan kanggo mbah Arif, fi darajatil akhirah ingdalem sisok di Akhirat.

Simple, hanya mengharap berkah dari yang sudah melahirkan kita ke dunia. Kalau beliau masih hidup, sebisa mungkin kita bahagiakan walau tak setimpal, kalau sudah wafat ya dikirim do’a. Allahu A’lam Bisshawab!

Yayan M, Ngejen, 29 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar