Cari Blog Ini

Selasa, 14 Juni 2011

KEUNIKAN UJIAN PESANTREN

Keunikan pesantren memang tidak kunjung habis walau dikupas satu demi satu karena setiap pesantren mempunyai keunikan sendiri-sendiri yang menjadi tipologi pesantren tersebut. Tapi ada beberapa hal yang antara pesantren satu dengan lainnya hampir mempunyai kesamaan.

Katakanlah dalam hal ujian, dulu waktu penulis menempuh pendidikan di Pondok Pesantren al-Amin Mojokerto sekitar tahun 2001-2007 banyak ustadz yang mempunyai pemikiran sama dalam mengawasi ujian santri.

Pernah suatu ketika ada teman yang kepergok menyontek dalam ujian, yang dikeluarkan dari kelas justru yang memberikan contekan, bukan penyontek. Kalau ketahuan bawa buku atau kertas contekan alamat tidak akan ada nilai. Kebenaran tindakan ustadz baru terpikir beberapa hari setelah kejadian.

Kalau yang memberikan contekan, secara tidak langsung adalah mereka yang sudah dianggap mampu dalam hal yang diujikan oleh mereka yang mencontek. Ada pandangan nilai plus dalam diri penyumbang contekan dari penyontek sehingga ada sebuah kepercayaan. Jadi, tidak usah mengikuti ujian mata pelajaran tersebut termasuk sebuah kewajaran, yang ujian adalah mereka yang merasa kurang mampu dan lebih mempercayai orang lain dari pada dirinya sendiri.

Atau kemungkinan kedua, si penyumbang contekan tergolong dalam katagori tolong menolong dalam hal keburukan, mereka adalah orang yang tegah, kejam, sadis. Karena membiarkan teman yang tidak bisa mengerjekan soal masih dalam ketidaktahuan. Dalam artian, ketika seseorang menyonteki teman maka yang diconteki tidak akan ada usaha belajar lebih serius dan tetap pada kemalasan dan ketertinggalan. Wal hasil, yang diconteki tetap dalam kebodohan. Maka ustadz tidak menginginkan hal itu.

Kemungkinan selanjutnya, si penyontek merasa kurang percaya diri dengan jawaban mereka. Oleh karenanya pendidikan mental bisa dimulai dari kepercayaan diri dalam ujian tersebut. Bayangkan ketika orang yang memberikan contekan tidak ada, maka apa yang harus mereka perbuat? Hanya diam? Tidak akan menemukan kemajuan kalau hanya menunggu harapan semu, menunggu datangnya bantuan orang lain.

Dan masih banyak yang lain kemungkinan, tapi yang jelas yang dikeluarkan dari kelas adalah mereka yang memberikan contekan.

***

Di pondok Pacul Gowang dan Manbaul Hikam Udanawu Blitar hampir sama. Metode ujian yang digunakan adalah siasat waktu. Jangka waktu yang digunakan paling banyak 20 menit dalam 10-15 soal. Kebanyakn para ustadz penunggu ujian hanya memberikan waktu 10 menit dalam mengerjakan ujian.

Ada lagi, sebagian berbentuk soal dekte langsung dijawab oleh peserta ujian, jadi dekte selesai, jawaban juga harus selesai dan lembar jawaban harus dikumpulkan.

Pertimbangan kebijakan (rasionalisasinya) yang digunakan sangat sepele, mengapa harus berlama-lama dalam kelas? katakan 1 soal butuh waktu satu menit maka 10 soal hanya sepuluh menit, lebih dari itu hanya membuat sia-sia. Bahkan bisa dijadikan kesempatan yang tidak diinginkan seperti menyontek, ngobrol, melamun, atau yang lain.

Kalau memang belajar di waktu sebelum ujian, pasti bisa mengerjakan soal. Dan yang terpenting, ujian bukan jaminan orang itu akan menjadi sukses, dan bukan harus ditinggalkan. Karena ujian hanya salah satu wadah me-review apa yang sudah dipelajari dalam tempo tertentu agar bisa diingat kembali, segar kembali, serta bisa diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari. Singkatnya, ujian bukan menjamin kesuksesan seseorang, tapi ujian adalah salah satu batu loncatan untuk menuju sukses.

***

KEBIJAKAN ADA DITANGAN SENDIRI!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar