Cari Blog Ini

Selasa, 27 September 2011

LANDASAN BERPIKIR ‘ALA IBN ATHO’ILLAH ASSAKANDARI DAN ROKOK: REFLEKSI TULISAN MUJIB QODAR DI DINDING PENULIS

Sebuah konsep landasan berpikir yang indah ditawarkan oleh Ibn Atho’illah dalam karya magnumopusnya “Syarhul Hikam” juz 2. Disana beliau menggambarkan tentang nalar atau otak yang diibaratkan sebagai alat tumpangan hati dan nafsu sebagai pengemudi.

Nalar atau pikiran hanyalah sebuah alat untuk merasionalisasi atau berpikir tentang realita atau rumusan tentang keidealan. Pada dasarnya, pengemudinya adalah hati dan nafsu. Karena objek kajiannya adalah tasawuf, maka rumusan (konsepan) ini diaktualisasikan pada ranah sufistik (semitik).

Beliau mencontohkan tentang sholat dalam karyanya, bahwasanya sholat dalam kajian ilmu fiqh mempunyai temporer waktu sesuai yang telah ditentukan. Asal tidak keluar dari waktu itu maka masih dianggap sah sholat seseorang.

Nah, disinilah perang antara hati dan nafsu dalam mengendalikan akal/pikiran. Karena konsep fiqh bersifat dhonni, jadi berbagai alas an bisa dipaksakan untuk membenarkan perbuatan yang belum bisa dikatakan bagus. Contoh ketika asik ngobrol bersama teman dan adzan dikumandankan. Maka sepontan, kebiasaan yang sering terjadi adalah melanjutkan ngobrol, karena sholat masih ada tenggang waktu belum masuk akhir waktu “al-faut”.

Landasan berpikir disini karena nafsu memegang kendali pemikiran seseorang itu. Dengan dalih banyak yang diungkapkan dari konsep figh. Karena memang dalam ranah debatable.

Padahal, antara dikerjakan awal waktu dan ditunda, tempo kita mengerjakan sholat tidaklah lebih dari setengah jam baik berjamaah maupun sendiri. Jika, ditanyakan lebih jauh kedasar hati, maka pastilah akan mendukung yang awal waktu. Apalagi berjamaah.

Ketika yang menang adalah hati, maka nalar akan lebih bagus nilai dan manfaatnya pada sekitar dari pada ketika nafsu yang menang dalam landasan berpikir.

Intinya, nalar adalah alat berpikir yang pengendalinya adalah hati atau nafsu. Oleh karenanya, sebelum mengambil keputusan, lebih baik Tanya pada dasar hatimu “istafti qolbak”, ungkapan singkat nabi pada sahabat.

***

Dari konsep Ibn Atho’illah diatas penulis mencoba mengembangkan dalam konteks rokok sebagai refleksi tulisan dinding Mujib Qodar bahwasanya, para perokok, atau kebanyakan teman penulis yang merokok dalam keadaan tertentu, mereka berusaha untuk berhenti Karena memang dirasa kurang baik dalam merokok “dalam keadaan tertentu”.

Bahkan pernah beberapa teman penulis membuat kesepakatan untuk berhenti merekok dengan hukuman denda 50.000 jika terlihat melanggar atau paling ringan Dji Sam Su 1-3 bungkus. Akan tetapi tetap gagal.

Disini sebenarnya alas an para perokok bisa penulis katakan berlandasan dari nafsu dan nalar sebagai alat penguat dengan berbagai dalih yang ada. Karena bagaimanapun hati kalau didustai terus menerus maka akan timbul sebuah renungan dalam keadaan tertentu yang membuat si pelaku menyesal.

Bukan berarti semua perokok berlandasan dari nafsu yang dikuatkan pikiran, tapi dari beberapa realita yang dialami penulis atau beberapa teman penulis masih berlandasan pada nafsu.

Nah, penulis mengurangi rokok bukan berarti karena tidak ada rokok, Karena merokok tidak selalu butuh uang, tapi wadah pertemanan atau silaturrahim juga memungkinkan untuk merokok. Akan tetapi ada pertarungan antara hati dan nafsu dalam mengendarai akal nalar penulis. Setidaknya sampai hari ini, entah kemudian bagaimana! hehehehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar