Cari Blog Ini

Minggu, 18 September 2011

Waktunya Kembali ke Pondok!

Ada banyak hal sebenarnya dalam menyikapi keberadaan mahasiswa ma’had aly putra harus menetap di gedung UKP untuk dipertimbangkan. Yang pertama adalah orientasi dasar terbangunnya ma’had aly sebagai penggerak keagamaan baik dalam lingkup Pondok Tebuireng maupun kelak ketika hidup di masyarakat. Ketika mahasiswa bercecer tidak dalam satu pagar (kost, kontrak, atau pulang tidak menetap di pondok/asrama), maka untuk mengembangkan kajian menambah wacana keagamaan akan mengalami kendala yang berat, terutama dalam bidang koordinasi.

Yang kedua adalah tempat singgah dalam pondok. Harusnya jadi kewajaran, kontrak awal mahasiswa masuk ma’had aly adalah mendapat fasilitas tempat tidur (asrama). Sehingga ketika asrama di robohkan untuk diadakan pembangunan pondok yang lebih efisien dan progresif, mahasiswa ma’had aly putra mendapat ruang tinggal sementara sambil menunggu bangunan baru (bascamp: tempat pengungsian). Dan ini sudah ditentukan yakni masjid lantai 2 (atas).

Akan tetapi permasalahannya adalah berbenturan system dan fasilitas Mu’allimin yang dimana masjid lantai 2 itu adalah kelas tempat mereka belajar. Sehingga mu’allimin mengalami problema dalam belajar mengajar.

Di lain sisi, masjid tebuireng ini sudah berhukum masjid secara keseluruhan. Karena posisi tangga untuk menuju lantai 2 berada dibelakang, sehingga ketika tidak dihukum masjid, maka sholat musholli tidak sah. Oleh karenanya, baik lantai bawah maupun atas semua berlaku hokum masjid. Jadi tidak seyogyanya dibuat kamar tidur.

Yang ketiga, adalah gedung UKP. Ini alternative terakhir yang lebih memungkinkan. Akan tetapi juga mengalami kendala di tataran civitas ma’had aly yang notabenenya juga masih santri KH. Ishaq Latif tempat belajar. Doktrin salafi masih sangat melekat pada santri disini. Kalau dulu santri tidak berani menduduki tempat duduk guru/kiai, apalagi yang sekarang. Tempat mengajar sang kiai dijadikan kamar tidur santri. Jadi wajar kalau kebanyakan mahasiswa masih banyak berontak untuk ditempatkan digedung ini karena doktrin ini sudah melekat dalam diri santri sejak lama.

Perlu jadi perhatian sebenarnya, bahwa sebagai alternative, pengajian KH. Ishaq Latif tidak diberhentikan oleh pengasuh pondok atau pengurus-pengurus dengan banyak alas an “politik”. Akan tetapi sudah diberikan kelonggaran tempat yang boleh dipilih oleh KH. Ishaq Latif dimanapun dalam lingkup pondok yang beliu inginkan. Dan itupun hanya sementara waktu sambil menunggu pembangunan gedung baru selesai.

Yang keempat, tandatangan seluruh mahasiswa yang sekarang dipegang pengurus BEM. Kebanyakan (mayoritas mahasiswa) tidak mengharapkan bertempat di gedung UKP. Entah alas annya apa, yang jelas mereka pasti punya alas an dalam mengambil keputusan. Karena penulis yakin notabene mahasiswa Ma’had aly tidak hanya ikut arus angina.

Yang kelima, statemen yang diluncurkan oleh imam, anak buah KH. Ishaq Latif tentang pengambilan kebijakan mahasiswa ma’had aly tidak akan menempat di gedung UKP diacungi jempol dan diakui “cerdas” oleh KH. Ishaq Latif. Itu yang disampaikan imam pada teman-teman ma’had aly.

Yang keenam, keputusan mantab yang diluncurkan oleh Rektor Ma’had Aly Prof. Dr. Jamaluddin Mirri Lc. Santri itu harus ta’at pada kiai (pengasuh). Dan diberi waktu 2x24 jam bagi yang bertempat tinggal diluar pondok harus kembali kepondok tanpa pengecualian. Kalau tidak, maka akan dikeluarkan.

Dari banyak masukan yang penulis sebutkan diatas, banyak lagi dari kawan-kawan yang belum tertera. Akan tetapi, bagaimanapun kritis dan cerdasnya seorang anak, tidak seyognyanya buat melawan nalar dan kebijakan orang tua selagi tidak menyalahi aturan dan ketetapan ilahiyah.

Di kampus ini, rector dan pengasuh adalah orang tua kita yang bersedia menanggung minimal mendampingi resiko anak didiknya. Insya Allah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar